Menariknya, boikot ini tidak sekadar bereaksi terhadap tarif ekonomi, tetapi juga mengandung dimensi ideologis yang jauh lebih dalam. Para konsumen Eropa, misalnya, melihat aksi ini sebagai upaya mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang mereka yakini tengah terancam.Â
Kelompok-kelompok di media sosial Facebook dengan ribuan anggota bermunculan. Mereka tidak semata mendorong boikot, tetapi juga mendiskusikan masa depan hubungan internasional.
Yqng menarik, Tesla malah tampil menjadi simbol paling nyata dari resistensi ini. Penjualan mobil listrik milik Elon Musk - yang kini secara resmi menjadi kepala Departemen Efisiensi Pemerintah - anjlok drastis di Eropa.Â
Konon, penjualan Tesla anjlok 45% pada Januari 2025. Angka itu bukan sekadar angka statistik, melainkan pernyataan politis yang keras.
Akademisi seperti Garritt van Dyk dari Universitas Waikato melihat fenomena ini sebagai ekspresi baru dari partisipasi politik. Ketika mekanisme demokrasi tradisional dirasa tidak cukup, konsumen mulai menggunakan daya beli sebagai instrumen perubahan.Â
Fenomena semacam ini mirip dengan kampanye "freedom fries" pasca invasi Irak di 2003 ketika penolakan terhadap invasi diterjemahkan menjadi pilihan konsumsi.
Yang membedakan boikot kali ini adalah skala dan koordinasi globalnya. Dari Eropa hingga Kanada, gerakan ini tidak lagi bersifat sporadis, melainkan terstruktur dan terorganisir.Â
Kelompok-kelompok yang awalnya bermula dari media sosial kini memiliki jejaring lintas-negara, berbagi strategi, dan semangat perlawanan global.
Dampak jangka panjangnya tentu saja berpotensi signifikan. Perusahaan multinasional, seperti Suntory Holdings, sudah memperkirakan kemungkinan penurunan penerimaan produk Amerika di pasar internasional.Â
Kerusakan pada citra merek bisa berlangsung dalam waktu yang lama, jauh melampaui periode pemerintahan Trump.
Namun, pertanyaan kritisnya tetap, yaitu: Apakah boikot ini akan cukup efektif mengubah kebijakan? Sejarah menunjukkan bahwa sanksi ekonomi memiliki dampak kompleks dan tidak selalu linear.Â