Lima menit kemudian, segelas kopi panas sudah tersaji di meja si Urip.Â
"Kopinya Pak!"Â
Istrinya mempersilakan suaminya itu untuk menikmati kopinya. Urip pun mengangguk pelan dan matanya masih fokus pada layar ponselnya mengamati video yang baru saja direkam.
"O, iya pak. Setiap hari Bapak bikin konten dan habis kuota emang dapat uang berapa pak?" Tanya sang istri menyela.
"Ya dapatlah, tapi nggak tahu, kok dapatnya cuman sedikit, ya? Mau beli kuota saja agak susah ini. Walaupun bapak sudah dapat pengikut yang lumayan banyak, nyatanya sepekan ini belum satu pun yang sudah membeli. Aku bingung, kok sepertinya susah dapat duit dari sini." Keluhnya dengan kerut di dahinya tertarik ke atas.
"Yang sabar, Pak. Namanya juga usaha. Sahut Marti.
"Iya, sabar tapi kalau ujung-ujungnya bangkrut, gimana coba?" Urip menimpali.
Seketika itu sang istri kembali terdiam. Semua nampak lengang. Beberapa waktu kemudian ia  berkata: "Ya sudahlah, kalau gak berhasil jualan di sana ya gak usah jualan, Pak. Mending kerja serabutan aja, kan uangnya jelas."
"Bu, bukannya aku gak mau kerja serabutan!, tapi nyari kerjaan sekarang susahnya minta ampun. Kemarin aku mau ikut kerja sama Pak Mamin tapi ditolak, alasannya karena pekerjanya sudah penuh dan gak ada lowongan lagi. Kalau aku kerja di sawah, sehari cuman dibayar 40 ribu, mana cukup untuk belanja dan uang jajan anak kita." Katanya sambil menghela nafas.
"Ya. lantas gimana kalau nggak kerja dan cuman ngandelin jadi affiliator yang bakalan kejual rumah kita, Pak. Kemarin saja jatah untuk beli lauk, terpaksa aku kasihkan Bapak untuk beli kuota. Padahal anak-anak butuh lauk agar mau makan. Belum lagi si Udin, kalau gak dikasih uang jajan gak bakalan mau ngaji tempat Mbah Somad.
"Ya sudah. Kira-kira aku apa berhenti aja dari affiliator, Bu? Aku minta saran darimu." Tanya Urip lagi. Namun, sebab pertanyaan ini, wajah Marti nampak muram dan ada rinai yang jatuh sedikit dari sudut matanya.Â