Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dompet

10 Januari 2017   08:55 Diperbarui: 10 Januari 2017   09:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seketika itu aku ingat dengan dompet yang kutemukan kemarin. Mendadak jiwaku takut. Tubuhku gemetar. Dompet itu telah mengusik ketenangan hidupku. Dompet itu telah membawaku dalam kebimbangan yang sangat. Dompet itu hadir di saat aku sedang benar-benar terpuruk: tak punya uang, banyak hutang, belum dapat kiriman, belum bayar uang sekolah. Semuanya membuatku tak kunjung mengembalikan dompet itu ke pemiliknya.

Angin dinihari berhembus begitu menusuk tulang. Suara dengkur nyaring terdengar dari santri yang terlelap. Dari kejauhan, suara kokok ayam jantan pertama bak nyanyian pagi yang membangunkan jiwa-jiwa yang hendak bertemu Tuhannya. Aku pun beranjak dari tempat tidur menuju pancuran untuk berwudhu. Ingin rasanya aku mengadukan semua masalahku kepada Yang Mahamengetahui. Aku ingin meminta petunjuk kepadaNya.

Usai sembahyang, aku mengambil dompet yang aku selipkan ditumpukan pakaianku di almari. Aku menggeggam erat dompet itu.

“Aku akan mengembalikan dompet ini besok pagi,” bisikku dalam hati mantap.

Kini aku menyadari bahwa itu bukan milikku, bukan hakku. Uang itu haram bagiku. Aku akan berdosa jika memiliki atau menggunakan uang itu. Apalagi di pondok ini selalu mengajarkan kejujuran, tidak berbohong, tidak mencuri, juga tidak mengambil yang diharamkan.

Besok aku akan ke wartel di dekat kantor kecamatan. Aku akan menelepon salah satu kartu nama yang ada di dompet itu. Pasti dia tahu siapa pemilik dompet itu. Untung saja belum lewat tiga hari. Jika sudah lewat tiga hari, aku sudah berdosa karena tak mengumumkan penemuan itu.


****

Tidak seperti biasanya, siang ini lapangan Beyazit nampak begitu lengang. Sisa-sisa bangunan peninggalan Konstantinus Agung masih terlihat di beberapa area. Di sekitar lapangan, bangunan-bangunan dan masjid megah dari zaman Turki Utsmani terlihat agung dan eksotik. Dulu aku tak pernah menyangka bisa tinggal di kota dua kekaisaran terbesar di dunia.

Dari lantai tiga kampus, aku mengalihkan pandangan ke Selat Bosphorus, laut yang memisahkan Asia dan Eropa. Dari dua sisi, gedung-gedung pencakar langit memenuhi angkasa raya. Sekalipun demikian, Masjid Aya Sophia dan Masjid Sulaimaniyah tetap menonjol dibanding lainnya.

Aku sangat bersyukur sekali bisa berada di sini. Tempat yang dulu kukenal hanya lewat buku sejarah Islam atau film kolosal Muhammad Al Fatih. Sebuah kekaisaran terbesar sekaligus terakhir dalam khilafah Islam. Sebuah peradaban yang cahayanya bersinar ke segala penjuru bangsa. Tapi semua itu adalah bagian dari masa lalu, karena Istambul kini tak ubahnya kota-kota modern di belahan dunia Eropa lainnya.

Mengingat masa lalu Istambul, tiba-tiba saja aku teringat masa laluku di pesantren. Di situlah awal mula aku mengenal sejarah Turki Utsmani. Ketika itu aku membayangkan, seandainya suatu saat nanti aku bisa pergi ke Istambul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun