Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Saat Presiden Bicara Pasal 33, Tanda Kebangkitan Ekonomi Berdaulat?

15 Agustus 2025   17:00 Diperbarui: 15 Agustus 2025   16:27 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR - DPD RI 2025. (Sumber: kontan.co.id/Freepik)

Ayat keempat, hasil amandemen, menambahkan prinsip-prinsip seperti efisiensi berkeadilan, keberlanjutan, dan kemandirian. Ini menandakan bahwa Pasal 33 tidak anti-modernisasi, tetapi tetap berpihak pada rakyat banyak.

Relevansi pasal ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pahit kolonialisme. Selama ratusan tahun, kekayaan alam Indonesia diekstraksi dan dibawa keluar negeri. Generasi '45 ingin memastikan sejarah itu tidak terulang.

Namun, setelah reformasi 1998, arah kebijakan ekonomi Indonesia cenderung liberal. Privatisasi BUMN, pembukaan sektor strategis untuk modal asing, dan deregulasi perdagangan menggeser makna "penguasaan negara" menjadi "pengawasan negara".

Akibatnya, distorsi pun muncul. Kita menyaksikan kelangkaan minyak goreng di negara produsen sawit terbesar. Harga pangan melonjak meski subsidi pemerintah mengalir. Pertumbuhan ekonomi 5% tidak otomatis mengangkat mayoritas rakyat keluar dari kemiskinan.

Di sinilah letak ironi yang disorot Presiden Prabowo. Pasal 33, yang seharusnya menjadi kompas, justru jarang dibaca, apalagi dijalankan secara konsekuen.

Pidato ini, setidaknya, mengembalikan pasal tersebut ke panggung utama diskusi publik. Bagi sebagian kalangan, ini adalah "reminder" bahwa Indonesia punya rancang bangun ekonomi sendiri yang tak kalah relevan dibanding resep neoliberal atau sosialisme murni.

Pertanyaannya: mampukah pasal ini kembali menjadi pedoman nyata, atau hanya menjadi simbol retoris yang indah namun tak berdaya?

Relevansi Pasal 33 di Abad ke-21

Globalisasi telah mengubah wajah ekonomi dunia secara drastis. Rantai pasok menjadi lintas batas, teknologi menghubungkan pasar dalam hitungan detik, dan modal bergerak bebas dari satu benua ke benua lain. Dalam pusaran ini, banyak negara berkembang terjebak pada ketergantungan impor dan menjadi pasar bagi produk negara maju.

Indonesia tidak luput dari jebakan ini. Ketergantungan pada impor gandum, kedelai, dan bahkan garam menjadi bukti bahwa ketahanan pangan kita rapuh. Padahal, Pasal 33 mengamanatkan agar sumber daya vital dikelola untuk kemakmuran rakyat sendiri.

Presiden Prabowo menyoroti ironi kelangkaan minyak goreng di negara penghasil sawit terbesar. Fenomena ini hanya bisa dijelaskan jika ada distorsi struktural dalam tata niaga. Distorsi inilah yang disebutnya sebagai akibat tidak dijalankannya Pasal 33 secara konsekuen.

Bagi banyak orang, Pasal 33 terdengar kuno karena bahasa "dikuasai oleh negara" dianggap menghambat inovasi dan kompetisi. Namun, kenyataannya, negara-negara maju justru punya mekanisme kuat untuk mengendalikan sektor strategis mereka, meski dengan bahasa hukum yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun