"Pak, nasi gudegnya satu, sama tahu tempe, oya telor pindang-nya yang banyak kuahnya ya," mas Dab memesan dengan gaya formalnya untuk ukuran warung tegal (warteg) pinggiran gang dekat Malioboro. Di seberangnya, mas Gondhez geleng-geleng sambil menahan tawa.
"Mas Dab kok jadi formal gitu," mas Gondhez menyela, "ini warteg, bukan fine dining di Budapest. Bilang saja 'gudeg komplit' sudah ngerti semua."
Begitulah pembuka ritual makan siang mereka di warteg langganan, tepat di sudut perempatan dekat stasiun Tugu. Dua sahabat dengan cara yang berbeda tentang makanan. Menariknya, mereka tetap sama-sama menghargai filosofi warteg sebagai ruang demokrasi kuliner.
"Kamu tau ndak," mas Dab menyendok kuah telor pindang, "di Budapest ada restoran yang konsepnya mirip warteg. Mereka sebut 'communal dining.' Mbayarnya 15 euro per orang."
"Lha, di sini 15 ribu malah dapet tambahan wisdom-nya Bu Warung," mas Gondhez tertawa, menunjuk pemilik warung yang sedang sibuk menggoreng tempe. "Gratis lagi."
Bu Warung sudah hafal dengan obrolan filosofis pelanggan setianya itu. Dia hanya senyum-senyum sambil terus menggoreng.Â
Dia tahu, sebentar lagi pasti ada diskusi tentang makna hidup yang entah bagaimana selalu bermula dari sepiring nasi gudeg.
"Tapi serius," mas Dab nyeruput es teh, "warteg itu institution of cultural learning. Coba liat meja sebelah: ada sopir taksi, pegawai bank, sama mahasiswa. Dimana lagi kita bisa nemukan demokratisasi kayak begini?"
"Nah!" mas Gondhez menunjuk dengan sendok, "Itu yang kumaksud. Warteg bukan cuma tempat makan, tapi tempat belajar soal Indonesia yang sesungguhnya."
Di meja sebelah, topik pembicaraan bergeser dari harga bensin hingga politik, dari gosip artis sampai filosofi Jawa. Semua mengalir alamiah, diiringi bunyi spatula Bu Warung yang masih tekun menggoreng tempe.