Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Penulis Biasa

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hati yang Terbelah

6 Agustus 2020   23:27 Diperbarui: 7 Agustus 2020   07:32 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa? Kamu sudah kenal lama? Apa perempuan itu pacarmu?" Suara ayah ternyata meninggi. Tak kusadari ayah mulai curiga. Aku diam gak bisa berkata-kata.

"Ayah sudah bilang sama kamu, jangan pernah menikah dulu, sebelum mendapatkan pekerjaan yang mapan.  Jangan pernah melawan apa yang ayah katakan, jika kamu tidak ingin mengecewakan ayah." Tandasnya.

Ya, Tuhan, aku ingin mengatakan semuanya, perempuan itu, rasa yang ada di dadaku. Tapi ayah begitu tega melarang aku mencintai seseorang. Setiap hari aku berpura-pura tidak punya masalah, tapi tetap saja aku gak bisa berbohong terus.

"Aku izin mau ke belakang. Perutku sakit.  Kataku mencoba menghindar dari cacian ayah. Aku berlalu dari hadapan pria kekar itu. Meskipun sebenarnya aku sangat menghormatinya, tapi aku tidak bisa menyimpan rasa kecewa, kenapa sikapnya tak berubah.

"Kenapa dengan ayahmu, Nak?" Tanya ibu dengan suara berbisik. Kala itu tangannya masih memegang ember yang hendak ia isi air untuk mecuci piring.

"Nggak apa-apa, biasa bu, ayah ingin aku bekerja dulu. Ayah masih melarangku menikah." Kupandangi wajah ibu yang mulai berkerut karena usia. Ia adalah ibu yang amat bijaksana. Ia selalu mengajarkanku untuk mengalah.

"Ayahmu memang betul. Jangan pernah mengecewakannya. Tahu sendirikan ayahmu sudah bekerja keras demi kelulusanmu. Ingat itu!"

"Bukan maksud melarangmu begitu saja, tapi ada pertimbangan lain agar kamu mendapatkan pekerjaan yang jelas hasilnya. Agar nanti ketika menikah kamu tidak membebani orang tuamu lagi. Bisa membahagiakan ibu dan ayahmu. Dan menikah kan memang butuh biaya. Emang siapa yang akan membiayaimu. Harta ayahmu sudah ludes. Mata pencaharian saja sekarang sudah sulit. Usia ayahmu sudah tua. Sudah harus istirahat. Di pabrik tenaganya sudah tidak mampu melakukan pekerjaan berat."

"Iya, bu. Aku mengerti. Ayah dan ibu sudah memperjuangkanku. Bahkan harta satu-satunya tak bersisa." Jawabnya dengan perasaan agak bersalah.

Kali ini Adi berlalu ke belakang. Ia ambil parang untuk mencari kayu bakar. Ia ingin mencarikan kayu bakar untuk ibunya yang saat ini tengah mempersiapkan makan siang. Sebenarnya ibunya terbiasa memasak dengan gas, tapi kali itu gas yang diinginkan sedang langka. Maka terpaksa Adi mencari kayu bakar.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun