Namanya tidak asing lagi di telingaku. Setiap kali kueja namanya di depan layar komputer, mataku tiba-tiba gatal. Rasanya ingin segera memburu lima huruf itu di antara ribuan lembar nama di layar maya.
Hari ini di mejaku ada secarik kertas putih. Lalu kubaca tulisan pendek itu , "Titip rindu buat Rindu". Dahiku mengernyit, batinku bertanya apa sih maksudnya? Rindu tak pernah punya maksud. Rindu bukan barang titipan seperti di supermarket kota.
Lalu sesudah hari itu, rindu belum juga kutemukan. Mataku makin gatal, pandanganku makin kesal. Tidurku jadi dangkal melelahkan. Memikirkan Rindu membuatku ragu pada barang titipan ibuku.
Ibuku bilang, namanya tidak asing lagi di puisimu. "Nak, di dalam puisimu kau selalu titipkan rindu pada bulan dan senja" Aku diam sejenak mengingat puisiku. Tak beberapa lama aku sadar, ternyata dia itu penjual rindu. Ketika aku sendirian di dermaga mencari jejak perahuMu pada senja.
Tiba-tiba seorang mengetuk pintu rumahku. "Permisi pak, ini ada paket dari mbak Rindu. Pesannya jangan dibanting. Barangnya mudah pecah Pak" Sejenak aku terpana, menatap rindu itu di depan mataku. Untuk aku kah? Lalu kubaca pengirimnya. "Pengirim, Penjual rindu dari kota M"
Kuterima paket itu dan kubuka pelan-pelan hingga senja mendekapku dari balik Gunung.
07.09.2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI