Mohon tunggu...
Lula
Lula Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Akuntansi Universitas Sebelas Maret

Selanjutnya

Tutup

Worklife

FOMO, Hidup Berdampingan dengan Fear of Missing Out

20 Desember 2021   10:05 Diperbarui: 20 Desember 2021   10:07 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akselerasi digital hasil dari pandemi Covid-19 membawa dampak yang cukup signifikan dalam beberapa aspek kehidupan. Perkembangan social media dan tren yang cukup dinamis, dewasa ini secara masif memengaruhi pola hidup dan kebiasaan masyarakat. Fear of Missing Out atau FOMO menjadi salah satu fenomena yang cukup familier di kalangan masyarakat saat ini. FOMO diartikan sebagai perasaan atau persepsi dimana orang lain dianggap lebih bahagia, memiliki hidup yang lebih baik, atau memiliki dan mengalami hal-hal yang lebih baik dari yang kita miliki. Fenomena FOMO banyak dikaitkan dengan menurunnya kualitas kesehatan baik mental maupun fisik. Kondisi FOMO pada seseorang sering dihubungkan dengan munculnya kebiasaan hustle culture, toxic productivity, low self-esteem, bahkan dapat berujung pada kondisi burnout.

 

Di kalangan remaja saat ini, fenomena FOMO menciptakan mindset kompetitif yang tidak dalam porsinya. Masyarakat menjadi selalu merasa tertinggal dan memforsir dirinya untuk tidak kalah dengan orang lain yang sebaya dengannya. Tahap ini lazimnya diawali dengan tindakan membandingkan pencapaian diri sendiri dengan orang lain. Dengan arus informasi di media sosial, tindakan ini menjadi lazim dilakukan dan menjadikan para remaja merasa iri, kehilangan rasa percaya diri, merasa tidak berharga, dan lain-lain. Banyak orang yang beropini bahwa hal ini sebenarnya baik untuk memacu diri agar tidak bermalasan-malasan dan berjiwa kompetitif. Namun, sayangnya hal ini justru mengarah pada hilangnya jati diri dari remaja itu sendiri karena mereka pada melakukan sesuatu hanya karena takut tertinggal. Bukan karena mereka benar-benar tahu target apa yang akan mereka capai nantinya. Contoh umum yang sering ditemui di kalangan remaja, khususnya mahasiswa adalah fenomena Certif Hunter atau Internship Hunter.

 

Dalam momentum ini, gejala FOMO menjadikan banyak pelajar berbondong-bondong mengikuti internship hanya untuk mencari validasi bahwa mereka telah memiliki pengalaman yang cukup untuk terjun di dunia kerja nantinya. Fenomena ini cukup mengkhawatirkan karena banyak pelajar yang justru tidak mempersiapkan pembekalan yang cukup sebelum mereka terjun ke dunia profesional nanti. Ironisnya, kebanyakan pelajar justru belum mengerti dengan baik mengenai masa depan yang mereka bangun. Hal sesederhana mengenai bidang apa yang diminati masih abu-abu, padahal untuk mempersiapkan karier kedepannya pelajar harus membangun jalan yang tepat dan sesuai dengan tujuannya nanti. Selain itu, alih-alih mempersiapkan hal-hal dasar mengenai keterampilan dasar, seperti  softskill dan hardskill dasar, banyak pelajar justru menggunakan momen ini untuk berlomba-lomba siapa yang paling banyak memiliki rekam pengalaman magang. Selain dalam jenjang magang, persoalan ini juga marak terjadi pada lingkup organisasi bahkan Pendidikan khususnya untuk pendidikan exchange post-graduate.

 

Memiliki rekam pengalaman yang bagus sebenarnya adalah hal yang bagus untuk membangun value kita di pasar tenaga kerja nantinya. Namun, hal terpenting bukanlah seberapa banyak pengalaman yang dimiliki namun seberapa dalam pengetahuan yang dipahami. Dengan semakin mudahnya akses bagi pelajar untuk mengikuti banyak kegiatan secara online atau daring, kita tentunya perlu mengetahui beberapa hal-hal dasar terlebih dahulu.

 

Anak muda dihimbau untuk tidak terlalu mengkhawatirkan ketertinggalan mereka. Ketimbang terjerembap dalam FOMO dan hustle culture, mengenali dan mengenali diri merupakan langkah cerdas dalam memulai perjalanan karier. Setiap manusia diciptakan dengan jati diri mereka masing-masing. Fenoma FOMO sering kali berujung pada ketidakjelasan jati diri pelajar karena mereka melakukan apa yang orang lain lakukan bukan karena mereka paham bahwa jalan mereka disana. Banyak hal yang bisa dilakukan remaja untuk mengetahui "their true colors" atau siapa mereka sebenarnya. Minat dan bakat adalah salah satu hal yang perlu digali untuk meningkatkan potensi dan membangun personal branding seseorang. Mengenali diri sendiri akan sangat membantu remaja agar lebih terarah dan bisa memfokuskan setiap kegiatan yang dilakukan. Selain itu, pemahaman yang baik mengenai diri sendiri dapat membantu kita merasa lebih santai. Ketika kita sudah mampu memahami diri sendiri, kita akan cenderung jarang membandingkan diri kita dengan orang lain, karena kita paham bahwa setiap individu memiliki jalan yang berbeda. Pengenalan terhadap diri sendiri juga membantu kita untuk lebih berani dan percaya diri dalam menghadapi semua tantangan kedepannya nanti.

 

Dengan waktu yang cukup terbatas, anak muda memiliki banyak cara untuk membangun masa depan sembari menikmati masa muda. Salah satunya adalah membagi waktu personal dan profesional dengan baik. Jangan sampai ketakutan berlebih tentang masa depan akhirnya merenggut masa muda para remaja. Bertemu dan membangun koneksi dengan banyak orang dapat memberikan kita lebih banyak insight, sehingga kita akan lebih mudah dalam menentukan jalan mana yang paling cocok untuk diri kita sendiri. Selain itu, tidak ada salahnya mencoba mengambil beberapa pembelajaran mengenai bidang-bidang yang bisa dikatakan cukup menarik dan hal tersebut juga dapat membantu kita menemukan bidang mana yang sesuai dengan minat dan bakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun