Ada sesuatu yang sangat penyembuh dalam kegiatan menulis. Ketika kita menuliskan perasaan kita, kita menciptakan jarak antara diri kita dan emosi itu.Â
Kita tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh perasaan tersebut, tapi mulai bisa mengamatinya dari kejauhan. Dalam tulisan, kita bisa melihat diri kita sebagai subjek dan objek sekaligus. Kita bisa berempati kepada diri sendiri, sesuatu yang sering kali sulit dilakukan dalam kesibukan sehari-hari.
Saya sendiri merasakan perubahan itu. Di masa-masa tergelap, saya mulai menulis setiap hari. Kadang hanya satu paragraf, kadang satu halaman penuh.Â
Saya menulis saat pagi sebelum bekerja, atau malam sebelum tidur. Kadang saya tulis dengan marah, kadang sambil menangis. Tapi setelah selesai, saya selalu merasa sedikit lebih ringan. Seolah-olah saya baru saja berbicara dengan teman yang paling pengertian---diri saya sendiri.
Ada banyak tulisan yang tidak akan pernah saya publikasikan. Tapi itu bukan masalah. Menulis bukan soal dinilai atau disukai orang lain, tapi soal mengizinkan diri kita untuk berbicara. Dunia tidak harus tahu, tapi hati kita harus tahu bahwa ia didengar.
Berbagi Rasa, Menemukan Teman
Lama-lama, menulis tidak lagi menjadi aktivitas yang hanya saya lakukan untuk diri sendiri. Saya mulai memberanikan diri membagikan tulisan saya ke blog pribadi, lalu ke media sosial. Awalnya ragu, takut dinilai, takut dianggap terlalu terbuka. Tapi ternyata, justru dari situlah saya menemukan koneksi baru.
Ternyata, banyak orang merasakan hal yang sama. Mereka juga kesepian. Mereka juga pernah merasa tak punya arah. Mereka juga pernah merasa tidak dipahami. Dan saat membaca tulisan saya, mereka merasa tidak sendiri.Â
Mereka merasa ada yang mewakili isi hati mereka. Dari satu tulisan yang saya bagikan, lahir banyak percakapan. Dari percakapan, lahir pertemanan. Kesepian saya pelan-pelan mulai terurai.
Menulis membuka pintu menuju komunitas yang saya tidak sangka akan saya temukan. Komunitas penulis, pembaca, bahkan hanya sekadar orang asing yang kebetulan menemukan tulisan saya dan berkata, "Saya merasakan hal yang sama."Â
Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, tapi dampaknya luar biasa. Kalimat itu membuat saya merasa terhubung. Bahwa meskipun saya menulis dalam ruang sendiri, kata-kata saya bisa menjangkau ruang hati orang lain.
Di sinilah saya sadar bahwa menulis bukan hanya terapi pribadi, tapi juga jembatan sosial. Ia membuat kita merasa tidak sendiri. Ia mengingatkan kita bahwa pengalaman manusia itu universal.Â