Di tengah hiruk-pikuk Malioboro, sebuah adegan sederhana namun bermakna mendalam terjadi. Sekelompok orang dengan beragam usia duduk mengelilingi papan catur.Â
Tak cuma itu, gambar di atas mempertontonkan dua mas-mas bule duduk bersimpuh di jalanan Malioboro bertanding catur melawan bapak-bapak.Â
Saya yakin mereka tidak saling kenal. Malahan, mereka bisa saja baru ketemuan. Ada papan catur yang menyatukan perbedaan bahasa dan ketidaktahuan antar-mereka
Sebuah permainan yang telah berusia ratusan tahun ini dengan eloknya membuat mereka berkonsentrasi dalam diam.
Catur di sini bukan sekadar permainan, melainkan sebuah bahasa universal yang menghubungkan manusia lintas generasi dan latar belakang. Mereka terpaku pada bidak-bidak yang berjejer di papan hitam-putih.
Tidak ada sekat sosial di ruang ini. Umur, status, atau asal-usul tidak lagi penting. Yang ada hanyalah kesepakatan bersama untuk berbagi momen, berbagi strategi, dan saling memahami melalui gerakan catur yang cerdas.
Setiap langkah pada papan catur adalah percakapan tanpa kata-kata. Ketika seorang pemain menggerakkan bidaknya, dia tidak sekadar memindahkan potongan kayu. Lebih dari itu, mereka mengirimkan pesan, mengajukan pertanyaan, dan menunggu respons lawan mainnya.
Lansia yang duduk tenang itu membawa pengalaman hidup yang kaya. Mereka bukan sekadar pemain catur, melainkan pencerita sejarah yang hidup. Setiap gerakan mereka adalah warisan pengetahuan yang diwariskan kepada generasi muda.
Ruang publik ini menjadi semacam laboratorium sosial kecil. Di sini, perbedaan tidak dilihat sebagai penghalang, melainkan peluang untuk saling mengenal.Â
Seorang anak muda atau mas bule itu dengan sandal gunung duduk bersila berdampingan dengan seorang kakek berbaju polo, berbagi momen yang sama.