Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

5 Faktor yang Menjadikan Indonesia sebagai Salah Satu Negara Paling Berbahaya bagi Perempuan

10 Desember 2021   15:48 Diperbarui: 28 April 2022   05:45 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual melakukan sosialisasi penghentian kekerasan seksual kepada perempuan dan anak, di sekitar bundaran HI Jakarta Pusat, Minggu (6/12/2015).| Sumber: TRIBUNNEWS/HERUDIN

Ruang gerak perempuan diatur sedemikian rupa dalam banyak hal, termasuk masalah pakaian, suara, ekspresi, cara berjalan, dan perilaku. Beberapa pihak malah melarang perempuan untuk aktif di ruang publik karena dikhawatirkan menjadi sumber fitnah dan tidak sesuai dengan kodratnya.

Jika hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi perempuan dari bahaya yang mengintai di luar sana, mengapa perempuan tidak juga merasa aman di dalam rumah? Padahal rumah merupakan ranah privat.

ilustrasi perempuan korban kekerasan seksual-Green Ubuntu diunduh dari situs akurat.co
ilustrasi perempuan korban kekerasan seksual-Green Ubuntu diunduh dari situs akurat.co

Jika perempuan masih menjadi korban tindak kekerasan seksual di ruang publik dan privat, lalu di manakah ruang aman bagi mereka? Apa saja yang membuat mereka sulit mendapatkan ruang aman di negeri ini?

Pertama, kuatnya budaya patriarki

Budaya patriarki menempatkan dan memperlakukan perempuan sebagai properti dan objek seksual belaka. Perempuan diharuskan untuk tunduk dan patuh secara mutlak atas aturan-aturan yang dibuat oleh laki-laki. 

Hal ini membuat mereka seringkali tidak punya kuasa untuk menyuarakan keinginan atau pendapatnya meskipun mereka menerima perlakuan buruk dan merugikan.

Kedua, normalisasi budaya pemerkosaan (rape culture) dan menyalahkan korban

Dalam ranah hukum, normalnya dikenal dua delik: delik biasa dan delik aduan. Tapi di negeri +62 ada satu lagi delik yang bakal berfungsi kalau kasusnya sudah ramai, yaitu delik viral. Setiap ada korban melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya, laporan baru akan diproses kalau kasusnya viral.

Yang terbaru adalah kasus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi terhadap Novia Widyasari. Korban telah melaporkan tindak pemerkosaan yang dilakukan pacarnya, Bripda Randy Bagus, ke pihak berwajib tetapi tidak kunjung diproses. Bahkan ada indikasi terjadi pembiaran. Sampai akhirnya korban bunuh diri dan ditemukan meninggal dunia di samping pusara ayahnya pada 2 Desember lalu.

Korban yang melapor seringkali masih dipersulit dengan berbagai alasan, seperti kurang bukti dan ditanyai, "kenapa baru melapor sekarang?"

Korban juga seringkali disalahkan dan dianggap mengundang terjadinya pelecehan seksual.

Hal ini seolah menjadi tanda bahwa kejahatan seksual tidak dianggap sebagai masalah serius. Budaya melecehkan perempuan seakan-akan menjadi suatu kewajaran karena laki-laki secara kodrat punya hasrat seksual yang lebih besar.

Ketiga, stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun