Mohon tunggu...
Mahfudz Tejani
Mahfudz Tejani Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bapak 2 anak yang terdampar di Kuala Lumpur

Seorang yang Nasionalis, Saat ini sedang mencari tujuan hidup di Kuli Batu Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur. Pernah bermimpi hidup dalam sebuah negara ybernama Nusantara. Dan juga sering meluahkan rasa di : www.mahfudztejani.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kefanatikan dalam Politik dan Sepak Bola Tidak Jauh Berbeda

23 Desember 2020   06:48 Diperbarui: 23 Desember 2020   22:27 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepakbola dan partai politik tidak dapat dipisahkan dengan pendukung dan kefanatikan. Merekalah dasar utama yang membesarkan klub dan partai, bahkan bisa menjadi sumber pemasukan biaya operasional perjalanannya.

Rasa memiliki yang ada kepada pendukung, merupakan modal utama dan awal kekuatan untuk bergerak lebih jauh. Walau kadangkala, rasa memiliki itu diterjemahkan dalam bentuk kefanatikan. 

Ada kefanatikan dalam batas bisa ditolerir, namun ada jaga kefanatikan yang bisa digolongkan kepada garis keras.

Dalam sepakbola, jarang pemain yang bertahan hingga ke akhir kariernya. Hanya ada beberapa pemain profesional saja yang tidak pernah pindah klub. Diantaranya Ryan Giggs dengan Manchester United, Paolo Maldini dengan AC Milan, Javier Zanetti dengan Inter Milan, dsb.

Namun banyak  juga yang keluar-masuk klub berbeda setiap musim bursa transfer, disebabkan beberapa faktor. Alasan umum yang melatarbelakangi perpindahan ke klub lain adalah, kalah bersaing di klub lamanya, faktor keluarga, berselisih faham dengan manajemen klub, dan terbuai pendapatan lebih besar di klub barunya.

Alasan terakhir itu yang sering mendapat kecaman dari pendukung/suporter klub lamanya. Apalagi perpindahan itu berlaku ke klub rivalnya. Bukan hanya sekedar kecaman belaka, mereka akan diejek sepanjang permainan tatkala bertemu dengan klub lamanya. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang sampai mendapat ancaman kriminal.

Lihatlah bagaimana perlakuan suporter, saat Robbie Van Parsie pindah dari Arsenal ke Manchester United atau Carlos Tevez dari Manchester United ke Man City. Bagaimana juga kecaman datang, saat Luis Figo pindah darI Barcelona ke Madrid.

Atau untuk skala nasional, kita bisa melihat bagaimana kisah perpindahan Aji Santoso dari Arema Malang ke Persebaya Surabaya. Sudah sedia maklum, bagaimana rivalitas persaingan antara Arema dan Persebaya yang begitu sengit, dalam kancah sepakbola nasional.

***

Apa yang terjadi dalam dunia sepakbola, juga terjadi dalam dunia politik. Tidak ada kawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi. Sebuah pernyataan lumrah yang menjadi hafalan dan pegangan para politisi.

Lihatlah dalam perjalanan politik tanah air, banyak politisi layaknya pemain bola, yang suka pindah partai. Kalau tidak pindah partai,  malah pindah koalisi. Bahkan langkah di luar dugaan, mereka malah bikin partai baru, untuk menyaingi dan mengkeroposi partai lamanya.

Ketika politisi itu pindah partai atau lompat koalisi, mereka akan dipandang miring dan hina oleh para pendukungnya. Cap pengkhianat dan penjikat akan melekat di wajah politisi tersebut. Apalagi perpindahan itu, atas dasar karena dijanjikan kekuasaan.

Salah satu contoh adalah politisi sekaligus pengacara Ruhut Sitompul, yang suka berselancar dari partai ke partai lainnya. Resikonya beliau akan dianggap pengkianat oleh pendukung di partai lamanya. Namun kelebihannya beliau bisa hidup dalam setiap rezim yang berkuasa.

Lihat juga bagaimana reaksi kekecewaan pendukungnya, saat Prabowo Subianto bergabung dengan kabinet Joko Widodo. Kabinet rival kompetitornya, yang menang dalam bursa pemilihan presiden 2019.

Ditambah lagi dalam reshuffle kabinet kemarin, kandidat Cawapres dari Prabowo, yaitu Sandiaga Uno, turut serta bergabung dalam struktur kepemerintahan Jokowi. Beban kecewa akan semakin membesar dalam pendukung kandidat Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pemilu lalu.

Ada niat baik dari Prabowo dan Sandi dengan bergabung ke dalam struktural pemerintah. Disamping untuk menyatukan polarisasi (perbedaan/pembelahan publik) yang melebar diantara unsur bangsa, efek Pemilu. Mereka juga ingin mengabdikan diri kepada negara, atas kepakaran dan keahlian yang dimilikinya.

Namun, kita tidak bisa menyalahkan kecaman dari para pendukungnya, dalam meluapkan kekecewaanya. Alasanya, karena mereka mati-matian dengan segala cara untuk memenangkanya saat itu. Mereka juga berdarah-darah berjuang dan mengorbankan apa saja dalam mendapatkan suara untuk kandidat tersebut.

Banyak pelajaran dan hikmah yang kita ambil dari kejadian ini. Bahwa dalam berpolitik, kita jangan terlalu fanatik dalam mendukung kandidat yang diusungnya. 

Hingga saling menabrak adab dan adat ketimuran, mengorbankan ikatan silaturrahim, bahkan melakukan segala cara agar yang didukungnya menang.

Bersederhanalah dalam mendukung siapa saja dalam Pemilu akan datang. Karena di level elit politik, kita tidak tahu apa yang telah terjadi. Kesepakatan-kesepakatan apa yang telah terjadi diantara mereka. Karena tidak ada rival abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan abadi.

Salam persatuan
#KitaIndonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun