Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI, 15 Agustus 2025, meninggalkan satu gema yang tak biasa, yakni: Pasal 33 UUD 1945 kembali menjadi sorotan utama. Di tengah arus globalisasi, digitalisasi, dan tuntutan pasar bebas, sang presiden justru menengok ke dokumen berusia 80 tahun yang lahir dari semangat Generasi '45.Â
Bagi sebagian orang, ini seperti membuka kembali buku panduan lama yang sudah lama tergeletak di rak sejarah.
Di ruang sidang megah itu, ketika kamera menyorot wajah para anggota dewan, Prabowo menegaskan: "Pasal 33 adalah benteng pertahanan ekonomi kita." Kalimat itu mengandung bobot yang jarang terdengar dalam pidato presiden era reformasi.Â
Ia bukan sekadar retorika, tapi sebuah deklarasi politik-ekonomi yang memberi sinyal arah kebijakan berbeda dari dekade sebelumnya.
Bagi generasi muda, Pasal 33 mungkin terdengar asing. Jauh lebih sering mereka mendengar istilah "startup", "unicorn", atau "investasi asing" dibanding "ekonomi kekeluargaan". Tapi bagi mereka yang memahami sejarah, pasal ini adalah pondasi yang memagari kekayaan alam dan cabang produksi vital dari cengkeraman kapitalisme tanpa batas.
Fakta bahwa Presiden memilih mengangkatnya dalam forum kenegaraan tahunan bukanlah kebetulan. Dalam politik, pilihan kata adalah pilihan arah. Mengutip kembali Pasal 33 di hadapan elite legislatif dan publik nasional berarti menempatkan isu kedaulatan ekonomi di jantung agenda pemerintahannya.
Pertanyaannya kini: apakah ini sekadar wacana politis untuk membangkitkan nostalgia, atau benar-benar tanda dimulainya kebangkitan ekonomi berdaulat? Di sinilah analisis kritis diperlukan --- membedah konteks, isi, kebijakan, tantangan, hingga kemungkinan masa depan dari "kebangkitan" Pasal 33 ini.
Apa Itu Pasal 33 dan Mengapa Penting
Pasal 33 UUD 1945 lahir dari perdebatan sengit para pendiri bangsa. Bung Hatta, yang sering disebut sebagai "arsitek ekonomi Indonesia", memandang perekonomian harus diatur untuk kesejahteraan bersama, bukan keuntungan segelintir orang. Asas kekeluargaan menjadi prinsip utama, tercermin dalam ayat pertamanya: "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan."
Ayat kedua menegaskan bahwa cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Ini termasuk energi, transportasi, komunikasi, dan sektor strategis lainnya. Tujuannya sederhana: mencegah monopoli privat atas kebutuhan publik.
Ayat ketiga bahkan lebih eksplisit: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Inilah landasan hukum yang sering dijadikan dasar nasionalisasi sumber daya alam.
Ayat keempat, hasil amandemen, menambahkan prinsip-prinsip seperti efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, dan kemandirian. Ini menandakan bahwa Pasal 33 tidak anti-modernisasi, tetapi tetap berpihak pada rakyat banyak.
Relevansi pasal ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pahit kolonialisme. Selama ratusan tahun, kekayaan alam Indonesia diekstraksi dan dibawa keluar negeri. Generasi '45 ingin memastikan sejarah itu tidak terulang.
Namun, setelah reformasi 1998, arah kebijakan ekonomi Indonesia cenderung liberal. Privatisasi BUMN, pembukaan sektor strategis untuk modal asing, dan deregulasi perdagangan menggeser makna "penguasaan negara" menjadi "pengawasan negara".
Akibatnya, distorsi pun muncul. Kita menyaksikan kelangkaan minyak goreng di negara produsen sawit terbesar. Harga pangan melonjak meski subsidi pemerintah mengalir. Pertumbuhan ekonomi 5% tidak otomatis mengangkat mayoritas rakyat keluar dari kemiskinan.
Di sinilah letak ironi yang disorot Presiden Prabowo. Pasal 33, yang seharusnya menjadi kompas, justru jarang dibaca, apalagi dijalankan secara konsekuen.
Pidato ini, setidaknya, mengembalikan pasal tersebut ke panggung utama diskusi publik. Bagi sebagian kalangan, ini adalah "reminder" bahwa Indonesia punya rancang bangun ekonomi sendiri yang tak kalah relevan dibanding resep neoliberal atau sosialisme murni.
Pertanyaannya: mampukah pasal ini kembali menjadi pedoman nyata, atau hanya menjadi simbol retoris yang indah namun tak berdaya?
Relevansi Pasal 33 di Abad ke-21
Globalisasi telah mengubah wajah ekonomi dunia secara drastis. Rantai pasok menjadi lintas batas, teknologi menghubungkan pasar dalam hitungan detik, dan modal bergerak bebas dari satu benua ke benua lain. Dalam pusaran ini, banyak negara berkembang terjebak pada ketergantungan impor dan menjadi pasar bagi produk negara maju.
Indonesia tidak luput dari jebakan ini. Ketergantungan pada impor gandum, kedelai, dan bahkan garam menjadi bukti bahwa ketahanan pangan kita rapuh. Padahal, Pasal 33 mengamanatkan agar sumber daya vital dikelola untuk kemakmuran rakyat sendiri.
Presiden Prabowo menyoroti ironi kelangkaan minyak goreng di negara penghasil sawit terbesar. Fenomena ini hanya bisa dijelaskan jika ada distorsi struktural dalam tata niaga. Distorsi inilah yang disebutnya sebagai akibat tidak dijalankannya Pasal 33 secara konsekuen.
Bagi banyak orang, Pasal 33 terdengar kuno karena bahasa "dikuasai oleh negara" dianggap menghambat inovasi dan kompetisi. Namun, kenyataannya, negara-negara maju justru punya mekanisme kuat untuk mengendalikan sektor strategis mereka, meski dengan bahasa hukum yang berbeda.
Ambil contoh Amerika Serikat: meski dikenal kapitalis, mereka punya regulasi ketat di sektor energi dan pertahanan. Eropa Barat pun mempertahankan kontrol ketat atas infrastruktur vital seperti listrik dan transportasi. Indonesia sebenarnya tidak berbeda dalam prinsip, hanya berbeda dalam konsistensi.
Prabowo dalam pidatonya memberi pesan tersirat: Indonesia tidak harus menolak investasi asing, tapi harus memastikan kepentingan nasional berada di atas segalanya. Pasal 33 bukan penutup pintu globalisasi, melainkan pagar agar arus globalisasi tidak merugikan rakyat sendiri.
Di era AI, digitalisasi, dan transisi energi, relevansi Pasal 33 justru semakin besar. Cabang produksi vital kini bukan hanya energi dan pangan, tetapi juga data, jaringan telekomunikasi, dan teknologi kritis seperti semikonduktor.
Jika negara abai, penguasaan data oleh korporasi asing bisa menjadi bentuk penjajahan baru. Ini sejalan dengan kekhawatiran para ekonom kritis bahwa "kolonialisme abad ke-21" datang dalam bentuk kepemilikan aset digital dan kendali atas infrastruktur siber.
Pasal 33 memberikan dasar konstitusional untuk mengamankan sektor-sektor ini. Penguasaan oleh negara bukan berarti semua harus dimiliki 100%, tetapi negara harus punya kontrol strategis yang memastikan rakyat tidak menjadi korban monopoli global.
Kedaulatan ekonomi juga berhubungan langsung dengan kedaulatan politik. Negara yang lemah secara ekonomi akan mudah ditekan secara diplomatik. Penguasaan sumber daya sendiri adalah perisai pertama menghadapi tekanan global.
Pidato ini menjadi momentum untuk mengingatkan publik bahwa kedaulatan ekonomi bukan jargon kosong. Ia berwujud pada harga pangan yang stabil, energi terjangkau, dan lapangan kerja layak bagi rakyat.
Meski demikian, realisasi Pasal 33 di abad ke-21 membutuhkan adaptasi. Model pengelolaan negara harus efisien, transparan, dan bebas korupsi. Jika tidak, argumen para penentang pasal ini akan terus menemukan amunisinya.
Prabowo tampaknya paham tantangan ini. Dalam 299 hari pemerintahannya, ia mengklaim berhasil menyelamatkan Rp300 triliun APBN dari kebocoran, sebagian dialihkan untuk program yang langsung menyentuh rakyat seperti Makan Bergizi Gratis dan pembangunan infrastruktur pangan.
Namun, kebijakan yang menyentuh aspek Pasal 33 harus lebih dari sekadar proyek populis. Ia harus membangun sistem yang berkelanjutan, sehingga penguasaan negara atas sektor strategis tidak tergantung pada figur presiden, tapi menjadi norma permanen.
Relevansi Pasal 33 kini bukan lagi pertanyaan akademis, tetapi kebutuhan praktis di tengah dunia yang semakin kompetitif dan penuh gejolak.
Kebijakan Nyata yang Menghidupkan Pasal 33
Prabowo tidak berhenti pada wacana. Pidatonya memaparkan sederet kebijakan yang, setidaknya di atas kertas, selaras dengan amanat Pasal 33. Salah satu yang paling mencolok adalah kebijakan pangan.
Pemerintah mengklaim berhasil mencapai surplus beras nasional lebih dari 4 juta ton --- angka tertinggi dalam sejarah. Bahkan, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, Indonesia kembali mengekspor beras dan jagung.
Keberhasilan ini bukan kebetulan. Ada kombinasi kebijakan ekstensifikasi dengan membuka 2 juta hektar sawah baru, serta intensifikasi dengan memotong birokrasi penyaluran pupuk dan memberikan bantuan alat pertanian langsung kepada petani.
Harga beli gabah dinaikkan menjadi Rp6.500/kg, langkah yang memihak produsen dan mendorong kesejahteraan petani. Ini selaras dengan prinsip Pasal 33 bahwa sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak harus menjamin kemakmuran rakyat.
Kebijakan lain yang menarik adalah pemberlakuan izin khusus bagi penggilingan beras skala besar. Alasannya jelas: beras adalah hajat hidup orang banyak. Negara tidak boleh membiarkan sektor ini sepenuhnya dikendalikan mekanisme pasar.
Di bidang industri, pembentukan Danantara sebagai lembaga pengelola investasi dengan aset lebih dari USD 1 triliun menjadi strategi besar. Fokusnya adalah hilirisasi sumber daya alam, membuka lapangan kerja berkualitas, dan memastikan nilai tambah SDA dinikmati di dalam negeri.
Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih adalah kebijakan lain yang mencerminkan Pasal 33. Dengan 80.000 koperasi, pemerintah ingin menciptakan distribusi barang murah dan membuka lapangan kerja di tingkat lokal.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi 20 juta anak sekolah, ibu hamil, dan menyusui juga punya dimensi ekonomi. Ia bukan hanya intervensi gizi, tetapi juga stimulus ekonomi desa karena melibatkan petani, nelayan, dan UMKM.
Dalam konteks energi, meski tidak dijelaskan rinci dalam pidato, arah kebijakan Prabowo yang mendukung transisi energi sekaligus memperkuat ketahanan energi domestik bisa dianggap bagian dari implementasi Pasal 33.
Di sektor hukum, penertiban lahan sawit ilegal seluas 3,1 juta hektar adalah langkah penting. Mengembalikan penguasaan SDA yang melanggar aturan ke negara berarti mengembalikan kendali atas aset yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat.
Kebijakan kesehatan juga mengandung elemen Pasal 33. Cek Kesehatan Gratis dan pembangunan rumah sakit di 66 kabupaten menunjukkan bahwa layanan vital harus diakses merata, bukan hanya di kota besar.
Kebijakan pendidikan, dengan distribusi 288.000 layar pintar ke sekolah, memperkuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas --- salah satu unsur kesejahteraan umum yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Kebijakan pertahanan yang masif juga punya hubungan tak langsung dengan Pasal 33. Kedaulatan ekonomi tidak akan berarti tanpa kemampuan mempertahankan sumber daya dari ancaman eksternal.
Prabowo juga menekankan pembentukan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) untuk memastikan program bantuan tepat sasaran. Data akurat adalah fondasi pemerataan.
Namun, semua kebijakan ini akan diuji oleh implementasi. Sejarah menunjukkan bahwa banyak kebijakan berbasis Pasal 33 gagal karena birokrasi lamban, korupsi, dan minimnya pengawasan publik.
Pemerintah harus memastikan bahwa setiap intervensi negara benar-benar menghasilkan efisiensi berkeadilan, bukan sekadar mengganti monopoli swasta dengan monopoli birokrat.
Pasal 33 menuntut keseimbangan antara penguasaan negara dan partisipasi rakyat. Koperasi adalah contoh ideal, tetapi keberhasilannya bergantung pada manajemen yang profesional.
Jika semua kebijakan yang disebut dalam pidato dijalankan dengan konsisten, kita mungkin benar-benar melihat implementasi Pasal 33 yang konkret, bukan sekadar slogan.
Namun, jika hanya setengah jalan, kebangkitan Pasal 33 akan terjebak di ranah retorika politik, dan kehilangan momentum yang sekarang sedang terbentuk.
Tantangan Implementasi
Menerapkan Pasal 33 di era modern bukan perkara mudah. Tantangan pertama adalah resistensi dari kelompok bisnis besar yang selama ini menikmati kebebasan pasar. Kebijakan izin khusus penggilingan beras, misalnya, pasti memicu keberatan pelaku usaha yang khawatir kehilangan ruang gerak.
Kedua, masalah birokrasi. Penguasaan negara atas sektor strategis membutuhkan tata kelola yang bersih dan efisien. Tanpa itu, risiko korupsi justru semakin besar karena akses terhadap aset dan anggaran menjadi lebih terkonsentrasi.
Ketiga, tantangan hukum internasional. Indonesia adalah bagian dari perjanjian perdagangan global seperti WTO dan CEPA. Implementasi Pasal 33 harus cermat agar tidak melanggar komitmen internasional yang berpotensi memicu sanksi.
Keempat, tantangan kapasitas BUMN dan BUMD. Menguasai cabang produksi vital berarti memperkuat perusahaan milik negara. Namun, sebagian BUMN masih bergulat dengan masalah manajemen dan inefisiensi.
Kelima, masalah persepsi publik. Di era media sosial, kebijakan proteksionis sering diserang sebagai anti-investasi atau anti-kemajuan. Pemerintah harus pandai menjelaskan bahwa Pasal 33 tidak berarti menutup diri, melainkan melindungi kepentingan nasional.
Keenam, tantangan teknologi. Menguasai sektor vital seperti telekomunikasi dan data memerlukan investasi besar dalam infrastruktur dan riset. Tanpa itu, penguasaan negara hanya akan bersifat administratif, bukan substantif.
Ketujuh, potensi penyalahgunaan pasal ini untuk justifikasi monopoli negara yang merugikan rakyat. Pasal 33 harus diimbangi dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Kedelapan, adanya kepentingan politik jangka pendek. Kebijakan berbasis Pasal 33 harus melampaui siklus pemilu, sehingga tidak dibatalkan atau diubah drastis ketika pergantian pemerintahan.
Kesembilan, tantangan globalisasi budaya. Konsumsi masyarakat yang sudah terintegrasi dengan produk global membuat kebijakan kedaulatan ekonomi sering dianggap "mengganggu kenyamanan".
Kesepuluh, kesenjangan wilayah. Implementasi Pasal 33 harus menjangkau daerah terpencil, bukan hanya wilayah yang menguntungkan secara ekonomi.
Kesebelas, kapasitas koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kekeluargaan. Banyak koperasi gagal karena manajemen lemah dan kurangnya SDM terlatih.
Kedua belas, masalah infrastruktur distribusi. Meski produksi pangan meningkat, tanpa jaringan distribusi yang efisien, harga di tingkat konsumen bisa tetap tinggi.
Ketiga belas, tantangan integritas pejabat publik. Tanpa integritas, penguasaan negara atas aset vital hanya memperbesar peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Keempat belas, tekanan dari lembaga keuangan internasional yang cenderung mendorong liberalisasi pasar.
Kelima belas, tantangan perubahan iklim. Sektor strategis seperti pangan dan energi sangat rentan terhadap dampak iklim ekstrem.
Keenam belas, masalah data. DTSEN harus dijaga akurasinya, jika tidak, program berbasis Pasal 33 bisa salah sasaran.
Ketujuh belas, keberlanjutan pendanaan. Banyak kebijakan Pasal 33 membutuhkan modal besar yang harus dikelola hati-hati agar tidak membebani APBN.
Kedelapan belas, risiko overregulasi yang bisa menghambat inovasi.
Kesembilan belas, konflik kepentingan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan SDA.
Kedua puluh, tantangan membangun konsensus nasional bahwa Pasal 33 adalah milik bersama, bukan agenda politik satu kelompok.
Penutup -- Antara Harapan dan Realitas
Pidato Prabowo telah membuka kembali perbincangan serius tentang Pasal 33. Setelah bertahun-tahun relegasi ke pinggiran diskursus kebijakan, pasal ini kini kembali menjadi bahan perdebatan publik.
Optimisme tentu boleh, apalagi jika melihat kebijakan konkret yang mulai dijalankan. Namun, sejarah mengajarkan bahwa semangat awal sering kali meredup ketika berhadapan dengan kompleksitas implementasi.
Kebangkitan ekonomi berdaulat bukan hanya soal kebijakan top-down, tetapi juga partisipasi rakyat. Koperasi, UMKM, dan komunitas lokal harus menjadi bagian dari ekosistem Pasal 33.
Transparansi dan akuntabilitas akan menentukan apakah kebijakan ini membawa kesejahteraan atau justru memperkuat oligarki baru.
Kita tidak bisa menunggu sampai semua sempurna. Kebijakan yang berpihak pada rakyat harus dijalankan sambil terus diperbaiki.
Jika momentum ini dijaga, Pasal 33 bisa menjadi jembatan menuju kemandirian ekonomi yang selama ini hanya menjadi cita-cita.
Namun, jika dibiarkan menjadi slogan politik semata, kita hanya akan mengulang sejarah: banyak bicara, sedikit hasil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI