Mohon tunggu...
Luna Septalisa
Luna Septalisa Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar Seumur Hidup

Nomine Best in Opinion 2021 dan 2022 | Penulis amatir yang tertarik pada isu sosial-budaya, lingkungan dan gender | Kontak : lunasepta@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

5 Faktor yang Menjadikan Indonesia sebagai Salah Satu Negara Paling Berbahaya bagi Perempuan

10 Desember 2021   15:48 Diperbarui: 28 April 2022   05:45 1816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jaringan Muda Melawan Kekerasan Seksual melakukan sosialisasi penghentian kekerasan seksual kepada perempuan dan anak, di sekitar bundaran HI Jakarta Pusat, Minggu (6/12/2015).| Sumber: TRIBUNNEWS/HERUDIN

Sebuah survei yang dirilis oleh perusahaan riset di Singapura, Value Champion, menempatkan Indonesia di peringkat kedua sebagai negara paling berbahaya bagi perempuan di kawasan Asia Pasifik. Dari 14 negara Asia Pasifik yang dianalisis, Indonesia, India, dan Filipina menempati peringkat tiga terbawah soal keamanan perempuan.

Sementara lima peringkat teratas ditempati oleh Singapura dan Selandia Baru (sama-sama peringkat pertama), Australia, Jepang, dan Taiwan.

Akses kesehatan yang di bawah standar, lemahnya penegakan hukum tentang keselamatan perempuan, dan ketidaksetaraan gender secara umum menjadi penyebab Indonesia berada di peringkat tiga paling buncit.

Dalam analisisnya, Value Champion menggunakan data dari berbagai sumber, seperti Indeks Pembangunan Manusia (PBB), Indeks Perdamaian Global, Bank Dunia, dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Value Champion juga menyatakan dalam laporannya bahwa data terkait laporan tentang tindak kriminal terhadap perempuan mungkin tidak sempurna dan kekurangan data aktual, seperti pada kasus pelecehan seksual dan kejahatan domestik, banyak perempuan di tiap negara yang tidak melaporkan tindak pelecehan seksual yang dialami

Sementara itu, Catatan Tahunan (CATAHU) 2020 Komnas Perempuan menyebutkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus.

Sayangnya, penurunan sebanyak 31% atas kasus yang berhasil dicatat pada tahun 2020 ini disebabkan oleh pengembalian kuesioner yang menurun hampir 100% dari tahun 2019. Pada tahun sebelumnya jumlah pengembalian kuesioner mencapai 239 lembaga sedangkan pada tahun 2020 hanya 120 lembaga.

Padahal sebanyak 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi. Jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan dari 1.413 kasus pada 2019 menjadi 2.389 kasus pada 2020.

Ironisnya, dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan paling banyak justru terjadi di ranah privat.

Kekerasan di ranah privat yang paling banyak terjadi adalah kekerasan terhadap istri. Disusul dengan kekerasan dalam pacaran dan kekerasan terhadap anak perempuan di urutan kedua dan ketiga. Sementara sisanya adalah kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami, mantan pacar (sudah jadi mantan pun masih menyusahkan), dan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Ruang gerak perempuan diatur sedemikian rupa dalam banyak hal, termasuk masalah pakaian, suara, ekspresi, cara berjalan, dan perilaku. Beberapa pihak malah melarang perempuan untuk aktif di ruang publik karena dikhawatirkan menjadi sumber fitnah dan tidak sesuai dengan kodratnya.

Jika hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi perempuan dari bahaya yang mengintai di luar sana, mengapa perempuan tidak juga merasa aman di dalam rumah? Padahal rumah merupakan ranah privat.

ilustrasi perempuan korban kekerasan seksual-Green Ubuntu diunduh dari situs akurat.co
ilustrasi perempuan korban kekerasan seksual-Green Ubuntu diunduh dari situs akurat.co

Jika perempuan masih menjadi korban tindak kekerasan seksual di ruang publik dan privat, lalu di manakah ruang aman bagi mereka? Apa saja yang membuat mereka sulit mendapatkan ruang aman di negeri ini?

Pertama, kuatnya budaya patriarki

Budaya patriarki menempatkan dan memperlakukan perempuan sebagai properti dan objek seksual belaka. Perempuan diharuskan untuk tunduk dan patuh secara mutlak atas aturan-aturan yang dibuat oleh laki-laki. 

Hal ini membuat mereka seringkali tidak punya kuasa untuk menyuarakan keinginan atau pendapatnya meskipun mereka menerima perlakuan buruk dan merugikan.

Kedua, normalisasi budaya pemerkosaan (rape culture) dan menyalahkan korban

Dalam ranah hukum, normalnya dikenal dua delik: delik biasa dan delik aduan. Tapi di negeri +62 ada satu lagi delik yang bakal berfungsi kalau kasusnya sudah ramai, yaitu delik viral. Setiap ada korban melaporkan tindak kekerasan seksual yang dialaminya, laporan baru akan diproses kalau kasusnya viral.

Yang terbaru adalah kasus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi terhadap Novia Widyasari. Korban telah melaporkan tindak pemerkosaan yang dilakukan pacarnya, Bripda Randy Bagus, ke pihak berwajib tetapi tidak kunjung diproses. Bahkan ada indikasi terjadi pembiaran. Sampai akhirnya korban bunuh diri dan ditemukan meninggal dunia di samping pusara ayahnya pada 2 Desember lalu.

Korban yang melapor seringkali masih dipersulit dengan berbagai alasan, seperti kurang bukti dan ditanyai, "kenapa baru melapor sekarang?"

Korban juga seringkali disalahkan dan dianggap mengundang terjadinya pelecehan seksual.

Hal ini seolah menjadi tanda bahwa kejahatan seksual tidak dianggap sebagai masalah serius. Budaya melecehkan perempuan seakan-akan menjadi suatu kewajaran karena laki-laki secara kodrat punya hasrat seksual yang lebih besar.

Ketiga, stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual

Korban kekerasan seksual seringkali dianggap sebagai aib keluarga dan masyarakat. Mereka dianggap "nakal", tidak bermoral bahkan sampah masyarakat. Oleh karena itu, korban akhirnya dipaksa untuk menikah dengan pelaku untuk menutupi aib.

Bayangkan, korban dipaksa menikah dengan seseorang yang telah menghancurkan fisik, psikis, dan masa depannya.

Hari ketika peristiwa itu terjadi adalah bencana. Namun menikah dengan pelaku adalah neraka dunia baginya.

Sementara di ranah akademik dan profesional, korban kejahatan seksual juga kerap diminta untuk berdamai dan menyelesaikan kasus secara kekeluargaan demi menjaga nama baik institusi. Mereka yang melapor tidak jarang akan diteror, diancam, dirisak, dan dianggap cari perhatian

Keempat, penafsiran dalil agama yang kaku dan tekstual

Dalam agama Islam, ada ayat-ayat Al Quran dan hadis yang mengatur tentang hubungan suami-istri, termasuk urusan aktivitas seksual. Sayangnya, ada oknum-oknum yang menafsirkannya sembarangan dan hanya mengambil yang enaknya saja.

Contohnya, ayat 223 Surat Al-Baqarah yang berbunyi "Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai..." (selengkapnya lihat di Al-Quran masing-masing atau cari lewat mesin pencari).

Ayat tersebut kalau dimaknai secara serampangan dapat mendorong terjadinya pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape). Padahal aktivitas seksual antara suami-istri itu ada etikanya dan diatur juga dalam agama.

Ayat 34 Surat An-Nisaa yang berbunyi "Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan...", jika tidak dimaknai dengan benar akan menjadi legitimasi untuk berbuat semena-mena terhadap perempuan. Dan ayat ini pula yang---apabila hanya dimaknai secara tekstual---dapat dijadikan senjata untuk melanggengkan budaya patriarki.

Kelima, lemahnya penegakan hukum atas kejahatan seksual

Novia Widyasari, MS (pegawai KPI Pusat), Baiq Nuril hanyalah segelintir contoh korban kekerasan seksual yang harus berhadapan dengan bobroknya penegakan hukum di negeri Wakanda.

Itu yang terekspos. Bagaimana dengan yang tidak? Apakah korban mendapatkan keadilan?

Ini pula yang kadang membuat saya su'udzon dengan para penolak RUU PKS maupun Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021.

Memang mau sampai kapan ketidakadilan ini dibiarkan? Atau jangan-jangan di antara para penolak memang ada yang predator seksual? Hmm.

Rujukan : 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun