Akhir Desember 2021, di tengah rutinitas harian sebagai ibu rumah tangga, saya tiba-tiba teringat sesuatu yang terasa seperti panggilan lama, dari dunia yang pernah sangat saya cintai: literasi dan kehutanan.
Saat itu, saya berpikir, “Kenapa nggak bikin wadah menulis bareng teman-teman rimbawan?” Kami para alumni Fakultas Kehutanan punya begitu banyak cerita, pengalaman, dan nilai yang bisa dibagikan. Maka lahirlah ide untuk membentuk sebuah komunitas yang kami beri nama Rimbawan Menulis, atau akrab kami sebut Rimbalis.
Saya cukup lama berkecimpung di dunia literasi. Sejak 2011, saya menggeluti dunia jurnalisme hingga 2019. Bertahun-tahun menulis untuk publik, mengedit naskah, bertemu banyak cerita dari lapangan, semua itu membentuk fondasi kuat bagi kecintaan saya pada kata-kata.
Setelah resign, saya memilih fokus menjadi ibu rumah tangga, tapi semangat literasi itu tidak pernah benar-benar padam. Ia hanya berubah wujud, dari jurnalis menjadi blogger, penulis buku, dan editor lepas di beberapa penerbit.
Januari 2022, Rimbalis resmi berdiri. Awalnya kami hanya segelintir orang, berkumpul via grup WhatsApp, saling menyapa, lalu mulai menulis. Antologi pertama kami berjudul EMAK RIMBAWAN, dan bagi saya, itu adalah titik balik. Buku ini bukan hanya proyek pertama, tapi juga pengalaman mengedit yang paling berkesan. Rasanya seperti menyulam cinta, pengalaman, dan identitas kami dalam satu buku.
Kami saat itu menargetkan cetak 100 eksemplar. Ternyata, peminatnya luar biasa. Buku ini dicetak hampir 400 eksemplar, empat kali lipat dari perkiraan awal. Saya masih ingat rasa haru saat paket buku datang pertama kali. Menyentuh halaman demi halaman, saya tahu bahwa kami sedang membangun sesuatu yang lebih dari sekadar komunitas menulis. Kami membangun suara. Kami membangun kenangan.
Setelah keberhasilan EMAK RIMBAWAN, semangat kami makin berkobar. Kami menerbitkan lima antologi lain, menggandeng lebih banyak penulis berlatar belakang rimbawan dan berbagai wilayah di Indonesia, yang masing-masing punya ruh dan pesan yang berbeda.
1. Sang Giri
Kisah pendakian yang menggetarkan hati. Para rimbawan berbagi pengalaman mendaki puncak-puncak tertinggi, menghadapi badai dan lelah, tapi juga menemukan kembali diri mereka di atas sana.
2. Rimbawan dalam Dasarupa
Antologi ini adalah bukti bahwa lulusan kehutanan tidak melulu bekerja di hutan. Dari diplomat, penulis, hingga entrepreneur, kami hadir dalam berbagai rupa—semua tetap membawa semangat rimbawan.
3. Foresterium
Kumpulan cerita studi para rimbawan di luar negeri. Membaca naskah-naskah ini membuat saya tersenyum—betapa semangat belajar dan semangat menjaga bumi bisa bersanding, lintas negara dan budaya.
4. Dongeng Ayah
Ini salah satu favorit saya. Kisah tentang ayah-ayah rimbawan yang tidak hanya menjaga hutan, tapi juga menjaga impian dan masa depan anak-anak mereka lewat dongeng sebelum tidur. Hangat, lucu, dan menyentuh.
5. Rimba Rhapsody
Dirilis untuk menyambut Hari Bumi 22 April 2025, buku ini mengangkat kisah penyuluh, polisi hutan, dan penjaga ekosistem di Taman Nasional Kerinci Seblat. Bacanya bikin saya bangga sekaligus terharu. Mereka adalah pahlawan yang jarang disorot media, tapi sangat berjasa untuk bumi.
6. Langkah di Belantara
Terbaru dari kami. Antologi ini membahas petualangan para penjaga alam di Taman Nasional Kerinci Seblat. Kisah nyata yang penuh inspirasi dan keberanian dari para polisi kehutanan, penyuluh kehutanan, pengendali ekosistem hutan, beserta seluruh jajaran taman nasional.
Bagi saya, setiap buku ini adalah potret perjuangan, sebuah cara untuk menyuarakan cinta saya pada lingkungan. Lewat cerita, saya berharap bisa menyentuh hati lebih banyak orang, mulai dari anak-anak muda, pembuat kebijakan, atau siapa pun yang peduli pada bumi.
Seiring berjalan waktu, saya juga menemukan cinta lain dalam literasi, yaitu menulis buku anak (silakan cek di sini). Semuanya bermula dari keinginan sederhana, saya ingin menulis cerita untuk anak-anak saya sendiri. Dongeng-dongeng yang bukan hanya menyenangkan, tapi juga menanamkan cinta pada alam sejak dini.
Saya mulai menulis cerita-cerita pendek, menambahkan ilustrasi sederhana, dan membacakannya sebelum tidur. Tak disangka, teman-teman yang membaca ikut tertarik. Mereka menyemangati saya untuk membagikan cerita-cerita itu secara lebih luas. Maka saya pun menyediakan koleksi buku dongeng anak bertema lingkungan secara online, agar bisa diakses oleh siapa saja.
Buku-buku ini adalah cinta kecil saya untuk generasi berikutnya. Saya ingin anak-anak Indonesia tumbuh bukan hanya pintar, tapi juga peduli. Bahwa menjaga hutan bukan cuma urusan orang dewasa di balik meja rapat, tapi bisa dimulai dari dongeng di ujung malam.
Menjadi penulis dan editor tidak selalu mudah. Ada hari-hari penuh kebimbangan, tenggat waktu, revisi yang tak kunjung habis. Tapi ada satu hal yang selalu saya pegang, menulis adalah bentuk lain dari merawat. Merawat ingatan. Merawat harapan. Merawat bumi.
Melalui Rimbalis, saya menemukan kembali suara saya. Suara yang sempat redup di tengah kesibukan rumah tangga. Saya juga bertemu dengan orang-orang luar biasa, para rimbawan yang tak hanya menjaga hutan, tapi juga menjaga cerita.
Perjalanan ini belum selesai. Masih banyak ide yang ingin kami tulis, banyak pesan yang ingin kami sampaikan. Tapi kalau boleh jujur, sampai di titik ini pun saya sudah sangat bersyukur.
Saya percaya, selama kita terus menulis, akan selalu ada harapan. Harapan untuk lebih banyak orang yang mencintai bumi. Harapan untuk anak-anak yang tumbuh dengan dongeng penuh makna. Dan harapan bahwa kata-kata, sekecil apa pun itu, tetap bisa membuat perubahan.
Dari hutan ke halaman buku,
Dari petualangan ke dongeng anak,
Dari jurnalis ke ibu yang menulis,
Inilah saya.
Dan inilah Rimbalis. Sebuah rumah kecil untuk cerita-cerita besar yang saya kami bagikan ke dunia.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI