Angin berhembus kencang ditemani oleh butiran-butiran gerimis yang jatuh di luar rumah. Ada juga butiran-butiran itu yang masuk ke dalam rumah yang berdinding bambu itu. Di sana ada selaksa pilu dan luka yang tak mudah untuk dibuatkan cerita. Hanya penggalan mimpi yang sulit menjadi nyata.
Di sebuah kamar dengan meja yang mulai rapuh dengan kursi yang juga semakin banyak congkelan karena anak-anak yang suka main congkel jika ketemu kursi yang mulai rapuh itu.
Sesosok lelaki paruh baya masih menghitung angka-angka di dalam sebuah buku usang. Ada coretan-coretan angka yang seperti menyiratkan betapa selama ini ia rajin menulis angka-angka--uang hasil jerih payahnya selama ini selama menjadi konten kreator dan jualan online itu. Ialah Urip, namanya mengisyaratkan sesuatu yang terus hidup dengan cahaya yang terang, yang gak bakalan padam kecuali disiram air atau tercerabut oleh hempasan angin yang kencang.
Di kamar lain, seorang wanita dengan rambut terurai tengah menjahit pakaian yang juga lusuh dengan tambalan di bokong yang robek karena tersangkut kayu kursi tadi. Ialah Marti, istri yang selalu setia menemani sang suami sepanjang waktu dan melayaninya semampunya demi membahagiakan sosok yang menjadi belahan jiwanya itu.
"Lagi nulis apa, Pak? Tanya istrinya sambil menatapnya dari balik pintu yang masih tertutup tirai. Marti merasa suaminya terlihat murung. Duduk di tempatnya beberapa waktu dan tak juga beranjak pergi.
"Ya, biasalah. Nulis catatan pengeluaran selama aku ngonten." Jawab Urip dengan menolehkan wajahnya ke arah istrinya.
Sejenak kemudian, diambilnya sebuah paket di depannya yang masih terbungkus rapi dengan plastik hitam. Ia buka perlahan dan didapati sebuah teko bergambar kupu-kupu. Lalu ia pun merekamnya dan menyimpannya di dalam memori ponsel.
Dengan suara lirih ia pun berkata: "alhamdulillah masih dapat sampel gratis dari penjualnya. Dan aku janji mau tak buatkan video yang bagus agar tekonya juga laku dan aku dapat persenan 2 ribu perak." Wajah Urip nampak penuh semangat.
Di lain waktu, istrinya pun menawarinya sesuatu. "Mau ngopi pak?" Tanya Marti pelan.Â
"Iya." Jawab Urip lagi. Istrinya pun beranjak ke dapur.
Lima menit kemudian, segelas kopi panas sudah tersaji di meja si Urip.Â
"Kopinya Pak!"Â
Istrinya mempersilakan suaminya itu untuk menikmati kopinya. Urip pun mengangguk pelan dan matanya masih fokus pada layar ponselnya mengamati video yang baru saja direkam.
"O, iya pak. Setiap hari Bapak bikin konten dan habis kuota emang dapat uang berapa pak?" Tanya sang istri menyela.
"Ya dapatlah, tapi nggak tahu, kok dapatnya cuman sedikit, ya? Mau beli kuota saja agak susah ini. Walaupun bapak sudah dapat pengikut yang lumayan banyak, nyatanya sepekan ini belum satu pun yang sudah membeli. Aku bingung, kok sepertinya susah dapat duit dari sini." Keluhnya dengan kerut di dahinya tertarik ke atas.
"Yang sabar, Pak. Namanya juga usaha. Sahut Marti.
"Iya, sabar tapi kalau ujung-ujungnya bangkrut, gimana coba?" Urip menimpali.
Seketika itu sang istri kembali terdiam. Semua nampak lengang. Beberapa waktu kemudian ia  berkata: "Ya sudahlah, kalau gak berhasil jualan di sana ya gak usah jualan, Pak. Mending kerja serabutan aja, kan uangnya jelas."
"Bu, bukannya aku gak mau kerja serabutan!, tapi nyari kerjaan sekarang susahnya minta ampun. Kemarin aku mau ikut kerja sama Pak Mamin tapi ditolak, alasannya karena pekerjanya sudah penuh dan gak ada lowongan lagi. Kalau aku kerja di sawah, sehari cuman dibayar 40 ribu, mana cukup untuk belanja dan uang jajan anak kita." Katanya sambil menghela nafas.
"Ya. lantas gimana kalau nggak kerja dan cuman ngandelin jadi affiliator yang bakalan kejual rumah kita, Pak. Kemarin saja jatah untuk beli lauk, terpaksa aku kasihkan Bapak untuk beli kuota. Padahal anak-anak butuh lauk agar mau makan. Belum lagi si Udin, kalau gak dikasih uang jajan gak bakalan mau ngaji tempat Mbah Somad.
"Ya sudah. Kira-kira aku apa berhenti aja dari affiliator, Bu? Aku minta saran darimu." Tanya Urip lagi. Namun, sebab pertanyaan ini, wajah Marti nampak muram dan ada rinai yang jatuh sedikit dari sudut matanya.Â
"Lho, kok malah mewek. Katanya kita rugi kalau jadi affiliator, kok dimintai saran malah mewek. Gimana to Ibu ini? Tanya Urip sambil menatap wajah si Marti yang terlihat mendung.
"Gimana nggak sedih Pak, uang makan yang biasanya cukup harus dikurangi untuk sekedar beli kuota dan Bapak jualan online. Padahal uang itu juga dari hasil kerjaku nyuci tempat Bu Rindi. Aku capek banget. Tapi Bapak nggak juga dapat kerjaan tapi ngandelin jualan online yang gak jelas itu."Â
"Ya sudahlah, aku besok mau berhenti jualan di online, aku mau kerja saja sama Pak Mamat nyabut singkong. Lumayan sehari 80 ribu."
Percakapan ini pun berakhir. Â Ia kembali menatap layar ponsel yang sudah retak layarnya. Sedangkan kameranya juga sudah buram. Tapi lagi-lagi Urip merasa bertanggung jawab menawarkan barang yang sudah didapatkan dari sampel gratis itu. Ia takut dicap orang yang hanya modal gratisan tapi gak mau bertanggung jawab.
Kemudian ia unggah video dari Teko kecil itu, dan berharap mendapatkan jumlah penonton dan pembeli mau melakukan ceck out barangnya.
Semenit dua menit ia menunggu momentum penonton yang kembali menonton videonya. Ternyata hanya sepuluh orang yang datang. Sedangkan follower yang sudah ribuan itu sepertinya hanya omong kosong. Ia bingung dengan kenyataan itu, mengapa sedikit sekali yang mau melihat videonya.
"Kenapa sih orang pada gak mau melihat vitiku? Padahal sudah kuedit dengan bagus dan suaranya juga sangat jelas. Kenapa bisa begini. Apa memang aku harus berhenti saja?" Tanya Urip dalam hati sambil menunjukkan wajah sedih.
"Nggak. Aku mau berusaha dulu sampai barang yang aku jual ada pembelinya." Lanjutnya dalam hati.
Tiba-tiba ada notifikasi bahwa ada yang telah ceck-out teko mungilnya itu. Wajah Urip nampak girang bukan kepalang. Saat-saat yang ditunggu-tunggu akhirnya membuahkan hasil. Konten yang awalnya tak juga membuahkan hasil akhirnya pecah telur. Ada lima orang yang telah membeli tekonya dan tertulis GMV 100 ribu dengan komisi 10 ribu rupiah.Â
Wajah yang semula muram, kini agak sumringah. Tapi pikiran dan hayalannya masih panjang. Ia berharap ada yang membeli teko tersebut sebanyak-banyaknya, sampai ratusan orang. Biar esok lagi ia bisa membeli kuota untuk mengunggah video lagi.Â
Dan betapa kagetnya lagi, ternyata penjualan teko bergambar kupu-kupu itu mencapai jutaan pisis. Dan seketika itu ia pun berteriak dan tertawa tanda menyambut kebahagiaan yang selama ini ia idam-idamkan.
"Alhamdulillah, tekoku jadi laku jutaan pisis. Gak nyangka aku bakalan sukses jadi affiliator!!! Teriak Urip hingga terdengar istrinya.
Saking bersemangatnya, suara teriakannya sampai terdengar di telinga sang istri yang saat itu tengah menonton tv sambil rebahan. Seketika si Marti pun terkaget-kaget dan bangkit dari rebahannya. Ia menghampiri suaminya dan menatap wajah suami yang nampak masih terlelap dalam tidurnya.
Seketika itu pula Urip pun terjaga karena dibangunkan sang istri. Rasa senang Urip yang dikira nyata ternyata hanya mimpi. Sebuah mimpi ketika tak sengaja tertidur ketika memainkan ponsel sambil meletakkan kepalanya di atas meja.
"Oalah Pak Pak... tak kira beneran ternyata hanya mimpi." Teriak Marti dengan penuh kecewa.
Kasihan benar si Urip...
End
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI