LATAR BELAKANG
Peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian nasional menjadi semakin penting ketika dinamika global dan domestik menekan daya beli masyarakat. Program pemerintah, baik dalam bentuk subsidi, jaminan kredit, maupun insentif fiskal, dirancang untuk menjaga stabilitas ekonomi sekaligus mempercepat pemulihan dari tekanan struktural maupun siklikal. Konsep program pemerintah pada dasarnya merupakan intervensi kebijakan yang bersifat katalis, yaitu mendorong sektor keuangan dan riil untuk tetap tumbuh dengan menyalurkan sumber daya kepada kelompok yang membutuhkan. Melalui program tersebut, pemerintah berupaya memfasilitasi akses kredit, menekan hambatan likuiditas, dan menjaga agar aktivitas ekonomi rumah tangga maupun dunia usaha tidak mengalami stagnasi berkepanjangan. Program pemerintah juga didefinisikan sebagai seperangkat instrumen kebijakan yang memadukan fungsi regulasi, fiskal, dan moneter untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah gejolak yang terjadi. Manfaat dari program pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi sangat signifikan. Ketika masyarakat berpenghasilan rendah memperoleh subsidi perumahan, atau ketika koperasi mendapat dukungan kredit melalui skema khusus, efek penggandanya menyebar ke berbagai sektor. Penyaluran kredit perbankan meningkat, sektor konstruksi bergerak, tenaga kerja terserap, dan konsumsi rumah tangga tetap terjaga. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi makro, belanja pemerintah dan program insentif mendorong permintaan agregat sehingga menjaga laju produk domestik bruto. Bahkan di saat ketidakpastian global, peran program pemerintah dapat menahan perlambatan ekonomi dengan memberikan jaminan terhadap keberlanjutan aktivitas dunia usaha. Hal ini terlihat pada perluasan kuota rumah bersubsidi melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang meningkat dari 220.000 unit di 2025 menjadi 350.000 unit di 2026, yang diharapkan memperbesar ruang pertumbuhan kredit pemilikan rumah bersubsidi.
Hubungan antara program pemerintah dan penyaluran kredit juga sangat erat. Program subsidi perumahan misalnya, membuat bank lebih percaya diri menyalurkan pembiayaan karena risiko dapat ditekan. Selain itu, program koperasi yang didukung pemerintah memperkuat posisi lembaga keuangan mikro sehingga masyarakat kecil memiliki alternatif akses pembiayaan. Namun, data terbaru menunjukkan pertumbuhan kredit nasional mengalami perlambatan, dari 7,77% pada Juni 2025 menjadi 7,03% pada Juli 2025. Perlambatan ini menandakan adanya tantangan struktural, di mana permintaan kredit tidak sejalan dengan pertumbuhan simpanan. Dengan demikian, intervensi pemerintah diperlukan agar aliran dana tidak tersendat dan fungsi intermediasi perbankan tetap berjalan optimal. Sayangnya, di tengah berbagai upaya tersebut, menurunnya daya beli masyarakat menjadi fenomena yang berpotensi menghambat efektivitas program pemerintah. Badan Pusat Statistik mencatat deflasi bulanan sebesar 0,08% pada Agustus 2025, yang diinterpretasikan sebagai indikasi melemahnya permintaan rumah tangga. Deflasi ini terjadi terutama pada komoditas non-pokok, menunjukkan bahwa konsumen mulai mengurangi belanja. Ketika konsumsi masyarakat melemah, kemampuan mereka untuk membayar cicilan kredit juga menurun. Dampaknya terlihat pada meningkatnya rasio kredit bermasalah, khususnya pada segmen kredit pemilikan rumah yang mencapai 3,24% per Mei-Juni 2025, angka tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan puncak pandemi 2020, menandakan bahwa tekanan daya beli memiliki korelasi langsung dengan kualitas kredit perbankan.
Fenomena gap muncul ketika di satu sisi pemerintah menggenjot program penyaluran kredit sebagai instrumen pemulihan, tetapi di sisi lain masyarakat mengalami keterbatasan daya beli yang menyebabkan kredit bermasalah meningkat. Program subsidi dan penjaminan memang memperluas akses pembiayaan, namun tanpa daya dukung konsumsi yang kuat, risiko gagal bayar tetap tinggi. Perbankan menghadapi dilema: menjaga target pertumbuhan kredit sekaligus mengendalikan rasio kredit bermasalah. Sementara itu, stabilitas sistem keuangan dituntut tetap terjaga, sebab peningkatan kredit bermasalah akan menekan profitabilitas bank dan melemahkan intermediasi. Gap ini menunjukkan perlunya strategi integratif agar program pemerintah tidak hanya berfokus pada perluasan akses kredit, melainkan juga memperkuat kapasitas pembayaran masyarakat. Lebih lanjut, melambatnya perekonomian masyarakat menimbulkan persoalan kompleks. Pertumbuhan kredit pemilikan rumah yang sebelumnya dua digit kini melandai ke single digit sepanjang 2025, menandakan menurunnya minat maupun kemampuan membeli rumah. Rumah tangga segmen menengah ke bawah, yang seharusnya menjadi sasaran utama subsidi perumahan, justru paling terdampak oleh pemutusan hubungan kerja dan penurunan konsumsi. Hal ini memperlihatkan bahwa program pemerintah yang mendorong penyaluran kredit tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan jika daya beli masyarakat tetap melemah. Dalam jangka panjang, perlambatan konsumsi rumah tangga bisa menghambat investasi swasta, memperdalam deflasi, dan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif. Program pemerintah harus dirancang tidak hanya untuk memperbesar kuota kredit, tetapi juga untuk memperkuat kapasitas ekonomi masyarakat. Skema kredit dengan bunga rendah, penjaminan pemerintah bagi usaha kecil, dan pemberian subsidi tepat sasaran dapat meningkatkan daya beli. Selain itu, peran sektor riil harus diperkuat melalui insentif yang mendorong penciptaan lapangan kerja baru. Penyaluran kredit ke sektor riil menjadi kunci, sebab aktivitas produktif dapat menciptakan multiplier effect yang lebih luas dibandingkan hanya menyalurkan kredit konsumtif. Strategi ini diharapkan mampu memutus lingkaran masalah: perlambatan ekonomi menurunkan daya beli, daya beli rendah meningkatkan kredit bermasalah, dan kredit bermasalah menekan penyaluran kredit selanjutnya. Rumusan masalah yang dapat diturunkan dari fenomena di atas mencakup beberapa pertanyaan mendasar. Pertama, bagaimana konsep dan definisi program pemerintah yang dirancang untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui penyaluran kredit? Kedua, apa manfaat program pemerintah tersebut bagi perekonomian nasional, khususnya dalam konteks peningkatan konsumsi dan investasi? Ketiga, bagaimana hubungan antara program pemerintah dengan penyaluran kredit perbankan di tengah kondisi daya beli masyarakat yang menurun? Keempat, bagaimana keterkaitan antara melemahnya daya beli dan perlambatan ekonomi dengan efektivitas program pemerintah dalam menekan risiko kredit bermasalah? Kelima, strategi apa yang dapat dikembangkan melalui program pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya melalui penyaluran kredit pada sektor riil agar memberikan manfaat ekonomi yang berkelanjutan?
Selajutnya, dengan mengkaji pertanyaan-pertanyaan tersebut, artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memahami peran program pemerintah sebagai katalis penyaluran kredit sekaligus mitigasi terhadap risiko kredit bermasalah. Fokus utama penelitian adalah menemukan keseimbangan antara dorongan pemerintah terhadap intermediasi perbankan dan kemampuan masyarakat untuk menyerap kredit dengan sehat. Hasil kajian tidak hanya relevan untuk penguatan kebijakan fiskal dan moneter, tetapi juga penting bagi strategi pembangunan jangka panjang, di mana daya beli masyarakat menjadi fondasi utama pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
KONSEP DAN DEFINISI DARI PROGRAM PEMERINTAH
Konsep program pemerintah dapat dipahami sebagai instrumen kebijakan yang dirancang secara terstruktur untuk mencapai tujuan pembangunan, menjaga stabilitas ekonomi, dan memperkuat kesejahteraan masyarakat. Program ini tidak hanya diwujudkan dalam bentuk pengeluaran anggaran negara, tetapi juga dalam berbagai bentuk dukungan lain seperti subsidi, jaminan kredit, insentif fiskal, regulasi, dan penyediaan fasilitas pembiayaan. Esensi dari program pemerintah adalah memberikan katalis bagi aktivitas ekonomi, sehingga sektor riil maupun sektor keuangan dapat bergerak lebih cepat dibandingkan jika hanya mengandalkan mekanisme pasar. Definisi ini menekankan peran program pemerintah sebagai intervensi yang memperbaiki distorsi, mengurangi hambatan, dan mendorong partisipasi ekonomi dari kelompok masyarakat yang rentan tertinggal. Fenomena turunnya daya beli masyarakat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa pentingnya peran program pemerintah. Deflasi yang tercatat sebesar 0,08 persen pada Agustus 2025 menggambarkan lemahnya permintaan rumah tangga. Meskipun angka deflasi terlihat kecil, dampaknya signifikan karena mencerminkan menurunnya kemampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan, terutama di luar komoditas pokok. Konsumsi yang menurun berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, ketika masyarakat kesulitan membiayai kebutuhan sehari-hari, kemampuan mereka membayar cicilan kredit pun melemah. Hal ini terbukti dari meningkatnya rasio kredit bermasalah pada sektor kredit pemilikan rumah, yang mencapai level tertinggi dalam empat tahun terakhir. Kondisi ini memberi sinyal bahwa desain program pemerintah tidak cukup hanya memperluas akses pembiayaan, tetapi juga harus memperhatikan daya dukung konsumsi dan kemampuan bayar masyarakat.
Selanjutnya, pemerintah berusaha merespons kondisi ini dengan meluncurkan berbagai program, salah satunya melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan. Peningkatan kuota rumah bersubsidi dari 220.000 unit pada 2025 menjadi 350.000unit pada 2026 merupakan contoh nyata bagaimana program pemerintah digunakan untuk menjaga momentum pertumbuhan di sektor properti. Intervensi ini diharapkan dapat memperluas kesempatan masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah, sekaligus mendorong perbankan menyalurkan kredit dalam jumlah lebih besar. Dalam konteks ini, konsep program pemerintah terlihat jelas: ia berperan sebagai penghubung antara kepentingan masyarakat yang membutuhkan akses perumahan dan kepentingan bank yang memerlukan jaminan agar pembiayaan yang disalurkan tetap aman. Selain sektor perumahan, pemerintah juga mendorong pembiayaan koperasi sebagai bagian dari program strategis. Koperasi memiliki peran penting dalam menopang perekonomian masyarakat menengah ke bawah, sehingga dukungan kredit bagi koperasi melalui kebijakan perbankan menjadi salah satu langkah katalis. Dengan adanya dukungan ini, koperasi dapat meningkatkan kapasitas usaha, membuka lapangan kerja baru, dan memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga. Konsep program pemerintah dalam hal ini bukan hanya menyediakan dana, melainkan menciptakan ekosistem agar lembaga keuangan dan masyarakat kecil saling terhubung dalam aktivitas produktif.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan. Pertumbuhan kredit nasional mengalami perlambatan, dari 7,77 persen pada Juni 2025 menjadi 7,03 persen pada Juli 2025. Perlambatan ini menandakan adanya tantangan struktural, di mana simpanan masyarakat terus tumbuh tetapi permintaan kredit tidak seimbang. Hal ini dapat dipahami, sebab melemahnya daya beli membuat masyarakat ragu mengambil kredit baru. Fenomena ini memperlihatkan bahwa meskipun program pemerintah sudah digulirkan, efektivitasnya sangat bergantung pada kondisi fundamental perekonomian. Oleh karenanya, pengalaman negara lain memberikan pelajaran tambahan. Di Kolombia, program subsidi perumahan dan jaminan kredit parsial terbukti memperbaiki kualitas hidup penerima meski tidak sepenuhnya membuka akses ke kredit formal bagi kelompok berpenghasilan rendah. Kendala utama tetap berasal dari rendahnya pendapatan dan keterbatasan agunan, sehingga subsidi atau jaminan saja tidak cukup untuk memperluas partisipasi dalam pasar kredit. Pengalaman ini relevan bagi Indonesia, karena menunjukkan bahwa desain program pemerintah harus mempertimbangkan faktor struktural yang membatasi kemampuan masyarakat untuk membayar. Studi lain menunjukkan bahwa program penjaminan kredit pemerintah pada usaha kecil di berbagai negara mampu mengurangi hambatan asimetri informasi antara pemberi pinjaman dan peminjam. Dengan adanya jaminan, bank lebih berani menyalurkan kredit pada kelompok berisiko tinggi. Hal ini menurunkan biaya bunga, memperluas akses pembiayaan, dan pada akhirnya mendorong penciptaan lapangan kerja serta peningkatan pendapatan.