Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena "Fesbuk Pro" mulai mewarnai lini masa media sosial, terutama Facebook. Fenomena ini ditandai dengan munculnya para ibu-ibu muda, perempuan rumahan, bahkan remaja, yang tampil percaya diri dalam suatu konten, membuat vlog harian, live jualan, hingga berbagi tips kehidupan. Mereka menyebut dirinya sebagai bagian dari "Fesbuk Pro" yakni generasi Facebook yang produktif, profesional, dan personal-branding oriented.
Namun, seperti dua sisi koin, "Fesbuk Pro" bukan hanya soal gaya hidup baru yang menjanjikan. Di balik senyuman kamera dan caption motivatif, tersembunyi berbagai dinamika yang seringkali jauh dari glamor. Fenomena ini perlu dilihat tidak hanya dari permukaan, melainkan dari sisi sosiologis, psikologis, bahkan etik.
POSITIF: Panggung Digital untuk yang Terpinggirkan
Tidak bisa dipungkiri bahwa Fesbuk Pro telah membuka jalan bagi banyak orang untuk bangkit dari keterbatasan. Facebook yang sebelumnya hanya dipakai untuk berbagi status dan foto, kini menjadi ladang ekonomi. Ibu-ibu rumah tangga yang dulunya hanya menjadi ibu rumah tangga kini bisa ikut menopang ekonomi keluarga dengan menjadi reseller, affiliate marketer, atau bahkan konten kreator mandiri.
Di berbagai kota kecil dan pedesaan, Fesbuk Pro menjadi penyambung rezeki. Tanpa perlu studio mewah atau modal besar, mereka cukup bermodalkan smartphone, ring light murah, dan semangat untuk tampil. Bagi mereka, ini bukan sekadar gaya hidup, tapi cara bertahan hidup. Bahkan sebagian dari mereka berhasil membangun komunitas edukatif, saling bantu promosi, dan menumbuhkan solidaritas digital.
Lebih jauh, Fesbuk Pro juga memberi ruang bagi ekspresi diri dan eksistensi perempuan. Mereka bisa bersuara, didengar, bahkan mempengaruhi lingkungan sekitar. Ini adalah bentuk baru emansipasi, bukan dengan demo atau tulisan panjang, melainkan dengan aksi nyata di lini masa.
NEGATIF: Ilusi Kamera dan Krisis Realitas
Namun sayangnya, tak semua yang tampak "pro" benar-benar hidup dalam kondisi ideal. Dalam banyak kasus, para kreator Fesbuk Pro tampil ceria dan percaya diri di depan kamera, padahal suasana rumah mereka kacau, tumpukan cucian tak tersentuh, anak-anak rewel, suami bersungut-sungut karena rumah tak terurus. Mereka hidup dalam tekanan ganda menjadi ibu rumah tangga yang sempurna dan konten kreator yang konsisten.
Fenomena ini menciptakan semacam kecanduan validasi digital. Setiap hari mereka mengejar likes, komentar positif, dan viewer tinggi. Semakin banyak yang menonton, semakin tinggi tuntutan untuk tampil lebih "sempurna", lebih "ceria", lebih "produktif" dan akibatnya, banyak dari mereka kehilangan batas antara dunia maya dan kenyataan.
Yang paling menyedihkan, tak jarang kehidupan rumah tangga menjadi korban. Suami yang merasa diabaikan, anak-anak yang kurang perhatian, dan rumah yang tak lagi menjadi tempat beristirahat, melainkan studio konten 24 jam. Bahkan, beberapa pasangan berujung pada pertengkaran karena merasa eksistensinya dikalahkan oleh kamera.
ETIKA DIGITAL: Antara Kejujuran dan Kepura-puraan
Fesbuk Pro juga memunculkan pertanyaan etik: sejauh mana kehidupan pribadi boleh dipublikasikan demi konten? Banyak dari mereka yang menjadikan urusan keluarga, bahkan pertengkaran, sebagai bahan cerita demi "engagement". Sisi sensitif kehidupan pribadi direkam dan disebarkan tanpa filter. Dampaknya? Bukan hanya hilangnya privasi, tapi juga rusaknya nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.
Dalam jangka panjang, ini bisa membentuk generasi yang tidak jujur secara emosional. Kita diajari untuk selalu terlihat bahagia, walau sedang sedih. Selalu tersenyum, walau sedang tertekan. Kamera menjadi topeng, bukan alat komunikasi.
Profesional di Medsos, Seimbang di Rumah
Fesbuk Pro adalah refleksi dari era digital yang kompleks. Ia bisa menjadi alat pemberdayaan yang luar biasa, namun juga bisa menjelma jebakan narsistik yang sunyi. Yang menentukan bukan logonya, bukan jumlah viewers-nya, tapi cara kita memaknai dan menyeimbangkannya.
Kita boleh tampil pro di Facebook, asal tetap waras di rumah. Boleh bangga dengan pencapaian digital, asal tidak melupakan tugas nyata di dunia nyata. Karena pada akhirnya, yang lebih penting dari branding adalah keseimbangan. Yang lebih berharga dari algoritma adalah cinta dan kedamaian dalam rumah.
*Luffy Neptuno
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI