Era digital, dengan segala kekacauan dan informasi tanpa batas yang ditawarkannya, seringkali justru memicu peningkatan kecemasan, stres, dan sindrom burnout di kalangan masyarakat modern. Kita seringkali merasa terbebani oleh informasi yang tiada henti, tuntutan untuk selalu update, dan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Di tengah kontradiksi inilah, Filsafat Stoikisme, sebuah kebijaksanaan kuno yang berfokus pada pengendalian diri, muncul sebagai solusi relevan untuk menjaga ketenangan batin di zaman yang serba cepat ini. Stoikisme menyediakan kerangka praktis untuk menavigasi ramainya dunia digital tanpa harus terseret oleh arusnya.
Filsafat Stoikisme berakar di Athena kuno, didirikan oleh Zeno dari Citium, dan dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh terkemuka seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius. Inti dari filosofi ini bukanlah menekan emosi atau menjadi tidak peduli, melainkan mengelola emosi secara rasional. Tujuannya adalah mencapai ketenangan batin (ataraxia) dan kebahagiaan sejati (eudaimonia) melalui pemahaman mendalam tentang apa yang sebenarnya berada dalam kendali kita.Â
Konsep kuncinya meliputi:
Dikotomi Kontrol, yang mengajarkan kita untuk membedakan antara hal yang bisa kita kendalikan (pikiran, tindakan, reaksi) dan yang tidak (opini orang lain, peristiwa eksternal), dengan fokus pada ranah internal diri. Dengan memahami dan menerapkan Dikotomi Kontrol, kita diajak untuk melepaskan kekhawatiran yang tidak perlu terhadap hal-hal di luar kendali kita, dan sebaliknya, mengarahkan fokus pada apa yang betul-betul bisa kita ubah: diri kita sendiri. Menurut Stoikisme ini adalah langkah pertama menuju ketenangan batin yang sejati.
Selanjutnya, Hidup Sesuai Alam atau Virtue, menekankan pengembangan empat kebajikan utama—Kebijaksanaan, Keberanian, Keadilan, dan Kesederhanaan—sebagai sumber kebaikan dan kepuasan dari dalam. Dengan berfokus pada pengembangan keempat kebajikan ini, Stoikisme mengajarkan kita untuk mencari kebaikan dan kepuasan sejati dalam diri sendiri, bukan pada hal-hal eksternal yang di luar kendali kita. Kebahagiaan sejati (eudaimonia) diyakini berasal dari hidup yang berbudi luhur, bukan dari kepemilikan materi atau pengakuan sosial. Ini adalah panggilan untuk menjadi pribadi yang berintegritas dan tangguh, terlepas dari kondisi dunia luar.
Ada pula Memento Mori, adalah frasa Latin yang berarti "Ingatlah bahwa Anda akan mati". Konsep ini mungkin terdengar menyeramkan, namun dalam Stoikisme, ini bukanlah ajakan untuk hidup dalam ketakutan atau keputusasaan. Sebaliknya, Memento Mori berfungsi sebagai pengingat yang kuat dan motivasi yang mendalam untuk menghargai setiap momen hidup dan memprioritaskan apa yang benar-benar penting, dan hidup penuh di masa kini, sehingga mengurangi kekhawatiran berlebihan akan masa depan.Â
Terakhir, Amor Fati mengajak kita untuk mencintai nasib, menerima, dan merangkul semua yang terjadi dalam hidup, baik suka maupun duka, sebagai kesempatan untuk berkembang dan mengasah kebajikan kita. Amor Fati bukanlah sikap pasif atau menyerah pada nasib. Sebaliknya, ini adalah tindakan aktif untuk merangkul semua aspek kehidupan baik yang menyenangkan maupun yang menyengsarakan sebagai kesempatan untuk berkembang dan mengasah kebajikan kita.
Mengelola Banjir Informasi dan Media Sosial
Era digital merudali kita dengan informasi tanpa henti dan godaan interaksi media sosial yang tak berkesudahan. Ini adalah sumber utama kecemasan bagi banyak orang. Stoikisme menawarkan cara untuk mengelola aspek ini dengan bijaksana.
Dikotomi Kontrol dalam Penggunaan Media Digital
Kita perlu secara sadar membedakan antara apa yang bisa kita kendalikan dalam interaksi digital dan apa yang tidak.
Hal-hal yang Berada dalam Kendali Kita:
Kita memiliki kendali penuh atas berapa lama dan kapan kita menggunakan smartphone atau perangkat digital lainnya. Menetapkan batas waktu yang jelas adalah tindakan Stoik yang proaktif. Kita bisa memilih siapa yang kita ikuti di media sosial, jenis konten yang kita baca, dan akun-akun mana yang memberikan nilai positif vs yang hanya memicu perbandingan atau kecemasan. Kita memegang kendali atas pesan yang kita sampaikan, komentar yang kita tulis, dan partisipasi kita dalam diskusi online. Memilih untuk tidak terlibat dalam drama atau perdebatan yang sia-sia dan tak berujung adalah praktik Stoik.
Hal-hal yang Tidak Berada dalam Kendali Kita:
Kita tidak dapat mengontrol bagaimana algoritma suatu platform media sosial bekerja atau konten apa yang dipromosikan. Kita tidak bisa menghentikan penyebaran berita negatif atau konten clickbait yang seringkali memicu emosi. Kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain pikirkan, katakan, atau tulis tentang kita di internet. Berusaha memuaskan semua orang adalah upaya yang sia-sia dan melelahkan.
Dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek yang bisa kita kendalikan, seperti tindakan dan pilihan kita sendiri dalam berinteraksi dengan dunia digital, kita dapat mengurangi frustrasi dan kecemasan yang timbul dari upaya sia-sia untuk mengontrol hal-hal di luar kuasa kita. Ini memungkinkan kita untuk mengambil kembali kendali atas pengalaman digital kita, alih-alih menjadi budak dari notifikasi dan feed yang tak berujung.
Kesederhanaan (Moderasi) dalam Konsumsi Digital
Sejalan dengan Dikotomi Kontrol, kebajikan Kesederhanaan (Temperance) menjadi krusial dalam mengelola banjir informasi dan penggunaan media sosial. Konsep ini bukan tentang penolakan total, melainkan tentang keseimbangan dan moderasi untuk mencegah overload dan ketergantungan.
Menerapkan "puasa digital" secara berkala, yaitu periode di mana kita sengaja menjauhkan diri dari perangkat digital atau platform tertentu, adalah praktik Kesederhanaan. Ini bisa berarti tidak mengakses media sosial selama beberapa jam, sehari penuh di akhir pekan, atau bahkan lebih lama. Tujuan utamanya adalah untuk melatih kontrol diri dan menciptakan ruang untuk refleksi, koneksi di dunia nyata, atau aktivitas lain yang lebih bermakna. Pembatasan seperti mematikan notifikasi atau hanya memeriksa media sosial pada waktu-waktu tertentu, juga merupakan bentuk moderasi yang efektif.
Alih-alih mengonsumsi segala sesuatu yang muncul di feed kita, praktik Kesederhanaan mendorong kita untuk lebih selektif. Carilah konten yang mendidik, menginspirasi, atau memberikan nilai tambah pada hidup. Hindari konten yang memicu emosi negatif, perdebatan tak berujung, atau hanya membuang waktu tanpa memberikan manfaat. Ini adalah tentang kualitas, bukan kuantitas, dalam pengalaman digital kita.
Dengan mengadopsi Kesederhanaan, kita dapat mengubah hubungan kita dengan teknologi dari ketergantungan menjadi alat yang melayani tujuan kita, bukan sebaliknya. Ini membantu kita menciptakan lingkungan digital yang lebih tenang dan mendukung kesehatan mental, sekaligus mengasah kemampuan kita untuk mengendalikan keinginan dan nafsu yang seringkali dimanipulasi oleh desain platform digital.
Menghadapi Perbandingan Sosial dan Validasi Eksternal
Salah satu sumber utama keresahan di era digital adalah kecenderungan untuk membandingkan diri dengan "sorotan" kehidupan orang lain di media sosial dan ketergantungan pada validasi eksternal. Stoikisme menawarkan pendekatan yang kuat untuk mengatasi fenomena ini.
Hidup Sesuai Alam (Keadilan pada Diri)
Prinsip Hidup Sesuai Alam menuntun kita untuk menyadari bahwa kebahagiaan dan kepuasan sejati tidak ditemukan di luar diri kita, melainkan berasal dari dalam, dari pengembangan kebajikan dan integritas pribadi. Dalam konteks perbandingan sosial dan pencarian validasi, hal ini berarti:
Stoikisme mengajarkan bahwa nilai intrinsik kita tidak bergantung pada jumlah likes, komentar positif, atau pengakuan dari orang lain di media sosial. Kebahagiaan yang sejati (eudaimonia) adalah hasil dari hidup yang berbudi luhur (sesuai virtue), selaras dengan nalar, dan menerima apa yang tidak bisa kita kontrol. Ketergantungan pada validasi eksternal adalah bentuk perbudakan emosional yang justru menjauhkan kita dari ketenangan batin.
Media sosial seringkali menampilkan versi terbaik dan sudah dipilih sendiri dari kehidupan seseorang. Membandingkan diri kita dengan "sorotan" ini adalah resep ampuh untuk membuat cemas dan tidak puas terhadap diri sendiri. Keadilan pada diri sendiri, sebagai bagian dari Hidup Sesuai Alam, berarti mengenali nilai unik diri kita, berfokus pada perjalanan personal kita sendiri, dan tidak terjebak dalam ilusi kesempurnaan orang lain. Mengaplikasikan Dikotomi Kontrol, kita menyadari bahwa tampilan yang di tunjukan orang lain di media sosial adalah di luar kendali kita, dan yang terpenting adalah bagaimana kita menilai dan merespons kehidupan kita sendiri.
Dengan mempraktikkan kebajikan Keadilan pada diri sendiri dan orang lain, kita diajak untuk mengembangkan harga diri yang kokoh, yang berakar pada karakter dan prinsip pribadi, bukan pada persepsi atau pujian dari dunia luar yang fana. Ini adalah langkah fundamental untuk melepaskan diri dari belenggu perbandingan dan menemukan kedamaian batin.
Amor Fati (Menerima Diri) dalam Perbandingan Sosial
Konsep Amor Fati, atau "mencintai nasib Anda," memiliki peranan penting dalam menghadapi perbandingan sosial dan kebutuhan akan validasi eksternal di era digital. Daripada terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain dan mencari persetujuan dari luar, Amor Fati mendorong kita untuk merangkul diri kita apa adanya, dengan segala kekurangan dan keunikan yang kita miliki. Menerima Kekurangan dan Keunikan Diri: Amor Fati mengajarkan kita untuk menerima dan bahkan mencintai takdir kita, termasuk karakteristik fisik, bakat, kelemahan, serta perjalanan hidup yang telah dan akan kita lalui. Di media sosial, godaan untuk menampilkan versi diri yang "sempurna" atau membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis sangatlah besar. Dengan Amor Fati, kita diajak untuk menolak tekanan ini dan menerima diri kita sepenuhnya, menyadari bahwa setiap individu memiliki jalannya sendiri dan keunikan yang tak bisa ditiru.
Ketergantungan pada jumlah likes, komentar, atau pujian dari orang lain adalah bentuk validasi eksternal yang rapuh. Amor Fati membebaskan kita dari perbudakan ini dengan mengalihkan fokus pada penghargaan diri yang lahir dari internal—dari kesadaran akan kebajikan yang kita praktikkan dan integritas yang kita jaga. Dengan mencintai takdir diri, kita tidak lagi merasa perlu untuk membuktikan nilai diri kepada dunia maya, karena nilai tersebut sudah melekat dalam diri kita dan tidak dapat digoyahkan oleh opini publik atau tren sesaat.
Melalui Amor Fati, kita dapat mencapai kebebasan sejati dari tekanan untuk tampil sempurna di mata orang lain dan menemukan kepuasan yang mendalam dari penerimaan diri. Ini adalah fondasi untuk membangun ketahanan mental yang tidak tergoyahkan oleh fluktuasi validasi di dunia digital.
Mengatasi Kecemasan Akan Masa Depan dan Ketidakpastian
Era digital, dengan dinamika perubahannya yang cepat dan tidak pasti, seringkali memicu kekhawatiran akan masa depan. Kekhawatiran tentang karier, finansial, hubungan, atau bahkan eksistensi di tengah perkembangan teknologi yang masif, adalah realitas yang dihadapi banyak individu. Stoikisme, dengan penekanan pada nalar dan penerimaan, menyediakan kerangka kerja untuk menghadapi kecemasan semacam ini.
Dikotomi Kontrol dalam Menghadapi Ketidakpastian
Kembali ke prinsip fundamental Dikotomi Kontrol, kita dapat mengaplikasikannya untuk mengelola kekhawatiran terkait masa depan. Dengan memilah mana yang dapat kita kendalikan dan mana yang tidak, kita dapat mengarahkan energi mental kita secara lebih efektif dan mengurangi beban kecemasan yang tidak produktif.
Hal-hal yang Berada dalam Kendali Kita:
Kita memiliki kendali penuh atas upaya yang kita curahkan untuk mempersiapkan masa depan, seperti pengembangan keterampilan, perencanaan keuangan, atau menjaga kesehatan. Stoikisme mendorong kita untuk fokus pada proses dan tindakan yang dapat kita lakukan saat ini. Ketika menghadapi peristiwa tak terduga, yang berada dalam kendali kita adalah bagaimana kita memilih untuk merespons, dengan ketenangan, keberanian, atau kebijaksanaan, alih-alih panik atau mengeluh. Persepsi kita terhadap suatu kejadian sangat memengaruhi emosi kita. Kita bisa memilih untuk melihat ketidakpastian sebagai ancaman atau sebagai peluang untuk belajar dan beradaptasi.
Hal-hal yang Tidak Berada dalam Kendali Kita:
Peristiwa Tak Terduga seperti Perubahan ekonomi global, bencana alam, atau keputusan orang lain adalah contoh-contoh peristiwa yang di luar kendali kita. Berusaha mengontrolnya hanya akan membuahkan frustrasi. Meskipun kita telah berupaya maksimal, hasil akhir seringkali tidak sepenuhnya di tangan kita. Kita bisa berusaha untuk sukses, tetapi kita tidak bisa menjamin kesuksesan itu sendiri.
Dengan berpegang pada Dikotomi Kontrol, kita diajarkan untuk fokus pada tindakan yang etis dan rasional di masa kini, serta menerima dengan tenang apa pun hasil yang datang. Ini bukan berarti kita pasif, melainkan kita mengarahkan kekuatan kita pada area yang paling berdampak, yaitu tindakan dan sikap kita sendiri, sehingga kecemasan akan masa depan dapat diminimalkan.
Memento Mori: Pengingat untuk Hidup Penuh di Tengah Ketidakpastian
Dalam menghadapi kecemasan akan masa depan dan ketidakpastian, konsep Memento Mori atau mengingat kematian menawarkan perspektif yang sangat berharga. Daripada membiarkan pikiran kita terperangkap dalam kekhawatiran yang tak berujung tentang apa yang mungkin terjadi, Memento Mori mengingatkan kita akan kenyataan fundamental tentang keterbatasan waktu. Ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai katalisator untuk bertindak dengan bijak dan menghargai keberadaan kita saat ini.
Kesadaran bahwa hidup ini fana mendorong kita untuk tidak menunda-nunda hal-hal yang penting. Daripada menghabiskan energi untuk mencemaskan apakah atau bagaimana masa depan akan terjadi (yang sebagian besar di luar kendali kita), kita diajak untuk fokus pada apa yang bisa kita lakukan saat ini. Ini berarti mengerahkan upaya terbaik kita, mengembangkan kebajikan, dan menjalani setiap hari dengan penuh kesadaran dan tujuan. Pertanyaan Stoik yang relevan adalah:Â
"Jika ini adalah hari terakhir saya, apakah saya telah hidup sesuai nilai-nilai saya?"
Banyak kecemasan tentang masa depan berasal dari ilusi bahwa kita dapat mengontrol segala sesuatu atau bahwa hasil yang sempurna adalah satu-satunya yang bisa diterima. Memento Mori membantu kita menempatkan perspektif: sebagian besar hal yang kita cemaskan pada akhirnya akan menjadi tidak relevan dalam berjalannya waktu. Dengan menerima bahwa kematian adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan, kita dapat membebaskan diri dari beban ekspektasi yang tidak realistis dan mengurangi kekhawatiran berlebihan terhadap hal-hal yang pada dasarnya fana dan di luar kuasa kita. Melalui Memento Mori, Stoikisme tidak hanya menyediakan alat untuk mengelola kecemasan, tetapi juga mengubahnya menjadi motivasi kuat untuk menjalani hidup yang lebih bermakna, penuh tujuan, dan tidak terbebani oleh ketakutan akan masa depan.
Menjaga Fokus dan Produktivitas
Di tengah lautan distraksi digital, menjaga fokus dan produktivitas adalah tantangan besar. Notifikasi yang terus-menerus, godaan media sosial, dan multi-tasking yang berlebihan dapat mengikis kemampuan kita untuk berkonsentrasi pada tugas-tugas yang penting. Stoikisme, dengan penekanan pada rasionalitas dan kontrol diri, menawarkan strategi efektif untuk memelihara fokus dan meningkatkan produktivitas.
Kebijaksanaan (Prudence) dalam Prioritas Digital
Kebajikan Kebijaksanaan (Prudence) adalah kemampuan untuk membuat penilaian yang benar dan memilih tindakan yang tepat dalam situasi apa pun. Dalam konteks fokus dan produktivitas di era digital, kebijaksanaan berarti secara sadar menentukan prioritas dan menghindari waktu serta perhatian kita dari gangguan.
Seorang Stoik akan memulai hari dengan mengidentifikasi tugas-tugas yang benar-benar penting dan selaras dengan nilai-nilai serta tujuan jangka panjangnya. Ini berarti menolak godaan untuk terjebak dalam aktivitas online yang mendesak namun tidak substansial. Daripada bereaksi terhadap setiap notifikasi atau email, kebijaksanaan mengarahkan kita untuk proaktif dalam mengelola jadwal dan fokus pada pekerjaan yang memiliki dampak nyata. Hal ini seringkali melibatkan pembuatan daftar prioritas yang jelas dan keberanian untuk mengatakan "tidak" pada permintaan yang tidak penting.
Kebijaksanaan juga memandu kita untuk memahami bahwa upaya melakukan banyak hal sekaligus (multi-tasking) seringkali kurang efektif daripada fokus pada satu tugas secara mendalam (single-tasking). Teknik-teknik seperti metode Pomodoro, di mana kita bekerja dalam periode waktu yang terfokus tanpa gangguan, atau hanya membuka tab browser yang relevan, adalah aplikasi praktis dari kebijaksanaan ini. Dengan mengarahkan seluruh perhatian kita pada satu tugas, kita tidak hanya meningkatkan kualitas pekerjaan, tetapi juga mengurangi kelelahan mental yang disebabkan oleh peralihan konteks yang konstan di dunia digital.
Dengan mempraktikkan Kebijaksanaan, kita dapat secara strategis mengelola lingkungan digital kita, mengubahnya dari sumber gangguan menjadi alat yang mendukung fokus dan produktivitas. Ini memungkinkan kita untuk memaksimalkan potensi kita dan mencapai tujuan dengan lebih efektif, sambil menjaga ketenangan batin.
Meskipun Stoikisme adalah filosofi yang kuat, penting untuk memahami batasannya. Kesalahpahaman umum bahwa Stoikisme berarti tidak merasakan emosi adalah keliru; sebaliknya, ia mengajarkan untuk memahami dan mengelola emosi secara bijaksana.
Pada akhirnya, esensi dari ajaran Stoikisme dapat dirangkum dalam adagium klasik dari Epictetus:Â
"Bukanlah peristiwa yang mengganggu kita, melainkan pandangan kita tentang peristiwa itu."Â
Ungkapan ini menjadi inti dari kekuatan Stoikisme di era digital yang selalu berubah. Kekuatan sejati untuk mencapai ketenangan batin tidak terletak pada kemampuan kita untuk mengubah dunia luar, melainkan pada kapasitas kita untuk mengubah diri sendiri. Dengan menginternalisasi prinsip-prinsip Stoikisme, setiap individu memiliki potensi untuk menavigasi kompleksitas digital dengan kebijaksanaan, keberanian, keadilan, dan kesederhanaan, menuju kehidupan yang lebih bermakna, penuh tujuan, dan resilien. Biarkan Stoikisme menjadi kompas moral, membimbing Anda menuju eudaimonia di setiap jejak langkah. (maftuch)
Rujukan
Aurelius, M. (2006). Meditations (M. Staniforth, Terj.). London: Penguin Classics.
Epictetus. (2008). Discourses and Selected Writings (R. Dobbin, Terj.). Oxford: Oxford University Press.
Seneca. (2004). Letters from a Stoic (Moral Letters to Lucilius) (R. Campbell, Terj.). London: Penguin Classics.
Holiday, R. (2014). The Obstacle Is The Way: The Timeless Art of Turning Trials into Triumph. New York: Portfolio/Penguin.
Irvine, W. B. (2009). A Guide to the Good Life: The Ancient Art of Stoic Joy. Oxford: Oxford University Press.
Robertson, D. (2019). How to Think Like a Roman Emperor: The Stoic Philosophy of Marcus Aurelius. New York: St. Martin's Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI