Kesepian bukan hanya soal tidak ada orang di sekitar kita. Kesepian lebih dalam dari sekadar ruang yang sunyi. Ia adalah perasaan terputus dari dunia, saat kata-kata yang ingin diucapkan tak tersampaikan, saat hati yang ingin dimengerti tak kunjung dipahami.Â
Di tengah dunia yang semakin terhubung oleh teknologi, kesepian justru menjadi lebih nyata dan lebih sering muncul diam-diam, tanpa suara.
Saya tahu betul rasanya kesepian itu seperti apa. Ada masa dalam hidup saya ketika segala hal berjalan biasa saja dari luar---saya bekerja, bersosialisasi, dan tertawa di tengah keramaian.Â
Tapi di dalam, ada ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun. Ada kegelisahan yang tidak mudah dijelaskan, dan rasa lelah yang tak bisa ditidurkan begitu saja. Saat itulah saya kembali kepada sesuatu yang sudah lama saya tinggalkan, yakni: menulis.
Awalnya, saya menulis karena bingung. Ada terlalu banyak yang berputar di kepala, terlalu banyak rasa yang tidak tahu ke mana harus pergi. Saya tidak menulis untuk dibaca, saya menulis untuk bertahan.Â
Dalam setiap kata yang saya tuangkan, ada serpihan hati yang saya susun kembali. Dalam setiap kalimat yang saya tulis, ada bagian diri yang saya coba pahami.
Menemukan Suara Sendiri di Tengah Sepi
Menulis bagi saya bukan sekadar aktivitas mengisi waktu luang. Ia adalah proses menemukan kembali suara saya sendiri. Di saat dunia terasa terlalu bising, dan saya merasa kehilangan arah, menulis menjadi tempat saya menepi.Â
Menulis memberi ruang bagi saya untuk jujur---bahkan ketika saya tak bisa jujur kepada siapa pun.
Banyak orang mengira bahwa kesepian hanya dialami mereka yang hidup sendiri atau tidak punya banyak teman. Tapi sejatinya, kita bisa merasa sangat kesepian bahkan di tengah keramaian.Â
Kita bisa dikelilingi orang-orang, tetapi merasa tidak ada satu pun yang benar-benar mengerti. Dan dalam kondisi seperti itu, kita butuh tempat untuk mengeluarkan isi hati kita, sebelum ia menjadi luka yang makin dalam. Menulis adalah cara saya menyelamatkan diri dari itu.