Mohon tunggu...
Maman Abdullah
Maman Abdullah Mohon Tunggu... Pengasuh Tahfidz | Penulis Gagasan

Magister pendidikan, pengasuh pesantren tahfidz, dan penulis opini yang menyuarakan perspektif Islam atas isu sosial, pendidikan, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Kesalehan tidak Relevan? Menafsir "Robohnya Surau Kami" di Tengah Arus Zaman

5 Agustus 2025   08:00 Diperbarui: 21 Agustus 2025   07:24 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kumpulan Cerpen Karya AA Navis (Dokumen gpu.id)

Hari ini, kami kehilangan seorang tetangga yang begitu kami hormati. Beliau dikenal sebagai pribadi yang istiqamah: tak pernah absen dari shalat berjamaah, rajin membersihkan masjid, dan selalu hadir dalam setiap pengajian. Beliau sosok yang bersahaja, rendah hati, dan peduli terhadap warga sekitar. Semasa hidupnya, beliau mengisi ruang ibadah dengan amal, dan mengisi ruang sosial dengan pelayanan. Ia adalah contoh dari kesalehan yang membumi.

Beberapa hari sebelumnya, dari kota, kami juga mendengar kabar wafatnya seorang tokoh ulama yang cukup dikenal secara luas. Beliau aktif dalam berbagai kegiatan keumatan dan juga pernah terlibat dalam panggung politik praktis. Pernah maju sebagai calon dalam pemilihan kepala daerah, dan selama hidupnya terus berjuang dengan caranya sendiri untuk menyuarakan nilai-nilai Islam.

Dua kabar ini membawa saya pada perenungan panjang. Tentang bentuk-bentuk kesalehan hari ini, dan bagaimana Islam seharusnya hadir di tengah masyarakat, bukan hanya sebagai ibadah personal, tapi juga sebagai solusi menyeluruh atas problem umat.

Kisah Lama yang Terasa Dekat

Perenungan itu membawa saya kembali pada sebuah cerpen yang saya baca puluhan tahun lalu: Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Cerita ini mengangkat latar sebuah surau tua di Minangkabau pada masa kolonial. Tokoh sentralnya adalah seorang kakek yang mengabdikan hidupnya untuk ibadah, menjauhi hiruk pikuk dunia, dan merasa sudah menjalani hidup yang benar sebagai bekal akhirat.

Namun segalanya berubah ketika Ajo Sidi, seorang warga yang pandai bercerita, menyampaikan kisah tentang Haji Saleh—seorang ahli ibadah yang ternyata justru masuk neraka. Mengapa? Karena Haji Saleh hanya fokus pada ibadah mahdhah: shalat, puasa, zikir, haji. Tapi sepanjang hidupnya, ia membiarkan bangsanya terjajah, tidak memperjuangkan umat, dan tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.

Cerita Ajo Sidi menusuk hati si kakek. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya mungkin tak jauh beda. Ia rajin beribadah, tetapi tidak pernah berusaha memperbaiki keadaan masyarakat. Ia menarik diri dari persoalan umat dengan alasan zuhud, tapi justru membiarkan penjajahan dan kezaliman merajalela. Tak lama kemudian, kakek itu ditemukan meninggal di belakang surau yang roboh—sebuah simbol kehancuran kesalehan yang tidak membuahkan perubahan sosial.

Relevansi dengan Hari Ini

Setelah puluhan tahun cerpen itu ditulis, ternyata realitas yang dikritik Navis masih hidup di tengah kita. Masjid-masjid kini berdiri megah. Pengajian ramai. Aktivitas keagamaan semakin banyak. Tapi, umat Islam tetap terpinggirkan dalam sistem kehidupan. Keadilan terasa jauh. Sistem hukum dan kebijakan sering kali berjalan tidak selaras dengan nilai-nilai Islam. Agama dihormati, tetapi dibatasi. Dihidupkan di ruang privat, tapi tak diberi ruang dalam pengambilan keputusan publik.

Sistem kehidupan kita saat ini lebih banyak ditopang oleh pendekatan pragmatis: apa yang menguntungkan secara ekonomi dan politis, itulah yang diutamakan. Dalam situasi ini, tidak sedikit tokoh Islam yang ikut masuk ke dalam sistem, berupaya berjuang dari dalam, namun sering kali justru terseret logika sistem itu sendiri. Tanpa disadari, peran ulama bisa bertransformasi menjadi pembenar kebijakan, bukan penyeru perubahan.

Kesalehan yang Membumi dan Berkesadaran

Saya mengenang kembali almarhum tetangga kami yang hampir tak pernah absen dalam pengajian. Dalam beberapa kesempatan, saya berperan sebagai narasumber dan menyampaikan pentingnya memahami Islam secara kaffah—Islam yang tidak hanya mengatur shalat dan zakat, tetapi juga sistem kehidupan, dari keluarga hingga negara.

Beliau mendengarkan dengan antusias, menyimak dan merenungkan, bukan hanya sebagai rutinitas, tetapi sebagai jalan hidup. Meski ia bukan politisi, bukan tokoh besar, tapi ia hadir secara nyata: dalam ibadah, dalam sosial, dalam semangat belajar dan berdakwah. Ia tidak seperti Haji Saleh dalam cerita Ajo Sidi. Ia tidak menarik diri dari masyarakat. Ia merawat masjid sekaligus menyemai kesadaran.

Ini yang saya sebut sebagai kesalehan yang sadar sistem. Kesalehan yang tidak hanya menjadikan agama sebagai pelengkap hidup, tapi sebagai pijakan utama dalam berpikir, bersikap, dan bergerak. Sebab hari ini, kita tidak hanya dituntut untuk menjadi saleh secara individu, tapi juga harus menjadi bagian dari solusi atas problem kolektif umat.

Menolak Surau yang Roboh untuk Kedua Kali

Cerpen Robohnya Surau Kami bukan sekadar cerita nostalgia. Ia adalah peringatan dan kritik abadi terhadap keberagamaan yang terasing dari realitas sosial. Surau itu roboh bukan karena kayunya lapuk, tapi karena semangat di dalamnya hanya mengurus akhirat tanpa peduli pada bumi tempat manusia diuji.

Hari ini, kita harus memastikan bahwa surau-surau kita tidak lagi roboh. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara fungsional. Masjid bukan hanya tempat sujud, tapi juga pusat perubahan. Ulama bukan hanya pengisi kajian, tapi juga suara moral yang membimbing arah bangsa. Dan umat Islam bukan hanya objek pembangunan, tapi subjek utama dalam membangun peradaban.

Jika kita ingin agama ini benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, maka kita harus keluar dari zona nyaman ibadah ritual semata, menuju pengamalan Islam yang menyeluruh dan membumi.

Cerpen A.A. Navis bukan sekadar cerita fiksi. Ia adalah sindiran dan peringatan. Bahwa kesalehan tanpa kepedulian bisa menjadi hampa. Tapi bukan berarti kita harus terjun ke dalam sistem yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sebab, jika tidak hati-hati, kita justru bisa terseret arus dan kehilangan arah.

Kesalehan hari ini perlu diarahkan pada kesadaran sistem—memahami bahwa kehidupan ini butuh solusi yang tidak hanya parsial, tapi menyeluruh. Mengkaji Islam secara mendalam, mengajarkannya, dan mendakwahkannya dengan pendekatan yang bijak adalah langkah yang tak kalah penting dibanding duduk di kursi kekuasaan.

Karena sejatinya, merawat surau tidak cukup dengan mengepel lantainya, tetapi juga dengan memastikan bahwa nilai-nilai yang diajarkan di dalamnya mampu menjawab tantangan zaman. Jangan sampai surau kita kembali roboh—bukan karena bangunannya lapuk, tetapi karena isinya kosong dari kesadaran akan tugas besar sebagai umat yang membawa risalah perubahan.

Kesalehan bukan sekadar urusan pribadi dengan Tuhan, tapi juga menyangkut tanggung jawab sosial—membela yang benar, membantu sesama, dan melawan ketidakadilan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun