Mohon tunggu...
Luluk Marifa
Luluk Marifa Mohon Tunggu... Penulis - Read, read and read. than write, write and write.

Menulislah, hingga kau lupa caranya menyerah dan pasrah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Hitam dan Putih Melebur

2 Februari 2024   22:09 Diperbarui: 2 Februari 2024   22:15 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Kau seharusnya tak disini bersamaku, Tuan Putri, agar pandangan bersihmu tak terkontaminasi akan pandangan busukku pada dunia," tegasnya lagi.

Aku menghembuskan nafas berat, bekas luka besar yang berada di bawah mata sebelah kanan yang menggores ujung pipi membuatku merasa jerih. Itu adalah bekas luka besar yang juga mengerikan yang pernah kutemui. Pernah diceritakannya luka itu ia dapatkan saat membantu seorang perempuan yang akan menjadi korban kebiadaban segerombolan orang yang diperbudak oleh nafsunya. Juga lengannya yang terdapat bekas luka yang menghitam, tubuh itu terlihat jauh lebih buruk dari tubuh manapun yang pernah kutemui. Bekas luka yang nampak di luar itu tak dapat kuhitung jumlahnya, bahkan boleh jadi luka di tempat lain lebih mengerikan dari pada itu. ia pernah bercerita jika terlahir dari seorang ibu yang tak menginginkan kehadiran seorang anak. Terbuang, hidup sebagai budak, penuh kemalangan dan pandangan hina di manapun langkah kakinya menjejak. Begitu banyak daftar kebusukan dunia yang ia ceritakan padaku, sesuatu hal yang sama sekali tak pernah terbenak dalam hati dan pikiran. Bagaimana ada dunia semacam itu dan manusia buruk yang tinggal.

"Maukah kau terus berjalan bersamaku?" tanyaku hati-hati.

"Kan kutunjukkan bagaimana dunia yang seputih salju itu. Meski pada akhirnya kau tak jua memiliki pandangan seperti itu, kau akan tidak lagi memandang dunia segelap malam paling gulita seperti sebelumnya."

Seseorang di sampingku menghentikan langkah, mengalihkan pandang pada dua bola mataku, "boleh jadi, kau juga tak akan memiliki pandangan seputih salju seperti sebelumnya. Kau juga akan melihat gelap lebih pekat saat berjalan denganku. Tapi, putih hitam itu boleh jadi melebur, terang dan gelap itu mungkin juga menjadi satu, mencipta sesuatu yang abu-abu dari sisi hitam dan putih yang bertolak belakang."

"Tak mengapa, bukahkah yang pertengahan selalu baik?" tanyaku kemudian.

"Ya, dan itu tak semudah yang kau pikirkan." Ia mengambil langkah lagi dan aku mencoba mensejajarinya.

"Dan juga tak sesulit yang kau pikirkan." Aku mengeluarkan pendapat, sebagaimana yang kuyakini.

Melihatnya tersenyum, tanpa sadar aku juga mengurai senyuman. Pada senja yang menjingga indah dan menentramkan di kaki cakrawala, bukankah seindah itu jika terangnya siang dan gelapnya malam melebur menjadi satu, pertengahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun