Perihal rasa; aku tak berani memutuskan sepihak, apalagi dengan sebegitu cepatnya. Entahlah rasa ini sudah mati. Sepertinya aku tidak bisa jatuh cinta lagi.
Langit waktu itu nampak indah; sangat biru. Bahkan awannya terlihat putih pekat laksana lukisan.
"Mang, aku tak begitu bisa melihat candi di arah sana, indah kah?"
"Indah banget, mata lu kenapa Ren. Tumben banget gabisa lihat objek yang jauh?."
"Gatau, akhir-akhir ini sering gitu"
Amang, dia adalah sahabat karibku. Teman cerita, teman segalanya, dengan kehadirannya. Hidupku tak hampa sekalipun tanpa seorang kekasih.
Setelah dari perbincangan di taman indah itu, aku selalu memikirkan mataku. Kenapa tidak bisa melihat objek yang jauh dengan jelas.
Semakin hari, pandanganku buyar.
"Mang, wajahmu burem ih"
"Yang bener ren, ah lu hanya merem satu si"
" Emang mata kiri gua yang burem"
Pertemuan kami kesekian kalinya di taman. Tentunya taman yang berbeda di setiap pertemuan. Kali ini aku tak begitu memfokuskan pembicaraan pada pandangan mata yang buram. Aku berfokus pada kisah indah masa-masa kemarin saat aku menimba ilmu tiga hari di kota Solo.
"Gimana kesan lu kemarin di Solo?"
"Indah banget mang, gua ketemu sama orang-orang luar biasa."
"Kesan apa yang lu dapet?."
"Gua teringat ama dosen favorit gua kala itu, nama beliau pak Ahmad. Pak Ahmad sangat menghargai waktu, beliau orangnya on time banget, jika beliau telat pasti minta maaf, pun jika beliau mengambil waktu kami, beliau pasti minta maaf. Ah baru sadar gua, begitu keren orang yang bener-bener bisa menghargai waktu"
"Selama ini kemana aja, udah gua kasih tahu kan. Masih aja lu ga sadar"
"Ya maap."
Mata sinis amang masih ku ingat. Indahnya taman masih mampu ku amati, tapi ketika ku pejamkan mata kanan. Buyar, rerumputan taman nampak samar, bunga yang indah tak nampak begitu jelas. Bahkan senyum Amang terlihat seperti lukisan abstrak yang begitu samar.
"Besok anter gua periksa mata yuk mang."
"Iya gua anter, periksain biar cepet sembuh."