"Mereka tidak mati karena peluru. Mereka mati karena dunia memilih diam." -Â Catatan nurani yang terabaikan
Tangis yang Tidak Terdengar
Dalam tiga hari terakhir, 21 anak di Jalur Gaza meninggal dunia. Bukan karena ledakan bom, bukan karena terkena rudal, melainkan karena kelaparan dan malnutrisi berat. Ini bukan kutipan dari novel distopia atau film perang. Ini kenyataan yang terjadi hari ini, di abad ke-21, di hadapan dunia yang katanya penuh simpati, tapi terlalu sibuk bersilat lidah.
Anak-anak ini meninggal dalam kondisi tubuh yang tak sanggup lagi menerima udara. Beberapa bahkan berhenti menangis karena tak punya tenaga. Gizi buruk telah merampas warna dari pipi mereka, dan sistem kesehatan Gaza yang hancur membuat tak ada harapan untuk memulihkan mereka.
Blokade dan Penghancuran Sistem Kehidupan
Sejak Oktober 2023, Israel memberlakukan blokade total terhadap Gaza. Tak ada pasokan pangan, air bersih, listrik, bahan bakar, atau obat-obatan yang masuk dengan lancar. Sistem kesehatan Gaza, yang sebelumnya sudah rapuh, kini ambruk total. Rumah sakit hanya berfungsi sebagai tempat menunggu kematian. ICU tak lagi menyala. Generator mati. Infus digantung tanpa cairan. Paramedis bekerja tanpa alat, tanpa harapan.
Dalam kondisi seperti ini, bayi dan anak-anak adalah korban pertama. Ketika asupan gizi terputus, dan susu formula tidak tersedia, tubuh mungil mereka menyerah lebih cepat. Apa yang disebut sebagai "kematian sunyi" pun terjadi: kelaparan perlahan merayap, dan tubuh kecil itu tak sanggup bertahan.
Statistik yang Seolah Tak Berarti
Menurut data Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 8.000 anak telah meninggal sejak agresi besar-besaran dimulai tahun lalu. Namun dari jumlah itu, ribuan di antaranya bukan karena serangan langsung, melainkan akibat efek lanjutan seperti kelaparan, infeksi luka yang tak tertangani, dan kekurangan air bersih.