Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Hitam dan Putih Melebur

2 Februari 2024   22:09 Diperbarui: 2 Februari 2024   22:15 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bagaimana rasanya menjadi Tuan Puteri yang dipingit dalam istana?"

Aku menyerngitkan dahi, menoleh sekilas pada seseorang yang berjalan di sebelahku. Sedang kakiku sibuk menyaruk butir-butir kerikil yang tak bersalah, hingga ia terlontar entah ke mana setelahnya.

"Setiap kali kuajak kau keluar, kau selalu saja heran pada banyak hal," tawanya mengedarkan pandang. Seolah mengejek padaku yang sedikit-dikit mengajukan pernyataan heran dalam setiap perjalanan.

"Semua itu memang mengherankan. Bagaimana bisa seorang ibu menyakiti anaknya, bagaimana bisa seorang anak memenggal kepala ayahnya, bagaimana bisa seseorang diperlakukan layaknya hewan, diikat, diperjual belikan," kusebut macam-macam hal yang kutemukan, berita yang menyusup dalam mata juga telingaku, tentang bagaimana mengherankannya prilaku manusia yang kutemui.

Tidakkah mereka merasa bersalah telah menyakiti seseorang yang terhitung masih terikat hubungan darah. Begitujuga dengan orang-orang yang menganggap manusia lain hina, menghajarnya sebagai pelampiasan amarah, juga tak segan membuatnya menjadi sapi perah yang terus diperah demi keuntungan hingga boleh jadi tak bersisa setetes darahpun dalam tubuh. Tidakkah tersisa sedikit saja rasa kasihan dalam seonggok daging itu, melihat sesamanya merintih penuh dengan kesakitan, tidakkah sedikit saja rasa iba itu menyeruak dalam dada.

"Kau telalu lama tinggal dalam istana, Tuan puteri. Dan seperti yang kukatakan jika itu masih menyangkut yang namanya manusia kau tak perlu heran. Hal seaneh dan se-absurd apapun dan bagaimana bentuknya akan kau temui melekat pada mahluk Tuhan yang diberi akal itu."

"Kau berhentilah memanggilku Tuan puteri," hardikku, "aku bukan tuan puteri dengan gaun yang lebar dan tinggal dalam istana sungguhan, bagaimana bisa ia memanggilku tuan puteri seenaknya."

"Kau pantas dengan panggilan itu, seseorang dengan pandangan paling lurus pada dunia. Kau memang lebih baik tinggal di dalam istana itu, bukankah orang tuamu dan para pelayan istana akan selalu menghamparkan karpet untukmu berjalan, agar kakimu yang mulus itu tak menyentuh tanah yang kotor, agar dalam setiap langkahmu kau temu kemudahan yang takkan membuatmu sengsara dan mengecap derita. Agar pandanganmu tentang dunia sama seperti kemarin-kemarin, dunia seputih salju. Seindah gemintang di langit malam yang berkilau. Agar kau selalu percaya bahwa dunia adalah tempat terbaik untuk melangsungkan kehidupan yang damai dan sejahtera. Bukankah kau selalu memandang dunia dari sisi paling positifnya dari dalam istana yang dibangunkan orangtuamu itu. Dunia yang ada dalam pikirmu itu adalah omong kosong bagiku."

Aku masih memerhatikan bagaimana seseorang itu bicara, seolah di tempat ini, di sudut pandang ini akulah yang paling salah. Salah dalam mempresentasikan dunia dan memandangnya dari tempat yang tak seharusnya. Ia cukup tau banyak hal tentangku, tentang seorang anak yang tak pernah keluar seorang diri. seorang yang terkurung dalam istana yang dipenuhi keindahan dengan tembok paling kokoh berlandas cinta. Tak dibiarkan kesedihan dan kesengsaraan melanda, semua orang dalam lingkup-yang disebut olehnya istana itu, selalu menghiburku dengan kata-kata positif hingga aku terbiasa memandang dunia dari sisi paling terang dan paling menentramkan.

Seperti itulah julukan Tuan putri ia sematkan padaku, seseorang yang ia temui tanpa sengaja saat  dalam pelarian diri dari seseorang yang menjadikannya kambing hitam dari sebuah kesalahan, hukuman atas yang bukan salahnya menanti tuk memenggal kepala. Dalam pelarian itu ia bersembunyi acak pada sebuah kereta yang akan membawaku plesiran menuju tempat yang disebut serpihan surga.

Sejak saat itu, dua orang dengan pandangan dan tempat memandang yang berbeda melebur dalam perbincangan. Menjabarkan bagaimana dunia dan seisinya menurut versi masing-masing. Dan jelas saja, ia menghardikku, bagaimana bisa dunia sekacau itu kupandang dengan penuh kekaguman. Maka tentu saja, aku yang tertegun heran, sisi dunia mana yang ditempuhnya, mengapa ada dunia semengerikan dan segelap yang ia paparkan.

"Kau seharusnya tak disini bersamaku, Tuan Putri, agar pandangan bersihmu tak terkontaminasi akan pandangan busukku pada dunia," tegasnya lagi.

Aku menghembuskan nafas berat, bekas luka besar yang berada di bawah mata sebelah kanan yang menggores ujung pipi membuatku merasa jerih. Itu adalah bekas luka besar yang juga mengerikan yang pernah kutemui. Pernah diceritakannya luka itu ia dapatkan saat membantu seorang perempuan yang akan menjadi korban kebiadaban segerombolan orang yang diperbudak oleh nafsunya. Juga lengannya yang terdapat bekas luka yang menghitam, tubuh itu terlihat jauh lebih buruk dari tubuh manapun yang pernah kutemui. Bekas luka yang nampak di luar itu tak dapat kuhitung jumlahnya, bahkan boleh jadi luka di tempat lain lebih mengerikan dari pada itu. ia pernah bercerita jika terlahir dari seorang ibu yang tak menginginkan kehadiran seorang anak. Terbuang, hidup sebagai budak, penuh kemalangan dan pandangan hina di manapun langkah kakinya menjejak. Begitu banyak daftar kebusukan dunia yang ia ceritakan padaku, sesuatu hal yang sama sekali tak pernah terbenak dalam hati dan pikiran. Bagaimana ada dunia semacam itu dan manusia buruk yang tinggal.

"Maukah kau terus berjalan bersamaku?" tanyaku hati-hati.

"Kan kutunjukkan bagaimana dunia yang seputih salju itu. Meski pada akhirnya kau tak jua memiliki pandangan seperti itu, kau akan tidak lagi memandang dunia segelap malam paling gulita seperti sebelumnya."

Seseorang di sampingku menghentikan langkah, mengalihkan pandang pada dua bola mataku, "boleh jadi, kau juga tak akan memiliki pandangan seputih salju seperti sebelumnya. Kau juga akan melihat gelap lebih pekat saat berjalan denganku. Tapi, putih hitam itu boleh jadi melebur, terang dan gelap itu mungkin juga menjadi satu, mencipta sesuatu yang abu-abu dari sisi hitam dan putih yang bertolak belakang."

"Tak mengapa, bukahkah yang pertengahan selalu baik?" tanyaku kemudian.

"Ya, dan itu tak semudah yang kau pikirkan." Ia mengambil langkah lagi dan aku mencoba mensejajarinya.

"Dan juga tak sesulit yang kau pikirkan." Aku mengeluarkan pendapat, sebagaimana yang kuyakini.

Melihatnya tersenyum, tanpa sadar aku juga mengurai senyuman. Pada senja yang menjingga indah dan menentramkan di kaki cakrawala, bukankah seindah itu jika terangnya siang dan gelapnya malam melebur menjadi satu, pertengahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun