Dulu, selepas maghrib, suara anak-anak membaca iqra' bersahutan dari surau-surau kampung. Kini, suara itu digantikan oleh dering notifikasi dan nyanyian dari gawai. Surau sunyi. Anak-anak lebih betah di dunia virtual daripada duduk bersila membaca ayat suci.
Surau Dulu dan Sekarang
Saya tumbuh dalam suasana di mana belajar agama adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Seusai sekolah, anak-anak bergegas menuju langgar atau musala. Selepas maghrib, suasana kampung terasa hidup dengan lantunan bacaan Al-Qur’an. Itu berlangsung setidaknya sampai mereka duduk di bangku SMP.
Kini, suasananya berbeda. Surau-surau tak lagi ramai. Anak-anak lebih asyik dengan gadget daripada duduk di hadapan guru ngaji.
Alhamdulillah, di lingkungan saya masih ada beberapa orang tua yang berinisiatif menitipkan anak-anaknya mengaji di rumah tetangga yang bersedia mengajar. Tapi tantangannya luar biasa: anak-anak lebih tertarik main game, nonton YouTube, atau scroll TikTok.
Jika Orang Tua Tidak Peduli
Bagi orang tua yang sadar pentingnya pendidikan agama, ada upaya serius untuk memasukkan anak ke madrasah atau pondok pesantren selepas SD. Tapi bagaimana dengan mayoritas umat yang tak punya kesadaran atau akses?
Banyak orang tua menganggap cukup anaknya bisa shalat dan hafal surat pendek. Tidak sadar bahwa mengenal Al-Qur’an dan agama tidak cukup hanya lewat pelajaran sekolah satu minggu sekali. Mereka lupa bahwa keterasingan anak-anak dari agamanya akan membawa dampak besar di masa depan — bukan hanya pada akhlak, tapi juga pada cara pandang, prioritas hidup, dan arah masa depan umat.
Fenomena Ibu-Ibu Ngaji, Anak-anak Asing
Ada gejala menarik sekaligus mengiris hati. Di banyak tempat, pengajian ibu-ibu dan majelis taklim bapak-bapak tetap ramai.
Namun yang jadi pertanyaan: di mana anak-anak mereka? Mengapa semangat ini tak diwariskan atau tak ditanamkan sejak kecil?
Ini bukan hanya soal program, tapi soal budaya dan nilai dalam rumah tangga.
Kita Sedang Menanam Generasi Buta Aksara Al-Qur’an
Kementerian Agama pernah merilis data bahwa sebagian besar umat Islam Indonesia belum bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Jika membaca saja sulit, apalagi memahami?