Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Celupak

8 Januari 2019   23:38 Diperbarui: 8 Januari 2019   23:50 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : kebudayaan.kemdikbud.go.id

Trowulan tahun 1318...

"Minggir... Minggir... Pangeran Hamangkubhumi dari Nagari Karajan Majapahit akan lewat. Beri jalan kepada Pangeran!" teriak seorang prajurit sambil menghalau kerumunan penduduk dengan tombak di tangan kanannya. Beberapa prajurit kerajaan yang lain nampak sibuk mengendalikan tali kekang kuda yang menarik kereta -- kereta melewati jalanan di pinggir pasar kerajaan di pagi yang cukup panas itu.

Rakyat segera berlari minggir untuk menghindar dari tombak para prajurit. Mereka tidak ingin berurusan dengan prajurit Pangeran Hamangkubhumi itu. Karena mereka tahu jika sampai berurusan dengan pangeran itu, sama artinya dengan ayam yang masuk kedalam kandang singa. Bukan keselamatan yang mereka dapat, namun kematian yang menyengsarakan.

"Kali ini wanita mana yang akan menjadi mangsa pangeran itu?"

"Ssst... Jangan keras -- keras. Kunci mulutmu. Kalau sampai terdengar prajurit, kau bisa celaka. Atau kau lebih memilih diam untuk selamanya?"

Para penduduk saling berbisik -- bisik satu sama lain perihal tabiat pangeran yang buruk itu. Pangeran yang suka mencari wanita -- wanita cantik untuk dijadikan selir di kerajaannya. Bisik -- bisik itu semakin jelas terdengar ketika iring -- iringan kereta kuda mulai menjauh.

Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, iring -- iringan kereta kuda itu akhirnya sampai di sebuah tempat. Kereta -- kereta kuda itu berhenti tepat didepan sebuah pendopo yang cukup besar. Halaman di sekitar pendopo terlihat sangat teduh. Banyak pohon rindang mengelilingi pendopo itu.

Tak lama kemudian keluarlah beberapa pelayan lelaki dari dalam pendopo itu. Mereka menyambut Pangeran Hamangkubhumi dengan taburan bunga -- bunga disepanjang jalan menuju pendopo.

"Sugeng rawuh Pangeran..." ucap salah seorang pelayan yang dibalas dengan senyum sinis pangeran itu.

Didalam pendopo telah berkumpul seluruh anggota keluarga Gusti Arya. Seorang pemimpin desa yang sangat dihormati oleh penduduk. Disebelahnya duduk dua orang wanita cantik bernama Sri Kedaton dan Nimas Astuti -- istri Gusti Arya.

Pangeran Hamangkubhumi dan keluarga Gusti Arya saling bersalaman. Mereka kemudian menyantap hidangan yang telah disiapkan oleh para pelayan didalam pendopo itu. nampak Gusti Arya dan Nimas Astuti tersenyum sumringah. Putri semata wayangnya akhirnya mendapatkan suami seorang pangeran dari Kerajaan Majapahit. Bunyi gamelan mengalun indah mengiringi acara jamuan makan itu. Namun kebahagiaan yang menyelimuti pendopo sore itu tidak bisa menutupi rasa kecewa di hati Sri Kedaton. Dalam hatinya ia menangis.

Ekspresi murung Sri Kedaton tertangkap oleh Nimas Astuti.

"Ono opo tho nduk? Kok meneng wae?" ucap Nimas Astuti sambil mengelus pundak putrinya.

"Mboten ibu, kulo mboten nopo -- nopo." jawab Sri Kedaton dengan mata berkaca -- kaca. Terlihat sesekali ia mengusap air matanya dengan sapu tangan miliknya.

Jamuan makan itu akhirnya selesai. Gusti Arya terlihat serius berbicara dengan Pangeran Hamangkubhumi. Demikian halnya Nimas Astuti. Berkali -- kali ia menatap putrinya dengan wajah tersenyum. Kebahagiaan menyelimuti hati wanita itu. Sebuah kebahagiaan yang menari -- nari diatas kesedihan Sri Kedaton.

Saat membicarakan perihal pernikahannya, tak henti -- hentinya si pangeran menatap wajah cantik Sri Kedaton. Kebaya coklat keemasan yang dipakainya membuat pangeran itu terpikat. Kepalanya berhiaskan sanggul yang dipenuhi bunga melati serta sebuah tusuk konde bertengger di kiri kanan sanggul itu. Wajahnya yang cantik diterpa sinar cahaya lilin yang bergelantungan diatas pendopo itu. Semakin menambah aura kecantikannya.

Pembicaraan tentang pernikahan putrinya dengan Pangeran Hamangkubhumi makin serius. Hari itu juga Gusti Arya akan menentukan tanggal pernikahan mereka.

"Mbok... Jupuk en celupak e. Wis mulai peteng iki." perintah Nimas Astuti kepada para mbok mban.

"Enggih Gusti Ayu..." jawab para pelayan itu bersamaan.

Di seberang meja, Pangeran Hamangkubhumi mengeluarkan sebuah peti kecil berukir sulur -- suluran. Ia menyerahkan peti itu kepada Gusti Arya. Tak lama kemudian datanglah para mbok mban membawa beberapa celupak. Mereka meletakkan celupak -- celupak itu di meja. Lalu menyalakan celupak itu satu persatu.

"Indah sekali Pangeran. Pasti harganya sangat mahal." ucap Gusti Arya ketika membuka peti kecil itu.

"Perhiasan itu sengaja aku hadiahkan untuk Sri Kedaton. Aku yakin ia akan menyukainya. Pasti ia makin cantik jika memakai perhiasan itu." jawab Pangeran Hamangkubhumi datar sambil sesekali ia mencuri pandang kepada Sri Kedaton yang duduk berseberangan dengannya.

Hati Sri Kedaton makin teriris. Ingin rasanya ia berteriak. Namun ia tak kuasa melawan kehendak ayahnya. Teriakan itu terpaksa ia tahan didalam dada.

"Oh Dewa, aku harus bagaimana? Berilah aku kekuatan untuk menghadapi semua ini." gumam Sri dalam hati. Pikirannya kini tak karuan. Terbayang sudah masa depannya yang gelap. Kehidupan yang sengsara telah menantinya. Menjadi selir kerajaan bukan pilihannya.

"Baiklah aku pamit dulu, aku sudah tak sabar menunggu hari pernikahanku dengan Sri Kedaton." ucap Pangeran Hamangkubhumi kepada Gusti Arya setelah mereka menyepakati tanggal pernikahan mereka. Pangeran itu lalu beranjak dari tempatnya dan berdiri. Semua yang hadir didalam pendopo ikut berdiri.

"Tentu Pangeran, hari itu pasti akan tiba. Pegang janjiku ini." balas Gusti Arya yang disambut senyuman Nimas Astuti.

Kemudian Pangeran itu berjalan mendekati Sri Kedaton.

"Aku pamit dulu Sri..." ucap Pangeran Hamangkubhumi sambil meraih tangannya. Lalu ia mencium punggung tangan Sri Kedaton dengan lembut. Sri membuang muka. Ia tak sudi menatap wajah pangeran itu.

Pangeran beserta pelayan -- pelayannya mulai pergi meninggalkan pendopo. Diikuti oleh kedua orang tua Sri. Mereka berdua mengantar kepergian pangeran itu hingga gerbang rumah. Iring -- iringan kereta kuda terdengar mulai menjauh. Gusti Arya dan Nimas Astuti kembali masuk kedalam pendopo. Begitu terkejutnya mereka saat menginjakkan kaki kedalam pendopo. Mereka menemukan Sri Kedaton tewas dengan luka tusuk di jantungnya.

"Sri anakkuuu....." teriak Nimas Astuti histeris sambil berlari mendekati jasad anaknya yang sudah tidak bernyawa.

Senja menjelang malam itu, Sri Kedaton roboh diatas meja. Tubuhnya bersimbah darah segar. Pandangannya kosong. Sekosong hatinya. Sebuah tusuk konde tertancap tepat di jantungnya.

"Ibu... Kulo nyuwun pangapunten." ucap Sri lirih sesaat sebelum ajal menjemputnya.

***

Trowulan tahun 2018...

Wanto -- lelaki warga Desa Kumitir terlihat marah. Pondasi rumahnya tiba -- tiba ambles kedalam tanah. Sore itu setelah pulang dari tegalan miliknya, ia mendapati istri dan anaknya berada dirumah seorang tetangganya dalam keadaan ketakutan. Istrinya bercerita bahwa ia bersama anaknya hampir saja tertimpa runtuhan genting rumah mereka saat sedang membersihkan teras rumah mereka siang hari. Beruntung saat itu ada tetangga yang meneriakinya. Sehingga ia bisa menghindar dari bahaya. Mendengar cerita istrinya itu, ia merasa harus melakukan sesuatu. karena ia telah dirugikan atas tindakan penggalian yang dilakukan oleh Rudi beberapa bulan terakhir ini. Juragan batu bata yang berasal dari Desa Mlaten itu tidak menghiraukan peringatannya.

"Rudi... Aku harus membuat perhitungan denganmu." gumam Wanto diiringi bunyi giginya yang bergemeretak.

Malam itu selepas magrib, Wanto mendatangi rumah perangkat Desa Kumitir. Bersama istri dan dua orang tetangganya, ia berniat mengadukan kejadian yang menimpanya kepada lurah setempat. Perjalanan mereka diiringi hujan gerimis yang turun sejak sore.

Dua minggu setelah kejadian itu, beberapa perangkat Desa Kumitir dan tiga orang polisi mendatangi rumah Wanto. Setelah dilakukan penyelidikan di lokasi kejadian, terkuak fakta bahwa di tempat bekas penggalian tanah terdapat sebuah situs bersejarah. Hal ini dikuatkan oleh pembantu lurah yang tidak sengaja menginjak gundukan batu bata berukuran tidak biasa dan warna yang terlihat mencolok kehitaman. Ia lalu mengambil satu batu bata tersebut untuk dilaporkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan guna mendapatkan penyelidikan lebih lanjut.

"Terimakasih Pak Wanto, kami segera menindaklanjuti kasus ini secepatnya." ucap Pak Lurah.

Malam hari setelah kejadian itu, istri Wanto hendak mengambil air untuk sholat malam. Seperti kebanyakan rumah di desa, kamar kecil para penduduk berada terpisah dari rumah induk. Sehingga ketika mereka ingin menggunakan kamar kecil tersebut di malam hari, mereka tidak merasa takut sedikitpun.

Namun malam itu terasa janggal bagi istri Wanto, samar -- samar dari kejauhan ia melihat kepulan asap putih membumbung ke udara. Asap itu berasal dari lokasi bekas pengambilan sampel batu bata pagi tadi. Ia semakin merinding ketika mencium bau harum bunga kenanga di sekitar kamar kecilnya. Padahal ia merasa tidak memiliki pohon kenanga.

***

Pagi itu, direktur Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan Daud Agil menggelar rapat tertutup di kantornya. Ia dan beberapa pegawainya membahas hasil temuan yang mereka dapatkan di Desa Kumitir. Rapat itu berjalan lancar.

"Bagaimana menurut Bapak Made?" tanya Daud sambil menunjukkan batu bata temuannya di depan layar ponselnya. "Apakah kita perlu mengusut kasus ini lebih jauh?"

"Sesuai dengan apa yang saya lihat Pak, saya kira itu memang batu bata dari bahan batuan andesit. Dari strukturnya pun terlihat kalau itu bukan batu bata biasa. Jadi saya rasa kita perlu melakukan penelitian lebih mendalam di lokasi kejadian."

"Tapi kami disini tidak memiliki arkeolog berpengalaman Pak, apakah Bapak Made punya referensi untuk kami?"

I Made Saputra berpikir sejenak. Terlihat di layar ponsel Daud ia sedang menggaruk kepalanya yang agak botak itu.

"Saya memiliki referensi arkeolog untuk bapak. Nanti akan saya hubungi beliau lewat email. Bisakah Bapak Daud memberikan alamat kantor bapak beserta no telepon yang bisa dihubungi?"

"Bisa Pak, setelah ini segera saya kirim."

Percakapan video call whatssap itu berakhir. Daud Agil segera mengirim alamat kantornya. Rapat dibubarkan.

***

Sehari setelah email terkirim, I Made Saputra mendapatkan balasan dari koleganya yang ada di Inggris.

"I've received your email. And I'm interested to see the site. See you in two days."

Your friend,

Ralph

Nice...

Thank you very much Ralph. I give you the address and phone number of Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan. Just see the attachment. They wait for you there.

Best regard,

I Made Saputra

***

Hari itu Sabtu pagi, sebuah mobil Pajero putih memasuki gerbang Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan. Mobil itu terparkir rapi disebelah beberapa rombongan bus sekolah dari Surabaya. Tiga orang keluar dari dalam mobil sambil membawa empat kopor besar. Kedatangan rombongan Ralph disambut oleh Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan.

"Welcome to Trowulan Mister," ucap Daud Agil sambil menjabat tangan Ralph.

"Hi... Selamat Pagi, apa kabar?" balas Ralph yang disambut dengan mimik wajah heran dari Daud Agil.

"Anda bisa bicara Bahasa Indonesia dengan fasih ya?"

Mereka berduapun tertawa. Sebuah kehangatan dirasakan oleh Ralph. Dengan diiringi pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan, mereka berjalan menuju ruang kepala kantor.

Ralph menceritakan panjang lebar tentang pengalamannya berada di Indonesia tiga tahun lalu ketika ia memimpin sebuah proyek penggalian di sebuah situs bersejarah di Kalimantan. Banyak pengalaman yang ia dapatkan selama meneliti benda peninggalan purbakala disana. Daud Agil merasa senang mendengar cerita Ralph. Koleganya I Made Saputra tidak salah memilih orang.

Kemudian Daud Agil menjelaskan perihal temuannya di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto. timnya menemukan sebuah bangunan peninggalan Kerajaan  Majapahit. Bangunan itu terbuat dari tumpukan batu bata dan batu andesit yang membentuk sebuah bekas pemukiman masyarakat pada zaman Majapahit. Ia juga menunjukkan beberapa foto lokasi temuan yang ia simpan didalam ponselnya kepada Ralph.  Ralph mengamati foto -- foto itu.

"Nanti sore kita berangkat," ucap pria Inggris berusia tiga puluh tahunan itu.

"Secepat itukah? Apa anda tidak lelah?" jawab Daud setelah ia menerima ponselnya kembali.

"It's about profesionality, Sir. I need to check it today. Saya akan mempersiapkan keperluan ekskavasi sekarang."

Melihat semangat pria muda itu, Daud Agil tersenyum bangga. Tak lupa ia menyuguhkan makanan untuk Ralph. Lalu mereka bertolak ke rumah penginapan tamu yang berada tiga ratus meter di belakang kantor Daud Agil.

"Terimakasih Pak...." ucap Ralph.

***

Ralph mulai bekerja sore itu. Ia mengeluarkan peralatannya. Ia mengamati lahan kosong yang terbentang didepannya. Mengukur luasnya dan memetakan lokasi lahan tersebut. Ia menggambar sketsa lahan diatas secarik kertas. Lalu menyerahkannya kepada pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan untuk dipetakan. Kurang dari satu jam, lokasi yang diduga situs bekas pemukiman masyarakat zaman Majapahit telah selesai. Ralph mulai melakukan penggalian lahan sesuai lokasi yang telah dipetakan. Ia menggali bagian belakang lahan terlebih dulu. Bagian itu berdekatan dengan kamar mandi milik keluarga Wanto. Suasana penggalian berlangsung cukup ramai. Banyak warga sekitar yang menyaksikan. Terutama ibu -- ibu. Mereka lebih tertarik kepada arkeolog muda asal Inggris itu daripada melihat proses penggalian lokasi.

Hari makin sore. Sebentar lagi akan matahari terbenam. Sebuah generator listrik disiapkan oleh seorang pegawai Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan. Di beberapa titik lokasi mulai dipasangi lampu persegi yang menyala terang. Para Tim Ekskavasi terlihat sibuk bekerja.

Lokasi penggalian Ralph berada terpisah dengan rekannya. Ia melakukan penggalian itu sendiri. Tiba -- tiba ujung jari tangan kanannya tertusuk sebuah benda menyerupai paku kecil. Darah Ralph jatuh menetes diatas benda berwarna kuning kecoklatan itu. Merasa penasaran, Ralph mengeluarkan kuas dan menyapukan kuasnya diatas tanah di sekitar benda tersebut. Perlahan -- lahan benda itu menampakkan wujud aslinya. Sebuah mahkota, lalu kepala manusia, lalu badan, tangan hingga keseluruhan bentuk benda itu dapat dilihat oleh Ralph dari balik kacamata minusnya. Ia mengambil dan memegangnya. Tiba -- tiba sesuatu terjadi pada diri Ralph. Ingatannya melambung ke masa lalu. Sebuah kejadian di masa lalu muncul dalam pikirannya. Sebuah kejadian yang berlangsung sangat cepat dan tidak ia mengerti sama sekali. Hanya bayangan sesosok wanita cantik yang bisa ditangkap oleh Ralph dalam pikirannya.

"Kang Mas...." ucap wanita itu lirih.

Tiba -- tiba tubuh Ralph terdorong ke belakang. Ia segera tersadar setelah memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Lalu ia duduk kembali dan mulai membersihkan benda temuannya itu dengan hati -- hati sesuai dengan prosedur penggalian. Ia masukkan benda itu kedalam kantong plastik yang kemudian ia masukkan kedalam tas ranselnya. Tak seorangpun tahu akan kejadian ini.

Setelah menyimpan patung temuannya, ia mengambil ponselnya dan mulai memotret lokasi penggalian yang dikerjakannya tadi. Tak kurang dari sepuluh foto ia dapatkan. Ia memeriksa seluruh foto tersebut. Ketika melihat foto ketujuh, ia menemukan sebuah benda aneh didalam foto. Ia perbesar layar ponselnya untuk memastikan lokasi benda itu. Ia kemudian beranjak dari duduknya. Berdiri dan mengamati lokasi galian didepannya sesuai dengan tampilan di layar ponselnya. Ia menemukannya. Perlahan -- lahan ia menyapukan kuasnya. Hingga muncullah sebuah lempeng logam tipis berwarna kuning kecoklatan selebar ukuran ponselnya. Ia membersihkan tanah yang menempel hingga logam itu terlihat mengkilat. Kini nampak sebuah inskripsi bertuliskan huruf jawa kuno diatas lempengan logam itu. Dengan kepandaiannya, Ralph membaca tulisan itu pelan - pelan.

"Sepertinya ini adalah mantra do'a yang sering dibaca oleh resi pada zaman Kerajaan Majapahit." gumamnya sambil membetulkan posisi kacamatanya.

Lempengan logam tipis itu kemudian ia masukkan kedalam kantong plastik. Karena Tim Ekskavasi yang dipimpin oleh Ralph mulai kelaparan, mereka memutuskan untuk menghentikan penggalian dan kembali ke kantor untuk makan malam.

"Baiklah, pekerjaan penggalian hari ini sampai disini dulu, kemasi barang -- barang kalian. Sepuluh menit lagi kita pergi dari sini." perintah Ralph.

"Baik Pak."

***

Didalam kamarnya, ia merebahkan badannya setelah sebelumnya membersihkan diri. Kini di tangannya telah tergenggam sebuah patung dan sebuah lempeng logam. Ia amati kedua benda di tangan kanan dan kirinya itu dengan teliti. Setelah ia meletakkan kedua benda itu diatas meja disampingnya, ia bangkit dari ranjangnya. Dengan penerangan lampu meja, ia duduk memeriksa buku -- buku literatur miliknya untuk memecahkan inskripsi yang ada diatas lempengan logam tipis itu. Dua tiga buku tebal ia beber diatas mejanya. Inskripsi itu berhasil ia pecahkan.

Om Am Prasadha Stahiti Sarira Adwaya Suci Nirmala Yanamah

Hong Wilaheng Awignam Astu Nama Sidham Luputta Sarik Lan Sandi

Luputta Dendaning Tawang Towang Jagat Dewa Bathara 

Yang Jagat Pramu Dhita Buwana Langgeng

Selesai membaca inskripsi itu, tiba -- tiba angin bertiup cukup kencang memasuki kamar milik Ralph. Lembaran -- lembaran kertas dalam buku miliknya mulai bergerak -- gerak dengan cepat. Sinar lampu meja mendadak redup. Sebagai orang yang beriman, Ralph membaca do'a -- do'a yang ia hafal. Ia tidak takut sedikitpun. Selama hampir tiga menit, kejadian misterius itu akhirnya berlalu. Ralph membereskan mejanya. Memunguti lembaran -- lembaran kertas diatas lantai kamarnya. Menutup jendela dan kemudian tidur. Seolah -- olah tidak pernah terjadi sesuatu dikamar itu. Ralph mulai tertidur.

"Kang mas, aku tresno kowe. Cepet moleh Kang mas. Kang mas Sadawira, tak enteni slira ..." teriak seorang wanita cantik yang terlihat berlari -- lari di taman sebuah kerajaan.

Keringat dingin menetes memenuhi leher Ralph. Ia terbangun. Ternyata hari telah pagi. Malam terasa begitu singkat untuknya.

"Apa arti mimpi barusan?" gumam Ralph sambil menekan -- nekan pelipisnya yang sakit.

***

Hari -- demi hari kesibukan Ralph makin bertambah. Sebagai Ketua Tim Ekskavasi, Ralph bekerja ekstra keras. Mengkoordinir pekerjaan anak buahnya, mengumpulkan data -- data di lapangan, mengolah data itu dan melaporkan perkembangannya kepada Balai Pelestarian Cagar Budaya Trowulan. Pekerjaan itu sangat menguras tenaga dan waktunya selama berada disini.

Apalagi akhir -- akhir ini ia kesulitan tidur. imsomnia menyerangnya. Sejak peristiwa penemuan patung logam itu -- yang akhirnya ia ketahui disebut sebagai celupak Majapahit, ia jadi susah tidur. Ia sering didatangi seorang wanita cantik dalam mimpinya. Wanita berkebaya coklat keemasan itu selalu mendatangi mimpi -- mimpinya saat tengah malam. Ia seolah ingin mengajak Ralph ikut serta ke dunia nya. Namun Ralph selalu terbangun sebelum hal itu terjadi. Ia selamat.

Gangguan itu belum berhenti, setiap malam Kamis Kliwon tepat pukul 12 malam, selalu terdengar bunyi alunan gamelan Jawa memenuhi ruangan kamar Ralph.

"Pak Karso, apakah semalam ada yang sedang menggelar hajatan wayang di desa ini?"

"Wayang? Semalam saya tidak mendengar warga menggelar hajatan wayang Tuan. Bahkan semalam sedang hujan deras." ucap Karso si penjaga rumah tempat Ralph tinggal.

Ralph terdiam, ia hanya bisa mengangguk lalu pergi meninggalkan Pak Karso.

Kejadian demi kejadian aneh menimpa Ralph bertubi -- tubi. Mulai dari munculnya sosok aneh dalam foto yang ia ambil saat melakukan penggalian di lokasi ekskavasi, suara -- suara aneh yang menyapanya saat menjelang magrib di lokasi ekskavasi hingga bau harum bunga kenanga yang hanya bisa ia rasakan tanpa bisa dirasakan orang lain.

Gangguan itu mencapai puncaknya, hingga suatu ketika...

"Tuan Ralph, tuan mau kemana?" teriak Rudi, rekan satu tim nya yang melihat Ralph berjalan seorang diri menuju sungai Desa Kumitir.

"Tuan... Tuaaaan..." teriak lelaki itu.

Seperti tidak mendengar, Ralph berjalan menuju bantaran sungai yang terbilang cukup dalam itu. Ia berjalan dengan tatapan kosong. Rudi segera melempar cangkul kecil di tangannya. Berlari kearah Ralph yang hampir mencapai bibir bantaran sungai dan siap untuk melompat. Beruntung Rudi meraih tangan Ralph. Ia selamat.

Kegiatan penggalian hari itu terpaksa dihentikan. Mengingat Ralph dalam kondisi yang cukup mengkhawatirkan. Rudi satu orang temannya mengantar Ralph kembali kerumah tempat ia menginap. Sedangkan yang lain membereskan peralatan yang masih tertinggal di lokasi.

"Kang Mas, Ayo melu aku." tangan Ralph ditarik oleh seorang wanita berkebaya coklat keemasan. Mereka berdua bagai sejoli yang sedang dimabuk asmara. Saling memadu kasih di sebuah taman kerajaan.

"Sepertinya aku mengenalmu? Sepertinya kita berdua pernah bertemu sebelumnya. Tapi dimana?ucap Ralph kepada wanita cantik dalam bayangannya itu.

"Kang Mas, aku iki Sri Kaaang? Sri Kedaton?"

"Sri? Sri Kedaton?" ucap Ralph bingung.

Sementara itu Rudi mempercepat laju mobilnya. Sedangkan temannya berusaha menahan tubuh Ralph yang mulai mengejang tanpa sebab.

"Cepat Rud... Sesuatu terjadi pada Ralph."

"Iya, sebaiknya kamu telpon Pak Karso. Suruh ia menghubungi orang pintar."

"Baik Rud..."

Dunia dalam imajinasi Ralph masih berlangsung. Dunia itu seolah nyata baginya. Ia dan Sri Kedaton berjalan menuju sebuah pendopo kerajaan. Mereka berdua disambut oleh beberapa dayang -- dayang kerajaan yang masing -- masing membawa seember penuh bebungaan aneka rupa. Kedatangan mereka berdua disambut dengan lemparan bebungaan harum itu. Sri Kedaton tersenyum bahagia. Kini ia telah menemukan pujaan hatinya.

"Kita dimana Sri? Ini tempat apa?" tanya Ralph.

"Kang Mas, kowe karo aku bakal urip neng kene. Aku wes ngenteni slira pitung atus tahun suwene. Akhire Dewo nuruti pandongaku. Getihmu netes dadi siji karo getihku. Ojo ninggalno aku maneh yo Kang Mas." ucap Sri sambil memeluk Ralph diatas kursi pelaminan yang dipenuhi oleh aneka hiasan bunga dan sulur -- suluran yang indah. Mereka berdua nampak serasi dalam balutan kebaya coklat keemasan. Dengan sanggul dan konde di kepala Sri Kedaton serta blangkon hitam di kepala Ralph, membuat mereka seperti Raja dan Ratu.

Setelah mereka duduk di kursi pelaminan, sekelompok penabuh gamelan mulai bekerja. Alunan musik gamelan Jawa memenuhi seisi ruangan. Ralph dan Sri Kedaton menikmati musik gamelan itu.

"Kang Mas, janji yo ojok ninggal aku maneh?"

"Iya Sri, aku janji." ucap Ralph sambil menatap Sri Kedaton.

Mereka berdua tersenyum bahagia.

***

Sudah hampir satu jam orang pintar itu mengobati Ralph dengan berbagai macam do'a. Bunga tujuh rupa juga telah ditaburkan diatas tubuh Ralph. Namun Ralph tetap mengejang dengan tatapan mata kosong. Hingga akhirnya ia berhenti bergerak.

"Maaf Nak Rudi, teman Nak Rudi tidak bisa tertolong lagi." ucap orang pintar itu.

"Maaf Pak, bukan saya tidak percaya kepada bapak. Saya akan membawa teman saya ini ke Rumah Sakit sekarang juga." jawab Rudi.

"Percuma Nak Rudi melakukan itu."

"Maksud bapak?"

"Jiwanya sudah tidak bersamanya lagi. Seseorang telah mengambil jiwanya."

"Siapa?"

Orang pintar itu hanya terdiam. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Seakan -- akan ia berusaha menutup mulut atas kejadian ini. Namun ia mengerti, bahwa pemilik celupak Majapahit itulah yang telah membawa Ralph. Sebuah patung perunggu berbentuk Dewa Siwa bersila dengan kedua tangan menengadah keatas. Sebuah posisi memohon do'a dalam ajaran agama Hindu.

"Nak Rudi berdo'a saja agar teman Nak Rudi mendapatkan tempat terbaik di sisiNya." ucap orang pintar itu singkat. Lalu ia berdiri meninggalkan Rudi dan kedua temannya didalam kamar. Tepat ketika orang pintar itu berada di ambang pintu, celupak Majapahit itu menyala. Dari kedua telapak tangan Dewa Siwa muncullah nyala api kecil.

***

"Sri.... Bangun Sriii...." teriak Nimas Astuti histeris ketika mendapati Sri tergeletak tak bernyawa diatas meja jamuan makan.

"Sri anakkuuu...." teriaknya lagi dengan berurai air mata.

Namun sayang, air mata itu tak mampu mengembalikan Sri ke dunia ini. Sri telah berpindah ke dunia nya sendiri. Roh nya telah merasuk kedalam celupak Dewa Siwa yang ia pandangi menjelang ajalnya. Sri ingin  menunggu kekasihnya disana.

Kini Dewa telah mengabulkan doa'nya. Sri Kedaton telah dipertemukan oleh kekasihnya Sadawira. Meski untuk itu ia harus menunggu tujuh ratus tahun lamanya.

"Kang Mas, aku tresno karo sliramu."

"Aku juga Sri." jawab Ralph.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun