Mohon tunggu...
Luthfya Zahra Nur Afifah
Luthfya Zahra Nur Afifah Mohon Tunggu... Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga – 24107030050

Seorang mahasiswa semester awal yang menyukai pembahasan tentang isu-isu sosial, politik, psikologi. Tertarik di bidang budaya, seni dan bahasa. よろしく!greetings!

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Dari Lorong Sempit di Yogyakarta, Mengalir Cerita dari Balik Mesin Jahit

8 Juni 2025   19:30 Diperbarui: 8 Juni 2025   19:30 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Narasumber sedang menjahit (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Di antara riuh rendah di kota Yogyakarta yang identik dengan budaya dan kreativitas, ada lorong-lorong kecil yang menyimpan kisah luar biasa. Gang sempit itu mungkin tak menarik perhatian siapa pun. Asap kendaraan mengepul di kejauhan, deretan rumah berdempetan, dan jalan setapak yang hanya cukup dilewati satu sepeda motor. Di sanalah, terdengar suara mesin jahit yang terdengar seperti detak jantung yang tak pernah lelah. Kecil, nyaris tak terdengar, namun penuh makna.

Di balik sebuah pintu rumah sederhana, seorang penjahit lokal menjalani harinya dengan sabar. Tak ada papan nama mencolok, tak ada etalase mewah. Tapi di ruang sempit itulah saksi dimana ia menyulam benang demi benang menjadi pakaian, sekaligus harapan. Namanya mungkin tak tercetak di label busana ternama, tapi karyanya menyimpan cerita. Meski dunia terus berubah cepat, di sudut sunyi Jogja inilah masih ada yang percaya bahwa ketekunan adalah cara bertahan di tengah sempitnya ruang usaha, minimnya modal, dan kerasnya persaingan.

Perempuan itu bernama Yanti, seorang penjahit di sebuah gang kecil yang tersembunyi di sudut Kota Yogyakarta. Sudah lebih dari tiga dekade ia menyulam hidupnya dari balik mesin jahit di ruang tamu rumahnya yang sempit. Kisahnya bermula bukan dari impian besar atau warisan keluarga, melainkan dari sebuah pelajaran praktik menjahit di Sekolah Menengah Pertama. Saat teman-temannya mengeluh kesulitan, Yanti justru merasa tertantang. Karena diam-diam ia telah terlena dengan setiap untaian benang.

"Waktu SMA dulu, kalau mau jahitin seragam mahal. Waktu itu juga ekonomi masih sulit, belum ada uang buat jahitin." Kenangnya sambil tersenyum. "Terus karena teman ada yang punya mesin jahit, jadi kepikiran buat baju sendiri barengan sama teman karena dulu harga kain lebih murah." Ucapnya lagi.

Dari sanalah rasa cintanya pada menjahit tumbuh semakin dalam. Setiap jahitan yang berhasil ia selesaikan, meski sederhana, memberi kepuasan yang sulit dijelaskan. Ada semacam kebanggaan tersendiri saat melihat potongan kain yang tadinya tak berbentuk, perlahan berubah menjadi baju yang layak dipakai. Rasa puas itu makin mengakar menjadi keinginan untuk terus menciptakan sesuatu yang indah, yang bisa ia banggakan. Dari rasa puas, tumbuh rasa ketagihan. Ia mulai mencoba-coba model baru, mengikuti bentuk pakaian yang dilihat di televisi atau majalah lawas. Meski hasilnya masih jauh dari sempurna karena jahitan yang belum lurus, potongan kadang miring namun, itu tidak menghalanginya untuk berhenti. Ia tahu betul, semua orang hebat pun pernah menjadi amatir. Ia percaya bahwa keterampilan tidak datang dalam semalam, tapi dari kesabaran dan niat yang terus dirawat.

Setelah menyelesaikan pendidikan SMA-nya, Ia mulai menapaki karier sebagai seorang penjahit. Tapi jalan itu tidak langsung berjalan mulus. Ia tak punya modal, bahkan mesin jahit pun belum mampu ia miliki. Kenyataan ini memaksanya untuk bekerja sebagai pegawai di sebuah tempat jahit milik orang lain. Meski bukan miliknya sendiri, ia tak pernah menganggap enteng pekerjaan itu. Justru dari sanalah proses belajarnya dimulai.

Selama beberapa menjadi tangan kedua di balik usaha orang lain, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dari sanalah ia belajar berbagai teknik menjahit yang sebelumnya tak pernah ia kuasai. Ia juga mengamati cara pemiliknya melayani pelanggan, menghitung bahan, hingga menetapkan harga. Tak hanya keahlian teknis yang ia bawa pulang, tapi juga cara berpikir sebagai pelaku usaha.

Tak disangka, beberapa pelanggan di tempat ia bekerja justru mulai memperhatikannya. Karena keramahannya terhadap pelanggan dan kemampuan menjahitnya yang baik. Bukan hanya memberikan pujian, mereka juga turut andil dalam menyemangatinya untuk berani membuka usahanya sendiri.

"Awalnya memang ngga mudah, tapi Alhamdulillah waktu itu banyak yang bantu juga termasuk saudara. Jadi bisa punya karyawan 6 orang." Tuturnya lagi.

Dari sanalah ia memberanikan diri membuka jasa jahit di rumahnya sendiri. di ruangan yang terbatas itu lah kebahagiaan ikut tercipta. Membuka usaha dari nol tidaklah mudah. Perlengkapan jahitnya belum selengkap penjahit-penjahit lainnya. Sedikit demi sedikit ia menyisihkan uang sisa bayaran dari menjadi pegawai di tempat orang lain itu untuk membeli perlengkapan jahit yang lebih banyak. Mulai dari benang lalu merambat ke perlengkapan lainnya. Mesin jahitnya pun hanya satu buah, tidak banyak. Begitu pula dengan pesanan pakaian yang masuk.

Dari yang awalnya hanya pesanan dari teman-teman dan kerabatnya yang masuk, kabar tentang usahanya mulai menyebar dari mulut ke mulut. Pesanannya membeludak sampai menyeberangi pulau. Karena kewalahan dengan pesanannya, kerabatnya pun ikut membantu usahanya. Disitulah karirnya mulai memuncak hingga memiliki enam orang karyawan di rumahnya yang kecil itu. Dan juga kini telah memiliki kurang lebih enam buah mesin jahit dengan berbagai jenis dan kegunaanya. Karena sifatnya yang menyenangkan, beberapa pelanggannya masih bertahan hingga hari ini.

Hingga akhirnya, dari usaha kecil yang ia bangun dengan susah payah, Ia mampu membiayai kehidupan keluarganya. Bukan hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari, tapi juga mewujudkan impian terbesar yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Lewat tangan dan benang yang setia menari selama puluhan tahun, ia akhirnya bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci yang telah ia idam-idamkan semenjak remaja.

"Saya nggak nyangka. Dari menjahit, Allah kasih saya rezeki sampai bisa berangkat haji," ucapnya lirih, senyumnya mengembang penuh rasa syukur mengingat kenangan terindahnya.

Perjalanan panjang itu seakan terbayar lunas. Tak hanya karena ia berhasil bertahan, tapi karena Tuhan juga membalas setiap tetes keringatnya dengan pengalaman yang tak pernah ia bayangkan bisa menjadi kenyataan.

Namun, perjalanannya tidak terhenti hingga disini saja. Setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji, karyawannya satu persatu meninggalkannya, kini ia kembali sendiri. Di saat wabah covid-19 menyerang, usahanya juga perlahan-lahan mulai surut. Pelanggannya tidak sebanyak dulu, uang yang dihasilkannya juga tidak sebanyak pada waktu itu.

Namun, ia tetap percaya dan bersyukur kepada Tuhan. Segala yang telah diberikan hingga hari ini, ia terima dengan hati yang lapang. Ia percaya bahwa apa pun yang dititipkan Tuhan, suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya.

Kini, ia menjalani hari-harinya dengan damai---menikmati hidup yang sederhana, tapi penuh makna. Tak lagi mengejar dunia, tapi merawat syukur dalam diam.

Foto penulis dengan narasumber (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Foto penulis dengan narasumber (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun