--o0o--
Balairung yang didirikan di wilayah istana Hastinapura penuh ketegangan karena permainan dadu semakin membangkitkan rasa gelisah di hati para ksatria. Mereka telah memahami alur bermain dadu, perpecahan akan jadi muara dari taruhan-taruhan yang diajukan masing-masing pihak. Sengkuni tersenyum licik memandang wajah masam Pandawa yang hampir kalah telak sepanjang permainan dimulai. Puntadewa mulai mempertaruhkan harta-hartanya, kemudian ia pertaruhkan semua pengawal dan pelayannya, kemudian seluruh wilayah Indraprastha beserta penduduk dan segala sumber dayanya, dan sampai habislah segala materi yang ia miliki.
Sangkuni terus menantang Puntadewa, permainan terus berlanjut. Puntadewa kini mempertaruhkan adik kembarnya, Nakula dan Sadewa. Kemudian dua saudara kandungnya dar ibu yang sama, Arjuna dan Bima. Habis sudah saudara-saudaranya dipertaruhkan, ego Puntadewa terus terpancing perangkap Sangkuni. Ia kini menyerahkan dirinya sebagai taruhannya. Dan permainan itu terus dikuasai Sangkuni hingga benar-benar raib segala yang dipunya Puntadewa.
“Apakah kau tidak akan mempertaruhkan istrimu sendiri, Puntadewa? Sang Pancali kini mungkin akan membawakan keberuntungan pada nasibmu, seperti yang sudah-sudah. Indraprastha di bawah kepemimpinanmu menjadi sangat sejahtera. Bukankah Sang Pancali selalu memberikan dukungan di sampingmu Puntadewa?”
Sangkuni terus membakar ego Puntadewa hingga ia kehilangan akal dan kendalinya.
“Aku pertaruhkan dia.”
Awan kelabu menyelimuti langit balairung, kuasa Dewa Bayu membuat kain-kain tirai saling berjuntai. Dadu yang telah diputar tangan Sangkuni memancing amarah Dewa Indra menggemuruhkan kuasanya. Pihak Kurawa bersorak sorai menyambut Sang Pancali yang telah dipertaruhkan suaminya sendiri.Duryodana memerintahkan Duhsasana untuk membawa Drupadi ke tengah ruang permainan dadu.
Drupadi dikejar-kejar Duhsasana di dalam kamarnya. Ucapan penuh lecehan dan tidak berperikemanusiaan ia lontarkan pada Drupadi untuk menjatuhkan psikisnya. Tubuh Drupadi gemetaran di belakang tirai jendela, sontak ia terperanjat ketika Duhsanana menyibak tirai lalu menarik paksa lengannya. Kekuatan Duhsasana mencoba diimbangi Drupadi namun nihil, Drupadi terjembab ke lantai, sanggul rambutnya melepaskan ikatan rambut yang panjangnya tiga hasta. Tanpa ba-bi-bu Duhsasana menyeret segenggam surai hitam Drupadi. Teriakan kesakitan Drupadi menggema sepanjang lorong kamar hingga ruang permainan dadu.
Hati Puntadewa serasa teriris sebilah belati, kucuran keringat sebesar biji jagung mencuat dari dahinya, jari jemarinya seolah terendam air hujan dalam bejana besi di malam hari, mendengar gema teriakan sang istri. Puncaknya ketika Drupadi dilemparkan bak seonggok batu yang kerap Puntadewa dan Drupadi lempar di danau dekat kamar mereka, saat sedang membuat harapan.
Bulir-bulir bening meluruhkan ego Puntadewa, ia telah sepenuhnya tersadar akan perbuatannya, menyerahkan istrinya sebagai taruhan dalam permainan dadu. Dadanya sesak oleh isakan melihat kekacauan pada diri Drupadi.
Mata Drupadi menyalang pada kelima suaminya yang tertunduk dalam duduknya. Ia telah dijadikan objek oleh suaminya sendiri di permainan dadu. Andai ia bisa, Drupadi ingin menumpahkan semua amarahnya dengan memaki-maki dan memukuli para suaminya, terutama Puntadewa, akan ia buat Puntadewa tuli mendengar caci makiannya dan lumpuh menerima pukulannya. Tapi ia masih sadar, belum kehilangan kendali atas amarah yang membumbung tinggi di hatinya.
Kendali dirinya goyah ketika Duhsasana mencoba melucuti pakaiannya. Pakaian yang ia kenakan atas saran Puntadewa, pakai pakaian yang nyaman saat ke Hastinapura, cuaca dingin sepanjang perjalanan. Nyatanya tidak demikian, suasana terlalu panas sesampainya di Hastinapura, kenyamanan pakaiannya direnggut oleh Puntadewa sendiri. Duhsasana berusaha terus mencoba melucutinya di depan para Pandawa. Dewa Bayu dan Dewa Indra pun tidak sanggup lagi menunjukkan kuasanya di tengah tragedi yang mengenaskan itu.