Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepotong Senja dari Kekasih

18 Oktober 2018   09:49 Diperbarui: 18 Oktober 2018   13:28 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: muhamadazhari.com

Setelah dikirimi sepotong senja oleh pacarnya setahun yang lalu, Davina menyimpan dan membingkai senja itu. Ia simpan baik-baik senja itu di kamarnya, dekat jendela. Setiap hari, setiap sore, setiap pukul lima ia duduk di depan bingkai senja itu. Ia tidak hanya mengagumi senja itu, lebih dari itu, ia telah mencintainya melebihi cintanya kepada pacarnya sendiri.  

Ketika Desy, teman kuliahnya, beseloroh lebih baik menikmati senja langsung di angkasa raya di sebelah barat sana. Lebih segar, lebih indah, lebih cantik  daripada hanya memandangi sepotong senja yang sudah mulai kering, warnannya sudah mulai pudar dan tidak sepenuhnya utuh.

Tapi Davina berpendirian lain. Menurutnya, senja pemberian kekasihnya itu lain dari yang lain. Senja itu seperti external hardisk yang  menyimpan ribuan file kenangan yang tidak ia jumpai di senja-senja yang lain. Ribuan kenangan indah dari ribuan pasang kekasih ada di dalamnya. Memandanginya seakan menonton keindahan-keindahan dan kenangan itu.

Ketika sudah di depan senja itu, Davina tidak bisa diganggu oleh siapa pun bahkan oleh Ibu dan Ayahnya sendiri. Ia seakan menemukan dunianya sendiri. Ia lupa temannya, saudaranya, orang tua bahkan dirinya sendiri. Ia seperti memasuki dunia masa lalu yang ia sendiri tidak mengenalnya. Ini membuat Ayah Ibunya kesal dan marah.

Sore itu, Davina sudah ada di kamarnya. Ia bersiap menemui senjanya. Seperti ritual wajib yang tidak boleh lupa. Ia duduk di depan senja dekat jendela kamarnya. Angannya melayang entah kemana, entah dimana. Ia melihat sepasang kekasih sedang duduk  di tepi pantai memandang senja penuh ketakjuban dengan deburan ombak seakan iringan musik instrumental yang indah. Ia pandangi sepasang kekasih itu lekat-lekat, gestur dan mimik pasangan itu tampak bahagia. Kepala perempuan itu bersender di pundak pasangannya. Tangan laki-laki itu terlihat merengkuh pinggang perempuan yang disampingnya itu dengan mesranya. Mereka menikmati senja bagai dunia hanya milik mereka.

Setelah melihat pemandangan itu, Davina merasa segar kembali. Semangatnya bergelora kembali. Ia pun kembali ke dunia nyata, bertemu dengan kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya.

Sore berikutya, Davina seperti biasa masuk ke kamarnya dan tak lupa menguncinya. Di dalam ia duduk di depan senja itu dekat jendela. Ia menatapnya dan pikirannya melayang ke sebuah pantai yang indah. Angin menyapa lembut. Membisikan gelora asmara yang membuncah. Ia melihat sepasang bule yang sedang menikmati senja. Ia cukup dekat dengan mereka dan mampu mendengar dengan baik apa yang sedang mereka bincangkan.    

"Indah sekali senja sore ini." Kata si lelaki.

"Iya. Itu coba lihat!. Cahayanya merah. Awannya kebiru-biruan. Mentarinya sudah mulai sembunyi di balik awan." Kata si perempuan sambil jari lentiknya menunjuk ke arah senja.

Mereka berbalik arah dan menjulurkan tongsis ke depan. Mereka ingin mengabadikannya, cepret, cepret. Camera ponselnya mengambil beberapa gambar dengan backround senja yang matang.

Setelah melihat pemandangan itu, Davina seperti biasa kembali ke dunia nyata lagi. Ia seperti terbangun dari mimpi indahnya.  Ia beraktifitas seperti biasa.

Lain sore. Davina seperti biasa masuk ke kamarnya. Ia duduk di meja belajarnya di depan senjanya. Pikirannya melayang ke sebuah pantai berpasir putih. Di lihatnya seorang laki-laki berambut panjang bertubuh gempal berlari sambil membawa sesuatu, entah apa. Nafasnya terengah-engah. Laki-laki itu melintas di depannya dan lenyap ditelan serombongan turis yang hanya memakai pakaian minim yang bersiap menikmati senja. Tak lama berselang, sejumlah orang mengejar sambil berterik "Pencuri....Pencuri....." yang lain "tankaaaap....tangkaaaap..." Mereka melewati Davina dan salah seorangnya bertanya "apakah Mbak melihat seseorang berambut panjang lewat ke sini berlari membawa sesuatu?"  Entah mengapa kepala Davina menggeleng tanda ia tidak tahu. Padahal jelas ia tadi melihat seseorang berlari melintas di depannya. Sore itu napas Davina ikut terengah-engah seperti orang yang habis berlari dikejar anjing.  

Sore hari yang lain,  Davina masuk kamarnya dan menguncinya dari dalam. Ia tidak mau ritual sorenya ada yang mengganggu. Ia duduk di depan senja dekat jendela kamarnya. Ia memandang senja itu dengan penuh kerinduan, seperti biasa. Pikirannya melayang. Kali ini ia pergi ke sebuah pantai yang indah. Dan senja sebentar lagi datang. Di pantai yang bersih dengan pasir hitam yang berkilauan seorang laki-laki duduk sendiri menanti senja.  Davina berjalan ke arah laki-laki itu. 

Entah magnet apa yang menariknya hingga ia seperti terkena pelet, mendekati lekaki itu dan duduk di dekatnya. Tak ada kata yang terucap dari keduanya. Davina dalam hatinya ia berbicara. Wajah laki-laki ini terlihat tidak sedang bahagia. Meski gurat-gurat ketampanannya masih kentara. Rambutnya yang panjang dibiarkannya tergerai, jatuh dipundaknya. 

Kaosnya hitam bergambar penyair kenamaan Rendra yang sedang membacakan puisi. Matanya terlihat melihat keindahan senja tapi sebenarnya ia tidak melihat apa-apa. Matanya sendu memendam rindu sekaligus kepahitan hidup bagaikan makan empedu.

"Ma'af, apakah saya menggangu duduk di sini?" tanya Davina hati-hati.

"ooh, tidak. Silakan." Kata laki-laki itu.

"Sendiri?"

"Iya. Seperti yang kamu lihat." Kata laki-laki itu ketus.

"Kamu?"

"sama. Seperti kamu."

"Suka menikmati senja?"

"Ya begitulah. Biasanya aku bersama pacarku."

"Dia kemana?"

"Pergi memilih laki-laki lain yang katanya lebih mapan."

"Kamu?"

"Aku punya pacar tapi dia di lain kota. Dia pernah mengirimiku sepotong senja."

"oh ya? Wah pasti kamu senang"

"Tidak hanya senang. Aku pun sekarang jatuh cinta kepada senja itu."

Mereka dalam waktu singkat terlihat akrab. Satu sama lain saling berbagi cerita dan pengalamannya. Tentang kuliahnya, tentang pacarnya tentang kegemarannya dan hal-hal lainnya.

"Apa yang didapat kalau kamu memandangi senja?" Kata Davina

"Oh ya, nama kamu siapa?"

"Aku Sorenda"

"Nama yang unik. Aku Davina"

"Panggil saja aku Soren"

Mereka berjabat tangan, hangat.

"Aku hanya ingin kesunyian.

Dalam kesunyian

aku menjumpai kata-kata.

Aku bermain,

aku bercanda,

aku bercerita,

kadang aku marah bersama mereka.

Seringkali kata-kata yang aku jumpai di sini

tak ingin berpisah denganku.

Terpaksa aku ajak mereka pulang

dan tidur satu kamar denganku."

"Kamu penyair?"

"Entahlah. Aku hanya suka bercumbu

dengan kata-kata dan kesunyian."        

Davina dan Soren semakin akrab. Mereka bicara tentang apa saja. Masa lalunya, masa yang sedang dijalani dan mimpi-mimpinya.  Ini membuat Davina semakin tenggelam dan lupa bahwa waktu telah malam. Ia lupa makan, lupa mandi lupa segalanya.

Ibu Davina mengetuk pintu, tok..tok...tok... "Vin...Vin...Vina dah malam, kamu belum makan. Kamu ngapain aja di kamar?"

Davina terjaga, kaget. "Oh ya Tuhan... dah jam berapa nih."  Kamar masih gelap. Ia bangun lalu melangkah menutup jendela dan menyalakan lampu. Dia lihat jam dinding sudah jam setengah sembilan malam. Ia buka pintu kamarnya.    

Di depan pintu kamar Ibunya langsung nyemprot. "Kamu ngapain aja di kamar? Sampai lupa waktu?" Ibunya langsung menerobos ke kamar Davina. "Apa ini Vin?" Ibunya sambil melihat senja yang terbingkai. "Karena ini kamu sampai lupa waktu, lupa makan, lupa Tuhan?"  Tangan ibunya sambil meraih senja itu dan membantingnya. Braaak.....kaca bingkai senja itu hancur berkeping-keping. Serpihannya berserakan kemana-mana, ke kolong meja, ke kolong tempat tidur. Sementara sepotong senja tergolek telanjang. Tak hanya itu, dengan amarah yang membakar, Ibunya memungut senja itu membawanya keluar dan ooow ia membakarnya. Davina hanya bisa memandang senja itu tanpa kuasa mencegahnya. Api itu membakarnya lahap.

"Ibu............." Sambil tangannya menggapai. Tapi semua itu terlambat. Hanya dalam waktu beberapa menit saja senja itu telah menjadi arang. Hilang sudah ribuan kenangan yang ada di dalamnya. Davina tidak  mungkin lagi menemui si penyair eksentrik di pantai indah dan menyaksikan keindahan senja dengan para pencinta yang menikmatinya.        

Beberapa hari hari kemudian, Davina hanya mengurung diri di kamarnya. Ia tak berselera pergi ke kampus. Makan pun ia lewatkan. Semakin hari berat badanya turun drastis. Kondisi ini membuat Ibunya, Ayahnya dan adiknya sangat khawatir. Ini membuat Ibunya meraa bersalah dan sadar apa yang sudah dilakukannya telah membuat anaknya menderita.

"Ma'afkan Ibu, Vin. Ibu telah membuat kesalahan." Ibunya memasuki kamar Vina dan memeluk anak perempuannya itu. Vina pun memeluk Ibunya. Air matanya deras menetes bagai embun pagi di daun talas.  "Bagi Ibu senja itu tidak begitu penting tapi bagi kamu mungkin itu sangat berarti. Ma'afkan Ibu Nak." Kata Ibunya sambil mengeratkan pelukannya.

"Ibu punya ide, jika Vina membolehkan, sebagai permintaan ma'af, Ibu akan telpon Nak Sena untuk mengirimkan lagi sepotong senja untukmu." Kata Ibunya dengan wajah berharap seperti wajah Ibu yang mengharap mendapatkan arisan.

Davina hanya tersenyun tipis dan mengangguk. Meskipun ia sadar tak mudah bagi Sena untuk mendapatkan lagi sepotong senja itu. Ibunya pun segera mengambil handphone dan menelepon Sena, pacar Vina.

"Baik Bu, saya akan usahakan. Mungkin akan butuh beberapa hari untuk sampai ke rumah." Kata Sena. Ia sadar untuk mendapatkan sepotong senja itu tidak mudah. Memerlukan perjuangan yang sangat berat. Tapi demi pacarnya, ia akan lakukan itu.

"Kondisi Vinanya gimana Bu?"

"Dia sudah mulai membaik. Dia sudah mulai mau makan."

"Salam buat Vina, Bu"

"Baik, Nak Sena."  Pembicaraan pun selesai. Telepon ditutup.

Vina sudah nampak sehat. Ia sudah mulai kuliah lagi. Tapi paket sepotong senja itu belum juga tiba. Setiap pagi, setiap siang dan setiap sore Vina menanti paket senja itu. Tapi sampai lehernya terasa kaku paket itu belum juga tiba. Mungkin Sena kesulitan memotong senja, karena di setiap titik untuk melihat senja banyak polisi yang berjaga-jaga.()  

Jakarta, 9 Oktober 2018            

*Terinspirasi dari cerpen "Sepotong Senja untuk Pacarku" Seno Gumira Ajidarma.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun