Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakyat Panas-Panasan di Jalan, Wakilnya Asyik Jalan-Jalan!

30 Agustus 2025   19:32 Diperbarui: 30 Agustus 2025   22:29 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemana anggota DPR saat rakyatnya demo? (Foto: DPR RI)

Mari kita ngobrol sebentar, santai saja. Beberapa hari terakhir, jalanan di sekitar Senayan lagi-lagi jadi lautan massa. Sampai akhir pekan begini. 

Demo DPR. Kita sudah terbiasa mendengar kata itu. Tapi jujur, ada rasa getir yang makin menebal setiap kali berita soal demo muncul.

Kalau dipikir-pikir, demo itu bukan sekadar soal "orang marah-marah di jalan." Demo adalah cermin, bahwa ada yang salah dengan cara komunikasi antara rakyat dengan wakilnya. Kalau DPR benar-benar jadi rumah rakyat, kenapa rakyat harus teriak di jalan raya buat didengar?

Kenapa Demo Sering Terjadi?

Demo itu sebenarnya hak warga negara. Konstitusi jelas mengatur rakyat boleh bersuara, menyampaikan pendapat di muka umum. Tapi kenapa rasanya demo jadi jalan utama, bukan pilihan terakhir?

Jawabannya simpel aja, karena banyak orang merasa DPR tidak benar-benar mendengar. Rapat-rapat di Senayan terasa jauh, bahasa politik sulit dicerna, dan keputusan sering terasa tidak berpihak. 

Contoh yang masih segar di ingatan adalah ketika dulu pembahasan UU Cipta Kerja berlangsung cepat tanpa ruang dialog memadai, atau ketika RUU Kesehatan disahkan meski banyak organisasi profesi masih menolak.

Kali ini, hal sama terjadi lagi, DPR terus "menari" di atas penderitaan rakyat. Wajar ketika rakyat akhirnya memilih cara paling "keras" dengan turun ke jalan. Karena mereka tahu, kamera media pasti ada di sana, dan mungkin, cuma dengan cara itu suara mereka terdengar.

Rakyat Demo di Senayan, Anggota Dewan Malah 'Kabur'

Sementara rakyat rela berdiri berjam-jam di bawah terik matahari, bersuara di depan Gedung DPR demi didengar, apa yang dilakukan sebagian anggota dewan yang kita tunggu-tunggu? Diskusi di ruang rapat? Mendengar aspirasi rakyat? Ah, terlalu mulia kalau begitu jawabannya.

Nyatanya, mereka ada yang malah "turun ke jalan"... tapi jalannya di Guangzhou, Singapura, sampai Sydney. Luar biasa. Tangkapan kamera warganet kita di luar negeri sudah cukup jadi bukti. Saat rakyat menunggu suara, wakilnya malah sibuk menghirup udara negeri tetangga.

Ironi bukan main. Rakyat di Senayan teriak-teriak minta keadilan, sementara wakilnya mungkin sibuk memotret pemandangan Marina Bay, berbelanja di Orchard, atau berpose di depan Opera House. Rasanya, kok DPR lebih sigap merespons tiket perjalanan dibanding tiket aspirasi rakyatnya.

Kalau sudah begini, pertanyaannya jadi sederhana, mau sampai kapan kita menunggu DPR di kursinya, kalau kursi itu malah ditinggal pergi?

Padahal, kalau jalur dialog lancar, demo mungkin gak perlu. Tapi mari kita realistis. Seberapa sering DPR mengundang rakyat biasa masuk dalam ruang dengarnya? Bukan LSM besar, bukan akademisi, tapi rakyat jelata, seperti petani, nelayan, buruh, mahasiswa biasa.

Rakyat merasa jalur formal sering buntu. Surat tidak dibalas, audiensi ditolak, atau kalaupun diterima, terasa formalitas belaka. Itulah kenapa demo jadi opsi. Bukan karena rakyat senang bikin rusuh, tapi karena rakyat merasa tidak punya pintu lain.

Nah, coba bayangkan, kalau Kamis atau Jumat kemarin kita dikasih kesempatan duduk bareng anggota DPR. Mungkin Affan Kurniawan, driver ojol yang malang itu, tak perlu meregang nyawa hanya karena kebebasan berekspresi berujung kekerasan. 

Mungkin rakyat bisa menyuarakan aspirasi tanpa takut pulang membawa luka. Dan mungkin hari ini, alih-alih dipenuhi rasa getir, rakyat bisa menikmati akhir pekan dengan tenang bersama keluarga tercinta, bukan dengan hati yang masih perih oleh kabar duka.

Siapa yang Benar-Benar Terdampak?

Ada lapisan lain yang sering luput dari sorotan kamera saat demo DPR terjadi, yaitu orang-orang kecil yang langsung merasakan dampaknya di lapangan. Mereka bukan bagian dari massa aksi, tapi kehidupan sehari-harinya ikut terguncang.

Coba kita lihat dari sisi driver ojol. Saat jalanan ditutup, mereka harus muter jauh, bensin terbuang, waktu habis, dan orderan sepi. Kalau sehari biasanya bisa dapat belasan order, saat demo bisa anjlok jadi setengahnya. Itu berarti penghasilan juga ikut terpangkas.

Lalu ada pedagang kecil, misalnya warteg atau penjual kopi keliling di sekitar DPR. Akses jalan ditutup membuat pelanggan susah datang. Hasilnya, masakan yang sudah mereka siapkan dari pagi bisa tak laku. Sementara bahan sudah dibeli, ongkos sudah keluar.

Pekerja kantoran juga terdampak. Banyak yang telat masuk kerja karena transportasi umum terhambat atau jalan macet total. Ada pula yang terpaksa pulang lebih cepat karena khawatir kondisi tidak aman. Produktivitas jelas turun. Kantor suami saya bahkan harus memindahkan meeting offline di luar Jakarta selama dua hari, Kamis dan Jumat.

Bahkan anak sekolah kadang ikut kena imbas. Mereka diliburkan mendadak, bukan karena liburan, tapi demi keamanan. Aktivitas belajar terganggu, orang tua pun repot mencari pengganti aktivitas anak di rumah.

Artinya, meskipun suara rakyat yang demo sah dan penting untuk demokrasi, efek domino selalu jatuh ke pundak rakyat kecil juga. Ironi besar, bukan? Rakyat yang menuntut haknya, tapi rakyat juga yang ikut menanggung kerugian.

Rakyat dan DPR: Masih Dekat, atau Sudah Terlalu Jauh?

Mari kita jujur, teman-teman. Banyak dari kita bahkan tidak hafal siapa anggota DPR dari daerah pemilihan kita sendiri. Aneh kan? Kita yang milih, tapi kita gak kenal. Seolah-olah hubungan antara rakyat dan wakilnya hanya sebatas bilik suara lima tahun sekali. Setelah itu, hilang ditelan rutinitas politik. Kenapa begitu? Karena jarak itu sudah terlanjur jauh, bahkan semakin melebar.

Padahal, kalau sejak dulu era 90-an saya belajar PPKn sampai hari ini jadi PKN, tugas DPR tertulis jelas sekali, yaitu bikin undang-undang, mengawasi pemerintah, dan menyusun anggaran. Tiga hal itu bukan pekerjaan sepele. Justru di situlah wajah rakyat seharusnya tercermin. 

Undang-undang yang dibuat mestinya menjawab kebutuhan sehari-hari, seperti harga pangan, akses kesehatan, pendidikan murah. Pengawasan yang dilakukan semestinya untuk memastikan pemerintah bekerja sesuai janji. Anggaran yang disusun mestinya berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya mempertebal proyek-proyek besar yang tak menyentuh dapur masyarakat.

Tapi kenyataannya, sering kita lihat para wakil rakyat lebih sibuk memperjuangkan partainya, menjaga posisinya, atau melayani kepentingan elite yang jauh dari realita rakyat jelata. Ada undang-undang yang lahir tanpa partisipasi publik, ada rapat-rapat yang lebih mirip formalitas, dan ada anggaran yang habis untuk hal-hal yang rakyat sendiri sulit rasakan manfaatnya.

Di sinilah rasa jauh itu makin terasa. Rakyat mulai bertanya, kalau DPR sibuk dengan dunianya sendiri, siapa yang benar-benar mendengar suara kami? Jangan-jangan, hubungan kita dengan DPR memang bukan lagi "wakil dan yang diwakili" tapi sudah seperti dua dunia berbeda.

Pesan untuk DPR: Jangan Tunggu Demo Lagi!

Kepada DPR yang terhormat, saya mau titip pesan.

Kami ini rakyat biasa. Hidup kami penuh perjuangan. Harga beras naik, ongkos sekolah mahal, biaya kesehatan bikin pusing. Kami butuh kebijakan yang berpihak, bukan janji kosong.

Kalau aspirasi kami didengar sejak awal, demo mungkin tidak perlu. Kalau komunikasi dibuka luas, rakyat tidak perlu berteriak di jalan. Kalau DPR benar-benar jadi rumah rakyat, rakyat tidak akan merasa asing dengan gedung megah di Senayan itu.

Sayangnya, di saat rakyat menunggu kehadiran wakilnya di ruang rapat, ada yang justru terlihat hadir di bandara, bukan untuk pulang ke dapil, tapi "kabur" ke luar negeri. 

Ada yang muncul di Singapura, ada yang tertangkap kamera di Sydney, ada pula yang sibuk menikmati udara Beijing kayak mau shopping. Ironi sekali ya. Rakyat kepanasan di jalanan, sementara wakilnya ngadem di duty free.

Saya ingin kembali mengulang-ulang materi yang sama. Apa yang bisa kalian, para anggota dewan lakukan, supaya rakyat merasa punya wakil yang benar-benar peduli di DPR? Bukan sekadar hadir di daftar absensi, bukan hanya saat kampanye, apalagi hanya untuk selfie di luar negeri.

1. Turun ke Dapil, Jangan Cuma Saat Kampanye

Coba bayangkan perasaan rakyat di daerah pemilihan (dapil). Mereka memilih anggota DPR dengan harapan punya wakil yang bisa menyuarakan aspirasi. Tapi sering kali, anggota DPR baru muncul menjelang pemilu, mulai dari bagi-bagi kaos, janji manis, lalu menghilang.

Turun ke dapil tidak harus dalam bentuk acara besar. Sesederhana ngobrol di warung kopi, ikut panen bareng petani, mendengar nelayan di dermaga, atau menyapa guru di sekolah dasar. Kehadiran fisik menunjukkan kepedulian nyata.

Buat rakyat, itu jauh lebih berharga ketimbang baliho besar di pinggir jalan. Kehadiran langsung adalah cara DPR membuktikan bahwa kalian bukan hanya di Senayan, tapi juga di tengah rakyat. Ketimbang kunker terus ke luar negeri, kenapa tidak memperbanyak kunker ke dapil sendiri?

2. Gunakan Bahasa yang Sederhana

Mari jujur, sidang DPR kadang terasa seperti kuliah hukum atau ekonomi tingkat dewa. Istilah asing, angka-angka besar, istilah teknis yang bikin rakyat awam bingung. Padahal, rakyat yang membiayai kerja DPR lewat pajak, punya hak untuk paham.

Kalau DPR bisa menjelaskan kebijakan dengan bahasa sederhana, misalnya lewat video singkat di media sosial, rakyat akan merasa lebih dekat. Misalnya, alih-alih bicara "subsidi energi dialokasikan untuk stabilisasi fiskal," cobalah katakan, "Kami sedang memastikan harga listrik dan BBM tidak naik terlalu tajam."

Bahasa sederhana bukan berarti merendahkan. Justru itu bentuk penghargaan, karena DPR mau menyambungkan dunia politik yang rumit dengan kehidupan rakyat sehari-hari.

3. Buka Ruang Dialog Rutin

Demo sering terjadi karena rakyat merasa tidak punya pintu masuk. Coba bayangkan kalau DPR punya forum rutin, baik offline maupun online, di mana rakyat bisa ikut bicara. Misalnya:

  • Forum bulanan di balai desa yang terbuka untuk umum, 
  • Sesi tanya-jawab live streaming di media sosial, di mana rakyat bisa komentar langsung.
  • Kotak aspirasi digital di website DPR yang benar-benar dibaca dan ditindaklanjuti, bukan sekadar formalitas.

Kalau jalur ini berjalan, rakyat tidak perlu menunggu isu menumpuk lalu meluapkan kemarahan di jalan. Mereka tahu ada ruang untuk bicara, dan suara mereka punya tempat di telinga wakilnya.

4. Transparansi Itu Kunci

Zaman sudah berubah. Rakyat sekarang lebih pintar, lebih kritis. Data anggaran bisa diakses siapa saja. Berita tentang gaji dan tunjangan DPR sudah tersebar di mana-mana. Kalau DPR coba menutup-nutupi akuntabilitas, justru akan semakin memperburuk kepercayaan publik.

Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya soal uang, tapi juga soal proses pengambilan keputusan. Misalnya, ketika membahas rancangan undang-undang. Jangan tiba-tiba rakyat kaget ada UU baru yang isinya tidak sesuai aspirasi. Publikasikan sejak awal, biar rakyat bisa ikut mengawal.

Dengan transparansi, rakyat akan merasa dilibatkan. Mereka akan lebih percaya bahwa wakilnya memang bekerja, bukan sekadar duduk di kursi empuk.

5. Prioritaskan Kebijakan yang Menyentuh Hidup Sehari-hari

Sering kali DPR sibuk membahas isu-isu besar yang terasa jauh dari dapur rakyat. Padahal, kebutuhan dasar masyarakat itu sederhana, mulai dari harga beras yang stabil, ongkos transportasi yang terjangkau, biaya sekolah yang tidak mencekik, dan akses kesehatan yang mudah.

Kalau DPR mau serius menaruh perhatian di sana, kepercayaan rakyat akan tumbuh. Contohnya, ketika membahas APBN, alokasi anggaran seharusnya benar-benar memihak rakyat kecil, mulai dari subsidi pupuk, bantuan UMKM, hingga perbaikan infrastruktur desa dan fasilitas kesehatan dasar.

Bukan hanya itu, DPR juga punya kesempatan emas untuk meloloskan regulasi yang langsung terasa manfaatnya bagi masyarakat luas. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. UU ini penting karena menyasar aset hasil korupsi dan tindak pidana yang merugikan negara. 

Bayangkan jika aset-aset haram yang nilainya triliunan rupiah bisa dikembalikan ke kas negara, lalu dialokasikan untuk program-program pro-rakyat seperti pendidikan gratis, layanan kesehatan yang layak, dan subsidi pangan.

Itu baru namanya politik yang menyentuh rakyat secara nyata, bukan sekadar pidato manis menjelang pemilu, tapi keberanian mengembalikan hak rakyat lewat kebijakan yang adil.

6. Respons Cepat, Jangan Menunda

Salah satu hal yang bikin rakyat kesal adalah lambatnya respons. Saat ada isu krusial, entah soal kenaikan harga pangan, bencana alam, atau krisis kesehatan, DPR kadang terkesan menunggu sampai rakyat marah besar baru bereaksi.

Padahal, respons cepat meski sederhana sudah bisa membuat rakyat merasa didengar. Contoh kecil, ketika harga beras naik, DPR bisa segera membuat pernyataan resmi, membentuk tim pengawasan, atau mengunjungi pasar. Rakyat akan melihat ada aksi, bukan sekadar diam.

Ingat, dalam dunia komunikasi, respons cepat lebih penting daripada respons sempurna. Lebih baik bicara sekarang dengan niat baik, daripada menunda dan kehilangan kepercayaan rakyat.

7. Ingat! Gaji dan Fasilitas Kalian dari Rakyat

Ini poin paling mendasar, tapi sering terlupakan. Mobil dinas, rumah jabatan, gaji, tunjangan besar DPR, semua itu berasal dari uang rakyat. Dari pajak yang dibayar pedagang, buruh, guru, driver ojol, hingga petani.

Kalau DPR abai pada rakyat, sama saja mereka melupakan siapa yang membiayai hidupnya. Sedikit empati bisa menghapus jarak. Misalnya, anggota DPR yang memilih naik transportasi umum sekali-sekali, atau yang mau mendengar langsung keluhan rakyat kecil tanpa protokol berlapis.

Ketika rakyat melihat wakilnya rendah hati dan tidak lupa asal-usul, jarak itu akan menipis. Dan kepercayaan yang terbangun bisa jauh lebih kuat daripada seribu baliho.

Karena demokrasi sejatinya bukan cuma tentang siapa yang duduk di kursi DPR, tapi bagaimana suara kita benar-benar diwakili. Jadi mari kita sama-sama tagih janji itu, dengan cara kita: menulis, berdialog, dan terus mengingatkan.

Kalau DPR lupa, kitalah yang harus mengingatkan. DPR adalah kita, wakil rakyat. Dan kalau wakil tidak mau mendengar, rakyat punya hak untuk terus mengetuk pintunya atau mendobraknya.

Jadi, mau sampai kapan? Mau dengarkan rakyat sekarang, atau tunggu demo berikutnya?***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun