Mohon tunggu...
Luqi Intalia
Luqi Intalia Mohon Tunggu... Mahasiswa - (Twolisan)

|| menulislah, maka namamu akan abadi || Mahasiswi UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan, Pendidikan Agama Islam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Takdir

13 Oktober 2022   09:59 Diperbarui: 18 Mei 2023   07:32 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perihal rasa; aku tak berani memutuskan sepihak, apalagi dengan sebegitu cepatnya. Entahlah rasa ini sudah mati. Sepertinya aku tidak bisa jatuh cinta lagi.

Langit waktu itu nampak indah; sangat biru. Bahkan awannya terlihat putih pekat laksana lukisan.

"Mang, aku tak begitu bisa melihat candi di arah sana, indah kah?"
"Indah banget, mata lu kenapa Ren. Tumben banget gabisa lihat objek yang jauh?."
"Gatau, akhir-akhir ini sering gitu"

Amang, dia adalah sahabat karibku. Teman cerita, teman segalanya, dengan kehadirannya. Hidupku tak hampa sekalipun tanpa seorang kekasih.

Setelah dari perbincangan di taman indah itu, aku selalu memikirkan mataku. Kenapa tidak bisa melihat objek yang jauh dengan jelas.

Semakin hari, pandanganku buyar.

"Mang, wajahmu burem ih"
"Yang bener ren, ah lu hanya merem satu si"
" Emang mata kiri gua yang burem"

Pertemuan kami kesekian kalinya di taman. Tentunya taman yang berbeda di setiap pertemuan. Kali ini aku tak begitu memfokuskan pembicaraan pada pandangan mata yang buram. Aku berfokus pada kisah indah masa-masa kemarin saat aku menimba ilmu tiga hari di kota Solo.

"Gimana kesan lu kemarin di Solo?"
"Indah banget mang, gua ketemu sama orang-orang luar biasa."
"Kesan apa yang lu dapet?."
"Gua teringat ama dosen favorit gua kala itu, nama beliau pak Ahmad. Pak Ahmad sangat menghargai waktu, beliau orangnya on time banget, jika beliau telat pasti minta maaf, pun jika beliau mengambil waktu kami, beliau pasti minta maaf. Ah baru sadar gua, begitu keren orang yang bener-bener bisa menghargai waktu"
"Selama ini kemana aja, udah gua kasih tahu kan. Masih aja lu ga sadar"
"Ya maap."

Mata sinis amang masih ku ingat. Indahnya taman masih mampu ku amati, tapi ketika ku pejamkan mata kanan. Buyar, rerumputan taman nampak samar, bunga yang indah tak nampak begitu jelas. Bahkan senyum Amang terlihat seperti lukisan abstrak yang begitu samar.

"Besok anter gua periksa mata yuk mang."
"Iya gua anter, periksain biar cepet sembuh."

Pagi itu aku dengan segudang mental siap untuk mengetahui keadaan yang ada. Entah apa yang terjadi dengan penglihatanku. Tapi ku harap ini hanya sementara dan bisa kembali normal.

"No antri berapa?."
"90, ini masih no 50?."
"Keluar aja yuk makan, masih lama kan."
"Lu aja sendiri, gua mau nunggu aja."
"Yaudah gua keluar."

Tak sedikitpun ku hiraukan kepergian Amang. Pikiranku entah sampai dimana, sampai dibagian apa. Aku memikirkan segala hal, yang entah aku sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya di pikirkan.

Ketika giliranku masuk untuk di periksa. Ah jantungku kian berdetak kencang. Aku takut entah apa sebabnya.

Kriing kriiiinggg

"Halo"
"Udah belum"
"Udah, lu dimana?."
"Depan."
"Oke gua kesitu."

Langkahku goyah, seakan ingin meratapi nasib tapi aku tidak tahu, entah reaksi apa yang harus aku tunjukkan pada dunia. Entah reaksi apa yang harus aku gambarkan, entah harus sedih ataupun tetap harus bahagia. Akupun tak paham.

"Ren, kenapa?, Hasilnya gimana?.
"Gua telat periksa, kata dokter mata gua sudah tidak bisa di sembuhkan"
"Apa!."
"Iya, tapi biarlah. Tuhan maha baik. Ngasih gua penglihatan yang begitu jelas di mata kanan."
"Meskipun dokter bilang gitu,  lu tetep harus ikhtiyar, apapun itu".
"Iya mang."

Malam semakin larut. Aku masih saja memikirkan rumus kehidupan. Entah bagaimana aku menghadapi situasi ini, aku masih belum bisa mengutarakan apapun.

"Ren meskipun kau anggap kedua matamu tak begitu  sempurna; gua tetap menyukainya. Matamu tetap menjadi Kejoraku, apalagi saat lu krenyitkan kedua matamu dengan sedikit senyuman. Candu. Gua paling suka saat itu"

Good night
==========

Memang begitu indah rumus kehidupan yang sudah Tuhan gariskan. Sungguh sepatutnya tetap harus selalu bersyukur. Disebalik musibah yang Tuhan beri. Ada ribuan kenikmatan lainnya yang sudah Tuhan persiapkan.

Kehilangan yang kau alami; tak sebanding dengan nikmat yang sudah kamu miliki. Masihkah  harus bersedih?.
Tentunya tidak. Tetap jalani hari yang penuh bahagia ini dengan menambah rasa syukur di setiap kejadian, setiap keadaan dan disetiap kehilangan._

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun