Gus Dur, Maklumat 23 Juli 2001, dan DPR yang Lupa pada Rakyat
Tanggal 23 Juli 2001 adalah salah satu momentum paling dramatis dalam perjalanan demokrasi Indonesia pasca tumbangnya Orde Baru. Pada dini hari pukul 01.10 WIB, masyarakat yang masih terjaga menyaksikan layar televisi di rumahnya dikejutkan oleh sosok Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan suara tenang namun tegas, Gus Dur mengumumkan sebuah keputusan yang mengguncang fondasi politik bangsa. Ia mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, membekukan Partai Golkar, serta mengembalikan kedaulatan kepada rakyat dengan janji menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun.
Maklumat itu lahir di tengah ketegangan politik yang sudah memuncak antara Presiden dan parlemen. Sejak awal masa pemerintahannya pada 1999, Gus Dur memang menghadapi jalan terjal. Ia naik menjadi presiden melalui kompromi politik di Sidang Umum MPR dengan dukungan poros tengah, sementara suara rakyat pada pemilu 1999 justru menempatkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai pemenang. Kondisi ini membuat legitimasi Gus Dur sering dipertanyakan. Parlemen yang seharusnya menjadi mitra kerja justru lebih sering menjadi lawan politik yang terus menekan.
Latar belakang konflik itu semakin tajam ketika muncul kasus Buloggate dan Bruneigate yang menyeret nama Gus Dur. Meski tuduhan-tuduhan itu tidak pernah terbukti secara meyakinkan di pengadilan, DPR menggunakan isu tersebut sebagai amunisi untuk mendesak pemakzulan. Hubungan eksekutif dan legislatif semakin panas. Di balik semua itu, sesungguhnya terdapat kegelisahan Gus Dur bahwa parlemen yang dihasilkan dari Pemilu 1999 masih dikuasai oleh kepentingan lama, terutama Partai Golkar sebagai pewaris kekuasaan Orde Baru. Dalam pandangan Gus Dur, Golkar tidak sungguh-sungguh menerima semangat reformasi, bahkan justru menghambatnya.
Maka pada dini hari 23 Juli 2001, Gus Dur mengambil langkah drastis. Ia ingin mengulang momen radikal yang pernah dilakukan Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Bedanya, Gus Dur mengumumkan maklumat yang justru membubarkan parlemen dan partai politik tertentu. Dari segi konstitusi, langkah ini jelas sulit diterima. Namun dari segi moral politik, ia ingin memberi pesan bahwa demokrasi tidak boleh dibiarkan dirampas oleh elit yang lebih sibuk menjaga kursi kekuasaan ketimbang memperjuangkan nasib rakyat.
Siangnya, pada 23 Juli 2001 pukul 13.00 WIB, MPR merespons dengan cepat. Sebuah Sidang Istimewa digelar. Dalam hitungan jam setelah maklumat diumumkan, Gus Dur secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden Republik Indonesia. Alasan yang digunakan adalah melanggar UUD 1945 dan bertindak di luar kewenangan konstitusional. Dalam sidang itu pula, Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat Wakil Presiden dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-5. Dengan demikian berakhirlah masa kepemimpinan Gus Dur yang hanya berlangsung sekitar dua tahun.
Sejak saat itu, perdebatan panjang tidak pernah padam. Ada yang menilai Gus Dur melakukan kesalahan fatal karena nekat mengambil langkah di luar konstitusi. Namun ada pula yang melihatnya sebagai upaya terakhir menyelamatkan agenda reformasi dari jeratan oligarki politik. Gus Dur sendiri tidak menyesali langkahnya. Baginya, maklumat itu adalah bentuk keberanian untuk melawan arus kekuasaan yang melupakan rakyat.
Dua puluh empat tahun telah berlalu, namun gema maklumat itu masih terasa relevan. Apalagi jika melihat perjalanan DPR hari ini yang seringkali dinilai menjauh dari aspirasi rakyat. Seharusnya DPR adalah rumah rakyat, tempat suara-suara kecil dari desa, dari pasar, dari kampus, dari pabrik, dan dari ladang bisa didengar lalu diterjemahkan menjadi kebijakan. Tetapi kenyataannya, banyak produk undang-undang yang lahir justru menyulitkan rakyat.
Kita bisa melihat contoh nyata dari lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-undang yang lahir dengan dalih membuka lapangan kerja dan mempercepat investasi itu pada kenyataannya memuat pasal-pasal yang melemahkan posisi buruh, mengurangi hak cuti, memudahkan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja, bahkan membuka celah eksploitasi sumber daya alam tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Aksi penolakan terjadi di berbagai kota, ribuan buruh dan mahasiswa turun ke jalan. Namun semua protes itu seakan tidak berarti di hadapan DPR yang lebih mendengarkan kepentingan investor besar.