Hujan gerimis Melbourne di penghujung 2024 lalu tak menghalangi mas Dab dan teman-temannya berkumpul di student lounge School of Graduate Studies, University of Melbourne. Di tengah aroma kopi dari mesin otomatis dan sisa pizza yang mulai mendingin, diskusi tentang politik Indonesia mengalir.
"Gue masih gak habis pikir," ujar Rara, mahasiswa S3 yang meneliti tentang dinasti politik di Asia Tenggara. "Dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, hampir 150 dipimpin oleh kerabat politisi. Ini rekor baru dalam sejarah demokrasi kita."
Mas Dab mencecap kopinya. Dia teringat bagaimana di kampung halamannya, bupati baru adalah anak bupati lama. "Yang bikin miris," tambahnya, "bukan cuma di tingkat daerah. Di parlemen nasional juga sama. Anak-istri-sepupu politisi bertebaran."
"Tapi yang paling ekstrem ya pemilu 2024 kemarin," sambar Bayu, mahasiswa pertukaran dari UI. "Dari tiga kandidat presiden, dua di antaranya punya koneksi keluarga dengan presiden sebelumnya. Ini bukan demokrasi, ini oligarki berbungkus demokrasi."
Tono, yang sedang mengerjakan tesis tentang modal sosial dalam politik Indonesia, membuka laptopnya. "Nih, ada data menarik. Di Jawa Timur aja, ada 11 kabupaten yang dipimpin keluarga politisi. Belum termasuk DPRD-nya."
"Yang lucu," Rara menambahkan sambil mengunyah sisa pizza, "mereka selalu punya pembenaran sama: 'kan dipilih rakyat'. Padahal kita tahu semua, modalnya dari mana, jaringannya siapa."
"Sistem demokrasi kita memang cacat dari desainnya," ujar mas Dab. "Biaya politik tinggi, kontrol partai lemah, pengawasan dana kampanye setengah hati. Jadinya ya politik jadi lahan baru buat bisnis keluarga."
Di luar, langit Melbourne semakin gelap. Tapi diskusi malah semakin hangat ketika Lina, mahasiswa komunikasi politik, bergabung. "Kalian tahu nggak, di beberapa daerah, jabatan kepala dinas bahkan diwariskan? Bapaknya pensiun, anaknya yang gantiin."
"Itu belum seberapa," tambah Tono. "Ada daerah yang bupatinya, ketua DPRD-nya, sama kepala dinasnya masih sodara semua. Lengkap dah, eksekutif-legislatif-birokrasi dikuasai satu keluarga."
Mas Dab teringat diskusinya dengan profesor pembimbingnya minggu lalu. "Prof. Anderson bilang, ini fenomena unik Indonesia. Demokrasi prosedural Indonesia memang maju, tapi substansinya malah mundur ke era kerajaan."