Pernahkah kita mendampingi orang yang kita sayangi, lalu menyaksikan ingatannya perlahan hilang? Itulah yang saya alami ketika merawat ibu setelah beliau terserang stroke dan mengalami demensia.Â
Pertanyaan yang sama diulang berkali-kali, senyum yang tiba-tiba hadir tanpa sebab, hingga tangisan yang tak lagi bisa ia jelaskan. Semua itu menjadi bagian dari keseharian kami selama lima tahun terakhir sebelum ibu akhirnya berpulang.
Banyak orang mungkin mengira demensia hanyalah bagian dari penuaan. Padahal, tidak semua orang lanjut usia akan mengalaminya. Menurut data Alzheimer's Disease International (ADI), diperkirakan ada lebih dari 55 juta orang di seluruh dunia hidup dengan demensia, dan angka ini akan meningkat seiring pertambahan usia populasi.Â
Artinya, ini bukanlah fenomena kecil, melainkan isu kesehatan global yang nyata.
Bagi kami sebagai keluarga, demensia bukan sekadar istilah medis. Demensia adalah wajah ibu kami sehari-hari: kadang tersenyum, kadang marah tanpa alasan, kadang bertanya tentang ayah yang sebenarnya sudah lama meninggal. Dari situ kami belajar bahwa merawat orang tua sakit bukan hanya soal fisik, tetapi juga soal mental dan hati.
Latar Belakang Kondisi Ibu
Ibu saya dulunya adalah sosok yang sangat aktif. Beliau sering mengurus rumah, bertani di pekarangan, dan tak jarang membantu tetangga yang membutuhkan.Â
Namun semuanya berubah ketika stroke menyerangnya. Awalnya hanya sulit bicara, lalu anggota tubuh sebelah kanan melemah, dan akhirnya harus banyak beristirahat di tempat tidur.
Kami sekeluarga segera membawa ibu berobat ke rumah sakit. Dokter menyarankan pengobatan rutin, obat pengencer darah, dan terapi fisioterapi.Â
Pada awalnya, kami masih bisa berharap ibu akan pulih. Namun, seiring waktu, muncul gejala baru yang membingungkan: ia sering lupa, menanyakan hal yang sama berulang kali, bahkan tidak mengenali orang terdekat.Â
Dari situlah dokter menyampaikan kemungkinan ibu mengalami demensia akibat stroke.