Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fragmentasi Solidaritas dalam Aktivisme Gen Z

19 September 2025   07:01 Diperbarui: 19 September 2025   07:39 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun terakhir, kita sering melihat bagaimana generasi muda, khususnya Gen Z, begitu aktif menggerakkan isu-isu sosial. Mulai dari kampanye lingkungan, kesetaraan gender, hingga hak-hak minoritas, semua menjadi bagian dari narasi besar yang mereka gaungkan di media sosial. 

Tidak jarang, sebuah tagar yang diciptakan Gen Z bisa mengguncang ruang publik dan menarik perhatian banyak pihak. Inilah salah satu alasan mengapa mereka kerap disebut sebagai generasi paling vokal dalam sejarah modern.

Namun, di balik semaraknya gerakan digital yang mereka bangun, muncul pertanyaan yang menggelitik: apakah solidaritas yang mereka tunjukkan benar-benar kokoh? 

Banyak aksi yang cepat naik ke permukaan, tetapi kemudian tenggelam tanpa kelanjutan yang jelas. Fenomena ini menimbulkan kesan bahwa ada semacam fragmentasi solidaritas di dalam aktivisme Gen Z.

Pertanyaan ini menjadi relevan karena aktivisme sejatinya membutuhkan konsistensi dan keberlanjutan. Jika solidaritas hanya muncul saat isu sedang hangat, bagaimana nasib perjuangan jangka panjang yang seharusnya diusung? Inilah tantangan besar yang kini sedang dihadapi generasi ini.

Latar Belakang Fenomena

Gen Z dikenal sebagai generasi yang lahir dalam era digital, sehingga tidak mengherankan jika aktivisme mereka banyak berkembang melalui ruang maya. Media sosial menjadi alat utama untuk menyuarakan kepedulian. 

Misalnya, gerakan #BlackLivesMatter di Amerika Serikat mendapat dukungan luas dari Gen Z di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, meskipun isu itu berakar dari konteks lokal yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa batas geografis tidak lagi menjadi penghalang solidaritas.

Di Indonesia, Gen Z juga kerap menjadi motor penggerak dalam demonstrasi atau kampanye digital. Misalnya, dalam aksi menolak pengesahan UU Cipta Kerja pada 2020, banyak mahasiswa dan pelajar yang memanfaatkan media sosial untuk mengedarkan infografis, ajakan turun ke jalan, hingga dokumentasi aksi. Solidaritas yang terbangun begitu cepat karena kemudahan komunikasi digital.

Namun, kemudahan ini juga menimbulkan persoalan baru. Solidaritas yang dibangun lewat platform digital sering kali bersifat instan. Antusiasme yang besar di awal tidak selalu berbanding lurus dengan komitmen untuk terus mengawal isu hingga tuntas. Banyak gerakan yang akhirnya hanya berakhir di trending topic tanpa langkah nyata selanjutnya.

Fenomena ini sering disebut sebagai slacktivism, yaitu aktivisme yang hanya terbatas pada tindakan mudah dan minim risiko, seperti memberi like, membagikan unggahan, atau mengubah foto profil. 

Menurut penelitian Nielsen (2021), sebanyak 64% Gen Z di Asia Tenggara mengaku pernah ikut serta dalam gerakan sosial secara online, tetapi hanya 17% yang benar-benar terlibat dalam aksi offline. Data ini menggambarkan adanya jurang antara solidaritas digital dan aksi nyata.

Selain itu, Gen Z juga membawa karakteristik yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka cenderung lebih individualis dalam mengekspresikan pendapat, meskipun dalam konteks kolektif. Hal ini kadang membuat gerakan yang mereka bangun lebih fokus pada visibilitas personal dibanding substansi isu. Perbedaan orientasi ini berpotensi memecah konsistensi solidaritas dalam jangka panjang.

Latar belakang inilah yang menjadikan fragmentasi solidaritas sebuah isu yang menarik untuk dikaji. Aktivisme Gen Z memang penuh semangat, tetapi apakah semangat itu mampu menyatukan mereka dalam perjuangan berkelanjutan atau justru memperlihatkan retakan-retakan baru?

Solidaritas yang Mulai Retak

Ketika kita berbicara tentang solidaritas, yang terbayang adalah kebersamaan dan komitmen untuk berjuang bersama. Namun, dalam praktiknya, solidaritas Gen Z sering kali tampak rapuh. Banyak gerakan sosial yang mereka gaungkan mengalami penurunan dukungan hanya dalam hitungan minggu. Fenomena ini menunjukkan adanya keterbatasan daya tahan solidaritas.

Salah satu penyebab retaknya solidaritas adalah perbedaan isu prioritas. Gen Z dikenal peduli pada banyak hal sekaligus, mulai dari lingkungan, pendidikan, kesehatan mental, hingga politik. Namun, kepedulian yang terlalu tersebar ini membuat fokus mereka terpecah. Ketika ada isu baru yang lebih menarik perhatian, dukungan terhadap isu lama perlahan memudar.

Selain itu, algoritma media sosial juga berperan besar dalam membentuk fragmentasi. Isu-isu yang dianggap menarik oleh algoritma akan lebih sering muncul di linimasa, sementara isu lain terpinggirkan. Akibatnya, solidaritas yang terbentuk sering kali ditentukan oleh popularitas, bukan oleh urgensi masalah.

Ego sektoral antar komunitas juga menjadi faktor lain. Meskipun banyak komunitas Gen Z mengusung tema inklusif, realitasnya tidak selalu demikian. Terkadang, kelompok-kelompok ini saling bersaing untuk mendapatkan pengakuan atau sorotan publik, sehingga kerja sama menjadi sulit terjalin.

Di sisi lain, ada kecenderungan bahwa solidaritas lebih banyak diarahkan pada pencitraan. Aksi sosial yang diunggah di media sosial sering kali digunakan sebagai bentuk branding personal. Ini tidak salah, tetapi jika motivasi utama bergeser ke arah popularitas, maka solidaritas sejati berisiko terkikis.

Tidak jarang pula, perbedaan pandangan internal membuat solidaritas semakin terfragmentasi. Misalnya, ada kelompok yang lebih memilih jalur demonstrasi langsung, sementara kelompok lain merasa kampanye digital sudah cukup. Perbedaan strategi ini bisa menimbulkan ketegangan.

Semua faktor ini menggambarkan bahwa solidaritas Gen Z memang ada, tetapi kualitas dan daya tahannya masih sering dipertanyakan. Retakan-retakan kecil ini lama-kelamaan bisa menjadi celah besar yang melemahkan perjuangan mereka.

Contoh Kasus Konkret

Salah satu contoh nyata bisa dilihat dari aksi menolak Omnibus Law pada 2020. Gerakan ini pada awalnya menyatukan banyak mahasiswa dan pelajar dalam satu solidaritas besar. Namun, setelah gelombang demonstrasi menurun, perhatian publik pun ikut meredup. Beberapa kelompok masih melanjutkan perjuangan, tetapi tidak lagi dengan dukungan masif seperti di awal.

Contoh lain datang dari kampanye lingkungan seperti Fridays for Future yang dipopulerkan Greta Thunberg. Gen Z di berbagai negara, termasuk Indonesia, sempat berbondong-bondong turun ke jalan untuk menyuarakan krisis iklim. Namun, gerakan ini juga mengalami dinamika serupa: solidaritas awal yang besar perlahan terfragmentasi karena perbedaan fokus antarnegara.

Di Indonesia sendiri, kampanye Save KPK juga sempat menggema. Banyak Gen Z yang menggaungkan tagar di media sosial untuk mendukung lembaga antikorupsi tersebut. Tetapi, ketika isu lain muncul, perhatian terhadap KPK pun surut. Solidaritas yang tadinya kuat akhirnya terpecah.

Hal serupa terlihat dalam isu kesehatan mental. Gen Z sangat vokal memperjuangkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, terutama selama pandemi Covid-19. Namun, gerakan ini sering kali berhenti pada kampanye digital tanpa langkah nyata dalam mendorong kebijakan publik. Solidaritas yang terbentuk lebih bersifat emosional ketimbang struktural.

Di luar negeri, kita bisa melihat bagaimana gerakan pro-demokrasi di Hong Kong juga mendapat dukungan dari Gen Z internasional. Namun, tidak semua dukungan ini konsisten. Ketika isu lain lebih mendominasi pemberitaan global, solidaritas internasional pun terpecah.

Fenomena ini menguatkan dugaan bahwa solidaritas Gen Z sering kali bersifat situasional. Ia bisa sangat kuat pada satu momentum, tetapi cepat melemah ketika momentum itu hilang.

Dari contoh-contoh tersebut, jelas bahwa fragmentasi solidaritas bukan sekadar teori, melainkan realitas yang berulang dalam berbagai gerakan sosial Gen Z.

Dampak Fragmentasi

Fragmentasi solidaritas membawa dampak serius bagi keberlanjutan gerakan sosial. Pertama, gerakan yang cepat melemah akan sulit menghasilkan perubahan nyata. Misalnya, tuntutan yang diajukan tidak akan berpengaruh jika hanya diikuti dengan aksi sporadis. Perubahan kebijakan membutuhkan konsistensi, bukan hanya euforia sesaat.

Kedua, fragmentasi menurunkan kepercayaan antar-aktivis. Ketika sebagian kelompok merasa ditinggalkan oleh kelompok lain, muncul rasa kecewa yang bisa memicu perpecahan lebih dalam. Hal ini memperlemah jaringan solidaritas yang seharusnya menjadi fondasi gerakan sosial.

Ketiga, fokus pada popularitas di media sosial dapat menggeser perhatian dari substansi isu. Aktivisme lebih dilihat sebagai ajang branding personal ketimbang perjuangan kolektif. Akibatnya, gerakan kehilangan kekuatan moral yang seharusnya menjadi pijakan utama.

Keempat, fragmentasi membuat gerakan rentan ditunggangi kepentingan politik tertentu. Jika solidaritas internal rapuh, aktor eksternal lebih mudah masuk untuk memanfaatkan situasi demi agenda mereka sendiri.

Kelima, publik juga bisa menjadi skeptis terhadap gerakan Gen Z. Ketika mereka melihat banyak gerakan yang hanya hangat di awal, kepercayaan publik terhadap keseriusan generasi ini bisa berkurang. Skeptisisme ini pada akhirnya mengurangi dukungan yang sangat dibutuhkan untuk menguatkan gerakan.

Keenam, fragmentasi juga menghambat transfer pengalaman antar generasi. Padahal, aktivisme yang berkelanjutan membutuhkan kerja sama lintas generasi. Jika solidaritas internal Gen Z saja rapuh, bagaimana mereka bisa membangun jembatan dengan generasi yang lebih tua?

Ketujuh, dampak fragmentasi juga terasa dalam aspek psikologis. Banyak anak muda yang mengalami burnout atau kelelahan aktivisme karena merasa perjuangan mereka tidak pernah berbuah hasil nyata. Hal ini bisa membuat mereka mundur dan apatis.

Kedelapan, dalam jangka panjang, fragmentasi mengancam eksistensi aktivisme inklusif itu sendiri. Jika solidaritas tidak diperkuat, maka inklusivitas hanya menjadi slogan tanpa makna yang sesungguhnya.

Refleksi dan Harapan

Meski banyak tantangan, fragmentasi solidaritas bukanlah akhir dari segalanya. Justru, fenomena ini bisa menjadi bahan refleksi penting bagi Gen Z untuk mengevaluasi cara mereka beraktivisme. Apakah mereka ingin tetap terjebak dalam siklus solidaritas instan, atau berkomitmen membangun gerakan yang lebih berkelanjutan?

Salah satu hal yang perlu diperkuat adalah konsistensi. Gen Z perlu belajar bahwa perubahan sosial membutuhkan waktu panjang. Tidak cukup hanya dengan kampanye digital, tetapi juga harus ada tindak lanjut dalam bentuk advokasi, pendidikan masyarakat, dan dialog dengan pemangku kebijakan.

Selain itu, penting untuk membangun solidaritas berbasis nilai, bukan sekadar momen. Nilai seperti keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan harus menjadi fondasi bersama yang tidak lekang meski isu berganti. Dengan begitu, solidaritas bisa bertahan lebih lama.

Kolaborasi antar komunitas juga perlu ditingkatkan. Alih-alih bersaing untuk popularitas, mereka bisa saling melengkapi kekuatan. Misalnya, kelompok yang fokus pada kampanye digital bisa bekerja sama dengan kelompok yang bergerak di lapangan.

Gen Z juga perlu membuka diri terhadap generasi sebelumnya. Meski sering dianggap kuno, generasi tua memiliki pengalaman panjang dalam perjuangan sosial. Pertukaran pengetahuan lintas generasi dapat memperkuat gerakan.

Akhirnya, refleksi ini bukan hanya untuk Gen Z, tetapi juga untuk masyarakat luas. Dukungan dari orang tua, institusi pendidikan, dan media sangat dibutuhkan agar energi aktivisme Gen Z tidak padam di tengah jalan.

Penutup

Fragmentasi solidaritas dalam aktivisme Gen Z memang nyata adanya. Namun, retakan ini bukanlah alasan untuk meremehkan mereka. Justru di balik retakan itu, ada peluang besar untuk membangun gerakan yang lebih matang dan berkelanjutan.

Solidaritas Gen Z akan diuji bukan pada saat mereka ramai di timeline, tetapi ketika mereka mampu bertahan setelah sorotan publik meredup. Inilah ujian sejati yang akan menentukan apakah aktivisme mereka hanya tren sesaat atau gerakan yang membawa perubahan nyata.

Sebagai generasi yang tumbuh dalam keterhubungan global, Gen Z memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan. Tetapi potensi itu hanya bisa terwujud jika mereka mampu mengatasi fragmentasi yang kini membayangi.

Lalu, pertanyaannya kembali pada kita semua: apakah kita siap mendukung Gen Z melewati fragmentasi ini, atau kita hanya akan menonton dari jauh ketika solidaritas mereka runtuh satu demi satu?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun