Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fragmentasi Solidaritas dalam Aktivisme Gen Z

19 September 2025   07:01 Diperbarui: 19 September 2025   07:39 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Contoh lain datang dari kampanye lingkungan seperti Fridays for Future yang dipopulerkan Greta Thunberg. Gen Z di berbagai negara, termasuk Indonesia, sempat berbondong-bondong turun ke jalan untuk menyuarakan krisis iklim. Namun, gerakan ini juga mengalami dinamika serupa: solidaritas awal yang besar perlahan terfragmentasi karena perbedaan fokus antarnegara.

Di Indonesia sendiri, kampanye Save KPK juga sempat menggema. Banyak Gen Z yang menggaungkan tagar di media sosial untuk mendukung lembaga antikorupsi tersebut. Tetapi, ketika isu lain muncul, perhatian terhadap KPK pun surut. Solidaritas yang tadinya kuat akhirnya terpecah.

Hal serupa terlihat dalam isu kesehatan mental. Gen Z sangat vokal memperjuangkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan mental, terutama selama pandemi Covid-19. Namun, gerakan ini sering kali berhenti pada kampanye digital tanpa langkah nyata dalam mendorong kebijakan publik. Solidaritas yang terbentuk lebih bersifat emosional ketimbang struktural.

Di luar negeri, kita bisa melihat bagaimana gerakan pro-demokrasi di Hong Kong juga mendapat dukungan dari Gen Z internasional. Namun, tidak semua dukungan ini konsisten. Ketika isu lain lebih mendominasi pemberitaan global, solidaritas internasional pun terpecah.

Fenomena ini menguatkan dugaan bahwa solidaritas Gen Z sering kali bersifat situasional. Ia bisa sangat kuat pada satu momentum, tetapi cepat melemah ketika momentum itu hilang.

Dari contoh-contoh tersebut, jelas bahwa fragmentasi solidaritas bukan sekadar teori, melainkan realitas yang berulang dalam berbagai gerakan sosial Gen Z.

Dampak Fragmentasi

Fragmentasi solidaritas membawa dampak serius bagi keberlanjutan gerakan sosial. Pertama, gerakan yang cepat melemah akan sulit menghasilkan perubahan nyata. Misalnya, tuntutan yang diajukan tidak akan berpengaruh jika hanya diikuti dengan aksi sporadis. Perubahan kebijakan membutuhkan konsistensi, bukan hanya euforia sesaat.

Kedua, fragmentasi menurunkan kepercayaan antar-aktivis. Ketika sebagian kelompok merasa ditinggalkan oleh kelompok lain, muncul rasa kecewa yang bisa memicu perpecahan lebih dalam. Hal ini memperlemah jaringan solidaritas yang seharusnya menjadi fondasi gerakan sosial.

Ketiga, fokus pada popularitas di media sosial dapat menggeser perhatian dari substansi isu. Aktivisme lebih dilihat sebagai ajang branding personal ketimbang perjuangan kolektif. Akibatnya, gerakan kehilangan kekuatan moral yang seharusnya menjadi pijakan utama.

Keempat, fragmentasi membuat gerakan rentan ditunggangi kepentingan politik tertentu. Jika solidaritas internal rapuh, aktor eksternal lebih mudah masuk untuk memanfaatkan situasi demi agenda mereka sendiri.

Kelima, publik juga bisa menjadi skeptis terhadap gerakan Gen Z. Ketika mereka melihat banyak gerakan yang hanya hangat di awal, kepercayaan publik terhadap keseriusan generasi ini bisa berkurang. Skeptisisme ini pada akhirnya mengurangi dukungan yang sangat dibutuhkan untuk menguatkan gerakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun