Rencana pemerintah menambah utang kembali tahun depan menimbulkan banyak pertanyaan di tengah publik. Dalam Rancangan APBN 2026, pemerintah berencana menarik utang baru sebesar Rp 781,9 triliun untuk menutup defisit. Angka ini bukan jumlah kecil. Apalagi, pada tahun ini saja, pembayaran bunga utang diproyeksikan mencapai sekitar Rp 552 triliun. Uang sebanyak itu tidak pernah dirasakan langsung manfaatnya oleh rakyat, sebab hanya berputar untuk melunasi kewajiban kepada kreditur.
Kondisi ini membuat kita bertanya: apakah bangsa ini bisa benar-benar sejahtera jika setiap tahun yang lebih diprioritaskan justru cicilan bunga utang, bukan kebutuhan dasar rakyat?
Utang Ribawi dan Peringatan Ilahi
Masalah utang negara ini bukan sekadar soal teknis fiskal, tetapi juga persoalan mendasar bagi bangsa yang mayoritas penduduknya Muslim. Hampir semua instrumen pinjaman negara hari ini berbunga, dan dalam istilah Islam dikenal sebagai riba.
Al-Qur'an memberi peringatan keras:
 "Jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka umumkanlah perang dengan Allah dan Rasul-Nya." (QS. Al-Baqarah: 279)
Ayat ini menegaskan bahwa riba bukan hanya transaksi biasa, melainkan tantangan terhadap aturan Allah. Pertanyaannya, bagaimana mungkin sebuah bangsa berharap mendapat keberkahan jika justru menantang Tuhan dengan praktik yang jelas dilarang?
Bunga Utang: Uang Rakyat untuk Siapa?
Beban bunga utang mencapai Rp 552 triliun per tahun. Bandingkan angka ini dengan alokasi belanja pendidikan, kesehatan, atau perlindungan sosial. Anggaran sebesar itu seharusnya bisa membangun sekolah, menambah tenaga kesehatan, atau membiayai riset dan teknologi. Namun, kenyataannya dana ini justru dialirkan kepada kreditur, baik lembaga keuangan global maupun investor pasar surat utang.
Artinya, sebagian besar jerih payah rakyat yang membayar pajak justru tidak kembali dalam bentuk layanan, melainkan habis untuk memenuhi kewajiban bunga.
Sumber Kemandirian yang Terabaikan
Padahal, Indonesia tidak miskin sumber daya. Negeri ini memiliki kekayaan alam luar biasa: tambang emas, nikel, batubara, gas alam, hutan, dan lautan yang luas. Jika dikelola dengan benar, hasilnya bisa menopang anggaran negara tanpa harus berutang.
Sayangnya, sebagian besar pengelolaan SDA strategis ini dikuasai swasta besar atau asing, sementara negara hanya mendapat bagian kecil berupa pajak dan royalti. Inilah yang membuat defisit seakan menjadi "keniscayaan", padahal akar masalahnya adalah model pengelolaan yang salah arah.
Dalam perspektif Islam, SDA strategis termasuk milik umum. Artinya, negara harus mengelolanya untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan diserahkan kepada segelintir korporasi. Dengan model ini, pemasukan negara akan jauh lebih stabil dan mandiri, sehingga tidak ada alasan untuk terus berutang.
Gaya Hidup Pejabat dan Efisiensi Anggaran
Selain soal SDA, kita juga perlu menyoroti gaya hidup pejabat negara. Dari pusat hingga daerah, fasilitas yang mereka nikmati sangat besar: rumah dinas, mobil dinas, staf ahli, perjalanan ke luar negeri, hingga berbagai tunjangan. Semua itu dibiayai APBN dan APBD.
Jika pejabat benar-benar meneladani kepemimpinan sederhana sebagaimana dicontohkan para khalifah Islam terdahulu, negara bisa menghemat triliunan rupiah. Penghematan ini bisa dialihkan untuk memperkuat pelayanan publik. Sederhana bukan berarti miskin wibawa, justru menunjukkan integritas dan ketulusan dalam melayani rakyat.
Menawarkan Jalan Keluar
Apakah ada jalan keluar dari jebakan utang ini? Tentu saja ada, meski tidak mudah. Beberapa langkah nyata yang bisa ditempuh antara lain:
1. Menghentikan penambahan utang baru berbasis bunga, karena jelas menambah beban tanpa solusi jangka panjang.
2. Mengambil kembali kendali atas SDA strategis, sehingga hasilnya bisa menutup defisit dan membiayai kebutuhan pembangunan.
3. Melakukan efisiensi belanja negara, khususnya untuk fasilitas dan gaya hidup pejabat, agar dana lebih banyak dialirkan kepada rakyat.
4. Menguatkan sistem ekonomi syariah sebagai inspirasi, sehingga kebijakan fiskal bebas dari jebakan riba dan lebih berorientasi pada kemaslahatan umum.
Penutup
Dengan utang baru Rp 781,9 triliun dan bunga utang mencapai Rp 552 triliun per tahun, jelas utang bukan solusi jangka panjang. Justru inilah sumber utama kebocoran anggaran dan pelemahan kedaulatan fiskal.
Islam menawarkan jalan yang lebih sehat: kemandirian melalui pengelolaan SDA dan kesederhanaan pemimpin. Dengan begitu, kebutuhan rakyat terpenuhi tanpa harus terus menerus terjebak dalam lingkaran utang ribawi.
Pertanyaannya kini sederhana: apakah kita akan terus menambah utang dan menanggung akibatnya, atau berani memilih jalan kemandirian yang penuh berkah?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI