Mohon tunggu...
Nurhalia Manullang
Nurhalia Manullang Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswi Universitas Pelita Harapan

Make Your Own Mark Menulis Menulis dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka di Kala Senja

22 September 2018   09:32 Diperbarui: 22 September 2018   09:54 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Air mata terus membanjiri pipiku. Setelah lima tahun berlalu aku tak bisa melupakannya. Rasa sakit kembali terasa saat memandang foto berbingkai rapi di dinding kamarku. Foto itu terlihat bahagia, sebab ada aku dengan pria berbadan tinggi, putih, matanya coklat.

Tampak ia menggenggam tanganku, sedangkan kepalaku bersandar di bahunya. Dada ini terasa sesak jika aku memutar memori cinta bersamanya. Cinta memang sulit dimengerti. Ia pergi meninggalkan luka yang membekas di hati.

**

Brukkkk...

"Maaf..maaf," kata seorang lelaki bertampang rapi sembari memungut bukuku yang berjatuhan.

"Lain kali hati-hati dong! Udah tau gue telat pake nabrak segala," protesku kesal lalu membersihkan serpihan debu yang menempel di bukuku.

"Sekali lagi saya minta maaf." Sahutnya tersenyum sinis lalu pergi.

"Dasar!"

Postur tubuh yang tinggi itu segera berbalik meninggalkanku dengan menenteng tas hitam serta buku tebal. Aku berlari menuju kelas mahasiswa jurusan Pendidkan Bahasa Indonesia UNIMED. Dua menit lagi kelas Linguistik Umum dari pak Peter akan dimulai. Kalau sampai aku telat bisa jadi aku tidak dibolehin masuk kayak dulu.

"Cia, kok lama? Telat bangun atau nonton film Korea ya semalam?" tanya Felix, sahabatku sejak SMP hingga sekarang.

"Apaan sih? Gue lagi bete ajah. Habis tadi malam papa marah-marah mulu karena melihat IPK gue rendah banget. So, sebenarnya gue malas masuk kelas hari ini. Tapi mama maksa, terpaksa gue nurut.

"lo sih! Pak Peter bilang mau UAS, gak ada niat mau belajar. Udah rasa kan gimana? Gara-gara nilai dari pak Peter nilai lu menurun drastis." Kata Felix mengingatkan kebodohanku dulu.

"Ya, harus gimana? Aku tidak bisa memaksa diri, dari dulu aku tidak mau jadi guru. Maunya pemain musik." gumamku dalam hati.

"Hei..mulutnya di kunci dong! Sepertinya pak Peter hendak ke mari." Perintah Mija, gadis tomboi sekaligus terheboh di kelas. Aku sedikit kesal dengannya yang sering mengerjaiku.

Suasana kelas yang riuh dan ramai menjadi hening seketika setelah seorang laki-laki muda masuk dari pintu.

"Selamat pagi semua!" sapa suara itu dari depan.

"Pagi Pak!" jawab mahasiswa serentak kecuali diriku yang dari tadi hanya tertunduk malu. Why not? Karena dia adalah laki-laki yang kutabrak sekaligus menerima omelanku. Sekilas aku melihat mata coklatnya melirikku tersenyum sinis.

"Halo semua! Saya Patrick, panggil saja Erik. Saya akan mengajar kelas Linguistik Umum menggantikan pak Peter yang sudah pensiun. Ada pertanyaan?" tanyanya basa-basi. Aku baru ingat kalau pak Peter pernah bilang ia akan pensiun.

"Saya pak. Sahut Mija mengacungkan telunjuknya ke atas.

"Silahkan."

"Begini pak, sepertinya Cia mau minta nomor Handphone bapak!" sahut Mija tertawa terbahak-bahak memandangiku. Ia memang brengsek. Hobinya ganggu orang terus. Aku tidak berani berkutat sebab pikiranku teringat kejadian tadi pagi. Sungguh memalukan.

Terdengar anak-anak serentak  memandang ke arahku.

"Mau lo apa sih?" prostesku kesal sembari memegang pipiku yang memerah.

"Cia, lo kenapa? Ledek balik tuh si Mija, " pinta Felix terlihat kesal juga.

Dengan langkah perlahan pak Erik menghampiri kursiku.

"Cia?? Oh, namamu Cia." Katanya sembari mengangguk-anggukkan lehernya lalu berjalan ke depan kelas lagi. Dia terkesan sombong dan cuek.

"Semuanya berhenti bersikap konyol. Kalian mahasiswa semester 7, tentunya sudah dewasa. So, jangan bertingkah seperti anak-anak. Baiklah, kita akan melanjutkan materi dari pak Peter mengerjakan karya ilmiah." Sahutnya sembari memegang spidol, lalu menulis di papan.

"Hmmm..lebay kali. Sok dewasa aja. Ia juga masih muda, tidak jauh beda dari kami. Hanya beda antara dosen dan mahasiswa." Batinku.

Selama mengajar, ia tampak serius dan mengabaikan gadis-gadis di sampingku yang tersenyum kagum memandanginya. Si jenius itu sepertinya disukai banyak gadis di kelas. Lalu ia meninggalkan kelas.

"Guis, almet pak Erik ketinggalan. Siapa yang mau kasih nih," seru Gladis berusaha menyodorkan almet itu pada anak-anak yang lain.

"Cia...Cia...Cia.." usul Mija. Lagi-lagi ia tidak bosan mengerjaiku.

"Apaan sih lu? Dari tadi kurang ajar banget. Lu yang antar sana!" elakku marah.

Sayangnya, seisi kelas malah riuh menyuruhku mengembalikannya. Dengan kesal dan berat hati aku berjalan keluar. Terlihat pak Erik sedang berjalan menuju kantin kampus.

"Pak..pak...pak Erik!" teriakku sembari berlari. Namun ia tidak mendengar. Ini dosen pura-pura tuli atau memang tuli sih?" batinku kesal.

Tiba-tiba saja....

Bukkk...aku terpeleset di lantai. Untung tidak ada mahasiswa yang lalu lalang kalau tidak aku akan mendapat ejekan lagi.

"Hei, Cia. Kamu tidak apa-apa?" terdengar suara pak Erik. Tangannya sembari membersihkan debu yang menempel di bajuku.

"Aduh! Ti..tidak apa-apa pak" jawabku gugup sambil berdiri. "Aku hanya mau kasih ini!" Kataku lalu mengembalikan jas hitam miliknya.

"Oh iya. Saya kelupaan. Terima kasih ya" balasnya tersenyum manis. Ya, ampun hanya melihat senyumannya sudah membuat jantung berdebar gak karuan.

"P..pak..saya minta maaf atas sikap saya yang tidak sopan tadi pagi. Saya hanya beranggapan kalau bapak bukan dosen saya. Eh..sekali lagi maaf ya pak?" pintaku berharap dimaafkan.

"Hmm...sudah, lupakan saja. saya memang sering mendapat kejadian seperti itu. Saya pergi dulu" jawabnya tersenyum lagi lalu meninggalkanku.

"Habis, bapak terlalu muda sih jadi dosen." batinku dalam hati tersenyum.

Sejak saat itu aku penasaran dengan pak Erik dan menggali informasi sebanyak-banyaknya tentangnya. Ternyata ia si jenius itu lulusan termuda dari UGM kelahiran 1992. Pantesan aja, usianya masih 26 tahun sudah menjadi dosen. Untunglah, ia hanya lebih tua empat tahun dariku.

Tidak terasa sudah tiga bulan dia mengajar. Tak dapat kubohongi kalau aku merasa nyaman di dekatnya apalagi dia adalah dosen pembimbingku, hampir setiap hari aku bertemu dan menanyakan tugas padanya. Bagaimana mungkin benih cinta ini tidak muncul. Namun aku tidak tahu dengan dia. Dia membantuku menyukai jurusanku dan mengembangkan hobi bermain musik. Satu hal lagi dia membuatku takut kehilangannya.

"Cia, barangkali judul yang ini perlu diganti. Nanti kasih sama saya lagi." Katanya sembari memegang lembaran kertas skripsiku.

"Iya pak. Nanti kuganti lagi." Jawabku dengan nada memelas. Aku memang sudah merasa lelah dengan semua ini. Untungnya ia sabar mengajariku.

"Cia, kita makan dulu yuk!" ajaknya sembari menarik tanganku ke arah sebuah cafe tree. Perasaan gugup dan senang bercampur aduk di dadaku.

"Tetap semangat ya, kamu pasti bisa menyelesaikannya. Saya dulu juga seperti kamu. Tapi akhirnya bisa kan?" nasihatnya sambil mengaduk jus dengan sedotan di tangannya.

"Makasih pak. Terima kasih selama ini selalu sabar mengajariku." Jawabku lalu menyeruput jus orange di depanku.

"Panggil Erik saja. Rasanya terlalu kaku dan terdengar tua jika kamu panggil aku Bapak terus."

"Iya, E..Erik." kataku dengan nada terputus-putus.

"Ada sesuatu buatmu. Tapi dibuka kalau kita udah pulang ya," Katanya tersenyum lalu menyodorkan kotak berwarna coklat padaku.

"Ini apa? Kenapa?" tanyaku heran.

"Cia, aku pasti merindukanmu. Kau gadis yang baik. Terima kasih telah membuatku lebih lega dan takut kehilanganmu." Katanya dengan nada serius memegang tanganku.

"Ma..maksudmu apa Erik?" tanyaku penasaran. Apa itu artinya ia menyukaiku? Ia tidak ngomong hanya senyuman dan kecupan hangat melintas di dahiku.

Setibanya di rumah buru-buru kubuka kotak itu. Berisi sebuah boneka dan sepucuk surat diselipkan di dalamnya. Perlahan air mata menetes di pipiku. Inikah maksud dari kecupan tadi?

Ia sudah berangkat ke Singapura setelah dari cafe untuk menemui gadis yang dijodohkan orang tuanya. Aku menangis memeluk erat boneka itu. Ia mampir di hatiku hanya meninggalkan luka di kala senja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun