Keempat, tantangan kapasitas BUMN dan BUMD. Menguasai cabang produksi vital berarti memperkuat perusahaan milik negara. Namun, sebagian BUMN masih bergulat dengan masalah manajemen dan inefisiensi.
Kelima, masalah persepsi publik. Di era media sosial, kebijakan proteksionis sering diserang sebagai anti-investasi atau anti-kemajuan. Pemerintah harus pandai menjelaskan bahwa Pasal 33 tidak berarti menutup diri, melainkan melindungi kepentingan nasional.
Keenam, tantangan teknologi. Menguasai sektor vital seperti telekomunikasi dan data memerlukan investasi besar dalam infrastruktur dan riset. Tanpa itu, penguasaan negara hanya akan bersifat administratif, bukan substantif.
Ketujuh, potensi penyalahgunaan pasal ini untuk justifikasi monopoli negara yang merugikan rakyat. Pasal 33 harus diimbangi dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi.
Kedelapan, adanya kepentingan politik jangka pendek. Kebijakan berbasis Pasal 33 harus melampaui siklus pemilu, sehingga tidak dibatalkan atau diubah drastis ketika pergantian pemerintahan.
Kesembilan, tantangan globalisasi budaya. Konsumsi masyarakat yang sudah terintegrasi dengan produk global membuat kebijakan kedaulatan ekonomi sering dianggap "mengganggu kenyamanan".
Kesepuluh, kesenjangan wilayah. Implementasi Pasal 33 harus menjangkau daerah terpencil, bukan hanya wilayah yang menguntungkan secara ekonomi.
Kesebelas, kapasitas koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kekeluargaan. Banyak koperasi gagal karena manajemen lemah dan kurangnya SDM terlatih.
Kedua belas, masalah infrastruktur distribusi. Meski produksi pangan meningkat, tanpa jaringan distribusi yang efisien, harga di tingkat konsumen bisa tetap tinggi.
Ketiga belas, tantangan integritas pejabat publik. Tanpa integritas, penguasaan negara atas aset vital hanya memperbesar peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Keempat belas, tekanan dari lembaga keuangan internasional yang cenderung mendorong liberalisasi pasar.