Ketika saya menulis, saya seperti berbicara kepada seseorang yang mendengarkan tanpa menghakimi. Saya bisa menulis tentang marah, sedih, kecewa, rindu, dan takut, tanpa perlu merasa salah.Â
Di atas kertas atau layar laptop saya, saya bisa menjadi versi diri saya yang paling jujur. Tidak harus kuat, tidak harus baik-baik saja, cukup jadi manusia.
Bahkan dalam tulisan yang paling sederhana pun, saya sering menemukan jawaban-jawaban kecil yang tidak saya sadari sebelumnya. Ternyata, menulis bukan hanya cara menumpahkan perasaan, tapi juga cara berdialog dengan diri sendiri.Â
Saya belajar memahami apa yang sebenarnya saya rasakan, mengapa saya merasa seperti itu, dan bagaimana saya bisa merawat perasaan itu. Kesadaran ini mungkin tak langsung menyembuhkan, tapi ia memberi saya arah.
Saya percaya bahwa setiap orang punya cara sendiri untuk melawan kesepian. Ada yang melukis, ada yang menyanyi, ada yang berlari, dan ada juga yang berdoa dalam sunyi.Â
Tapi untuk saya, menulis adalah cara terbaik. Menulis tidak membuat saya langsung bahagia, tapi ia membuat saya merasa utuh. Ia tidak serta-merta menghapus kesepian, tapi membuat saya berdamai dengannya.
Menulis sebagai Terapi yang Tak Terlihat
Belakangan ini, dunia mulai sadar bahwa kesepian adalah krisis baru yang harus dihadapi. WHO menyebut kesepian sebagai ancaman kesehatan global.Â
Banyak studi menunjukkan bahwa kesepian bisa berdampak langsung pada fisik dan mental, mulai dari menurunnya daya tahan tubuh, meningkatnya risiko penyakit jantung, hingga depresi dan pikiran bunuh diri.
Namun, tidak semua orang punya akses pada bantuan profesional. Tidak semua orang punya tempat untuk bercerita. Dan di sinilah menulis bisa menjadi salah satu bentuk terapi yang paling terjangkau, paling pribadi, dan paling jujur.
Saya pernah membaca bahwa menulis jurnal secara rutin bisa membantu menurunkan tingkat stres dan memperkuat kemampuan mengatur emosi. Bahkan hanya dengan menulis 10--15 menit sehari, kita bisa membantu otak mengurai tekanan dan menjernihkan pikiran.Â
Menulis membantu kita memberi nama pada emosi yang sering kali kita rasakan tapi tak bisa kita jelaskan. Saat kita memberi nama pada perasaan, kita memberi ruang bagi diri untuk memprosesnya.