Mohon tunggu...
Lucyana Kumala
Lucyana Kumala Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional Angkatan 2019

Dare to dream

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

THAAD: Kegagalan Sang "Rising Power" dalam Diplomasi Koersif

28 November 2021   17:25 Diperbarui: 28 November 2021   17:29 752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Terdapat 8 indikator keberhasilan diplomasi koersif, yaitu: (1) tujuan yang jelas dan konsisten; (2) motivasi yang kuat; (3) asimetri motivasi; (4) rasa urgensi; (5) kepemimpinan yang kuat; (6) dukungan domestik dan internasional; (7) ketakutan pihak lawan menghadapi eskalasi; dan (8) kejelasan mengenai aturan dan solusi yang jelas terhadap isu (Jönsson, 2018, 2).

Sejak awal pengumuman diskusi mengenai THAAD, Tiongkok telah menentang keras ide dan menyampaikan tuntutan yang jelas kepada Korea Selatan, yaitu membatalkan rencana pemasangan THAAD. 

Menurut Tiongkok, tidak seharusnya Korea Selatan mengganggu keamanan nasional negara lain yaitu dalam hal ini adalah keamanan nasional Tiongkok, ketika sedang memperkuat keamanan nasionalnya. 

Tuntutan tersebut terus diupayakan melalui serangkaian dialog, pernyataan resmi kenegaraan, dan juga pernyataan di media massa. Kementerian Luar Negeri Tiongkok tercatat telah menyatakan penolakan terhadap isu THAAD ini lebih dari 50 kali (Meick & Salidjanova, 2017).

Setelah mendapati bahwa ancaman verbal tidak efektif, Tiongkok menyatakan urgensi tuntutannya melalui aksi, yaitu pemboikotan produk-produk dan pembatasan pariwisata ke Korea Selatan.

Mulai Agustus 2016, Tiongkok menerapkan pemboikotan skala besar terhadap segala produk dari Korea Selatan agar Korea Selatan menarik kembali keputusan pemasangan sistem THAAD di negaranya, termasuk produk kebudayaan Korean Wave. 

Produk-produk asal Korea Selatan ditarik dari peredaran, drama Korea Selatan dihapus dari penayangan di televisi, tayangan ataupun cuplikan artis Korea Selatan dipotong dan diburamkan di televisi, proyek-proyek drama yang melibatkan artis Korea Selatan ditunda hingga diganti dengan artis Tiongkok, kontrak kerja dengan artis Korea Selatan dibatalkan secara tiba-tiba, hingga konser pun dibatalkan meski waktunya sudah dekat (Permatasari, 2019, 1024-1025). 

Di sektor pariwisata, Tiongkok melakukan pembatasan secara bertahap selama kurang lebih tujuh bulan dari Agustus 2016 hingga Maret 2017. Pemerintah Tiongkok mengeluarkan travel notice ke Korea Selatan, agen-agen travel Tiongkok melakukan pembatalan tur Korea Selatan, hingga meniadakan charter flight saat Tahun Baru Imlek (Paradise, 2019). 

Kebijakan-kebijakan koersif Tiongkok terhadap pariwisata Korea Selatan menyebabkan penurunan jumlah wisatawan Tiongkok ke Korea Selatan hingga lebih dari tiga juta sepanjang tahun 2016-2018 (Sukyee, 2019). South Korea’s National Assembly Budget Office mengatakan bahwa kerugian yang dialami Korea Selatan akibat pembatasan sektor pariwisata ini mencapai 7,5 triliun won (Govindasamy, 2020, 64).

Penduduk Tiongkok juga melakukan boikot terhadap produk Korea Selatan (national consumer boycott). Dari survei yang dilakukan oleh koran Global Times, 95% responden survei setuju terhadap pemboikotan produk Korea Selatan. 

Salah satu perusahaan industri terbesar di Korea Selatan, Lotte Group, mengalami kerugian hingga 140 miliar dari 2016 hingga 2018 akibat pemboikotan ekonomi oleh Tiongkok. Sebanyak 112 gerai Lotte Group di Tiongkok ditutup setelah 11 tahun beroperasi (The Straits Times, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun