Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[My Diary] Musim Kemarau Itu

13 April 2016   21:21 Diperbarui: 13 April 2016   21:46 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Lampung pernah mengalami musim kemarau terpanjang sampai 9 bulan, banyak pohon-pohon yang mati, sungai-sungai mengering dan tentu pasokan makanan amat sedikit (lampung.tribunnews.com)"][/caption]

 

 

Dear Diary,

1997 Kala itu,

Sumur-sumur sudah pada mengering, meskipun ada hanya beberapa sumur saja yang masih bisa dijamah airnya. Begitu juga sumur kami, meskipun dalamnya puluhan meter, ternyata mata air pun enggan menyapa timba kami. Entahlah mungkin karena musim kemarau yang panjang. Kebunku mulai tandus, pohon-pohon kelapa juga meranggas. Semua ada enam puluh pohon, tapi yang tersisa tinggal beberapa pohon saja. Yang lain mati. Padi, jagung dan singkong juga enggan terbangun, sebulan, dua bulan masih juga tak beranjak dari tidurnya. Bahkan yang lebih parah lagi batang-batang yang sudah ditanam tiba-tiba mengering. Sedih sekali kalau musim kemarau. 

Meskipun kemarau efeknya sulit mendapatkan air, untung warga kampungku tidak mudah berebut air, dan bersyukurnya sumur-sumur masih ada yang bisa diambil airnya walau sekedar untuk masak dan minum. Meskipun semua tampak kalut, ternyata tidak mengurangi kesabaran dalam lubuk hati kami

Efek karena tanaman mati, maka yang yang tersisa adalah harapan akan turunnya hujan di panasnya bumi, cakrawala yang memerah berharap menjadi kelabu dan berubah rintikan hujan yang membasahi bumi. Awan yang kutunggu-tunggu juga tak muncul-muncul, andaikan ada hanya gumpalan kecil yang seperti menyapaku, "Selamat pagi, Bang! Sabar ya, karena musim masih kemarau." Enak sekali awan itu mengecohku dengan gumpalan kecil. Padahal setelah itu mereka akan pergi lagi tersapu angin. 

Tak hanya awan yang enggan turun menjadi hujan, tak hanya mata air yang enggan menyapa timbaku, karena ubi kayu, jagung dan padi yang sedianya untuk persiapan menjejal perut kami yang lapar, ternyata enggan bertumbuh juga. Seandainya ada, tinggalah ubi-ubi yang sudah agak membatu karena saking lama berada pada suhu yang kering. Panas yang tak segera berlalu membuatnya semakin padat. 

Ada beberapa batang yang masih tetap tumbuh, paling-paling kami jadikan gaplek dan diubah menjadi tiwol, makanan ini sudah menjadi makanan pokok dikampungku kala itu, tapi di musim kemarau panjang itu, semua menjadi sulit. Jangankan mendapatkan berkwintal-kwaintal ubi kayu siap panen, tinggallah batang yang sudah mengering lantaran enggan tumbuh sebab ketiadaan air.

Untuk mengganjal perut kami yang kosong, tak lelah Emak bekerja di sebuah pabrik pengolahan gaplek, berhari-hari ia bekerja di sana demi bisa membeli sekilo beras dan bumbu-bumbu persiapan makan kami seharian. Dengan ditemani adikku ketiga emak lakukan dengan ikhlas. Meskipun kadang kesedihan tampak di wajahnya, mengingat Bapak tak kunjung pulang dengan tangan berisi penuh uang. Semua semakin menyedihkan ketika sudah lelah menanti, yang dinanti juga pulang dengan tangan hampa. Sungguh emak adalah wanita yang terlalu mulya menurutku. Mudah-mudahan beliau salah satu penghuni surga-Nya. aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun