Kesepakatan baru antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto mengenai kebijakan tarif dagang menjadi sorotan penting dalam hubungan bilateral kedua negara.Â
Dalam perjanjian ini, Indonesia berkomitmen untuk membeli barang-barang dari AS, termasuk energi dan produk pertanian, sementara barang-barang AS akan masuk ke Indonesia tanpa tarif.Â
Meskipun kesepakatan ini menjanjikan keuntungan untuk kedua pihak, ada sejumlah risiko yang perlu dipertimbangkan bagi Indonesia.
Keuntungan dan Risiko
Kesepakatan ini tak pelak telah menawarkan beberapa manfaat signifikan bagi Indonesia. Pertama, dengan menghapus tarif pada barang-barang AS, Indonesia berpotensi mendapatkan akses lebih baik terhadap produk berkualitas tinggi yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.Â
Salah satunya adalah pembelian 50 pesawat Boeing dapat memperkuat sektor transportasi dan pariwisata, yang merupakan bagian penting dari perekonomian Indonesia. Masyarakat Indonesia di kelas ekonomi tertentu juga diprediksi bakal harga barang-barang produk AS tanpa pajak, misalnya iPhone dan seterusnya.
Kedua, pengurangan tarif impor barang Indonesia yang masuk ke AS dari 32 persen menjadi 19 persen dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global.Â
Pengurangan ini dapat membuka peluang ekspor yang lebih luas, terutama untuk produk-produk unggulan, seperti kelapa sawit, kopi, dan tekstil. Dengan akses yang lebih baik ke pasar AS, petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil di Indonesia diharapkan dapat merasa lebih diuntungkan.
Namun, di balik manfaat yang dijanjikan itu, terdapat risiko yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Pertama, kesepakatan ini mengharuskan Indonesia untuk membayar tarif sebesar 19 persen untuk semua barang yang diekspor ke AS.Â