Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dompet

10 Januari 2017   08:55 Diperbarui: 10 Januari 2017   09:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kok kamu terlihat gugup dan takut gitu?” timpal dia sedikit curiga padaku. “Ya sudah, ayo segera masuk ke masjid”, lanjutnya sembari menarik tanganku.

Puji-pujian shalawat Nabi terdengar mendayu-dayu. Usai shalat Fajar, aku tak bisa berkosentrasi. Pikiranku terus tertuju pada dompet itu. Keragu-raguan terus-menerus menghantuiku. Akankah aku umumkan pada jamaah usai shalat atau tidak. Ragu. Sekali lagi kebimbangan yang kian menyiksa jiwaku. Perang batin antara nilai agama yang kuyakini dengan keinginan untuk memiliki isi dompet itu.

 

Biasanya, usai jamaah Subuh, para santri melakukan tadarus Al Qur’an atau mengulang hafalan, termasuk aku. Tapi kali ini aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Pikiranku mulai menerawang-mengembara tak tentu arah. Teringat biaya pondok tiga bulan belum terbayar. Punya hutang lumayan banyak kepada beberapa santri lain. Bahkan, mesti sering puasa sunnah dan ngirit makan-minum karena tak cukup uang.

Entah mengapa sudah dua bulan ini orang tuaku belum jua mengirimi uang. Apakah harga getah karet sedang drop, sehingga uangnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Jadi petani karet kadang memang susah, kalau harga karet lagi turun drastis, cuma empat ribu rupiah per kilo, yang biasanya harga normal mencapai dua belas ribu rupiah. Aku juga tak pernah tahu, apa penyebab harga karet bisa turun serendah itu.

Atau jangan-jangan ibuku sedang kambuh sakitnya, sehingga butuh biaya pengobatan yang banyak. Sudah dua tahun ini ibuku terkena diabetes. Ia sudah sering jatuh sakit. Biasanya tubuhnya lemas dan badannya semakin kurus. Penglihatannya juga mulai kabur. Bapakku pun sering tidak bisa berkebun atau mengurusi sawahnya, karena harus sering menunggui dan merawat ibuku ketika sakit.


Yaaah... semuanya serba tak pasti. Coba seandainya orang tuaku sudah memiliki telepon, sehingga aku bisa tahu kondisi yang sebenarnya.

“Tumben kamu tidak ngaji, Mad?” tanya Ghofur teman sekamarku.

“Eh, libur dulu. Aku lagi tidak enak badan?” jawabku spontan sekenanya.

“Apa perlu aku kerokin, barangkali sedang masuk angin?” ucap dia mencoba menawarkan bantuan.

“Terima kasih, tidak usah. Nanti juga sembuh sendiri”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun