Kesepakatan ini bisa menjadi beban bagi eksportir Indonesia, terutama bagi mereka yang sudah berjuang menghadapi biaya produksi yang tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, biaya ini dapat mengurangi daya saing barang Indonesia di pasar AS dan mempengaruhi ekonomi lokal.
Risiko kedua adalah ketergantungan pada impor barang dari AS, terutama dalam kategori energi dan produk pertanian. Repotnya, masalah ini baru dialami dalam jangka panjang ke depan.Â
Ketika Indonesia menjalin hubungan dagang yang lebih dalam dengan AS, ada risiko bahwa negara kita akan menjadi terlalu tergantung pada satu mitra dagang. Ketergantungan ini dapat mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia dan mengurangi keberagaman dalam hubungan perdagangan.
Risiko itu masih bersifat bilateral antara AS dengan Indonesia. Kita belum tahu bagaimana respon China dan Uni Eropa (UE) terhadap tarif 0% Indonesia terhadap barang AS.Â
Padahal UE baru saja menyetujui kemitraan komprehensif dengan Indonesia. Sebuah kesepakatan ekonomi yang akhirnya diamini UE setelah bertahun-tahun menolak.
Implikasi Jangka Panjang
Dalam jangka panjang, kesepakatan ini dapat memicu perubahan dalam struktur perdagangan Indonesia.Â
Jika Indonesia terus menjalankan kebijakan yang mendukung impor tanpa mempertimbangkan pengembangan industri domestik, maka potensi untuk tumbuh sebagai negara industri akan terancam.Â
Kesepakatan ini sebaiknya juga dilihat bukan semata sebagai sebuah struktur kesempatan (structure of opportunity) untuk meningkatkan volume perdagangan, tetapi juga sebagai tantangan untuk memperkuat sektor-sektor tertentu di dalam negeri.
Lebih jauh, Indonesia tampaknya perlu mempertimbangkan dampak sosial dari kesepakatan ini. Di sektor pertanian dan perikanan lokal, Indonesia dikhawatirkan tidak bisa bersaing dengan barang-barang AS yang masuk tanpa tarif.Â
Akibatnya, kebijakan ini berpotensi banyak petani dan nelayan kehilangan mata pencaharian mereka.Â