Membaca di Tengah Dunia yang Bising
Kita hidup di era yang serba cepat. Informasi datang silih berganti, menyerbu tanpa ampun melalui layar smartphone kita. Dari pagi hingga malam, mata dan pikiran dijejali dengan notifikasi, berita instan, hingga opini singkat yang terkadang hanya berlandaskan emosi. Di tengah kebisingan inilah, literasi hadir bukan sekedar kemampuan membaca dan menulis, melainkan seni untuk bertahan, memilah, dan memahami.
Sayangnya, istilah literasi di negeri ini masih sering dipersempit. Banyak orang berpikir literasi hanya soal mengeja huruf, menulis kalimat, atau menghafal pelajaran di sekolah. Padahal, literasi adalah napas panjang peradaban. Ia menyangkut kemampuan berpikir kritis, kepekaan sosial, dan daya imajinasi yang akan menentukan kualitas manusia.
Jika literasi kuat, bangsa pun kokoh. Jika literasi rapuh, bangsa mudah goyah, mudah diprovokasi, dan mudah dipermainkan oleh kepentingan sesaat.
Di sinilah pentingnya membicarakan literasi bukan sebagai jargon, melainkan sebagai kebutuhan nyata. Dan bagi saya pribadi, setiap kali berbicara tentang literasi, selalu ada satu ruang yang muncul dalam ingatan saya, yaitu toko buku Gramedia.
Literasi, Lebih dari Sekedar Membaca
Literasi adalah kemampuan memahami, menganalisis, dan merefleksikan informasi yang ada. Membaca tanpa memahami hanyalah aktivitas mekanis. Sebaliknya, membaca dengan penghayatan membuka pintu pada dunia baru yang sebelumnya tak pernah kita bayangkan.
Bayangkan seseorang membaca sejarah. Jika ia hanya sekedar menghafal tahun dan nama tokoh, maka literasinya berhenti di permukaan. Namun bila ia mampu melihat keterkaitan peristiwa sejarah dengan kondisi sosial dan kehidupan masyarakat saat itu, lalu membandingkannya dengan situasi masa kini, maka ia sedang berlatih berpikir kritis.
Begitu pula dengan sastra. Membaca novel bukan hanya tentang menikmati alur cerita, tetapi juga menggali makna, merasakan empati, bahkan belajar memahami perasaan manusia lain yang mungkin jauh berbeda dengan diri kita.