Maskulinitas Toksik dan Kekerasan
Oleh: Julianda Boang Manalu
"Dampak dari maskulinitas toksik sangat luas---tidak hanya bagi perempuan dan anak yang menjadi korban langsung, tetapi juga bagi laki-laki sebagai pelaku dan bagi masyarakat secara keseluruhan. Trauma, siklus kekerasan antargenerasi, dan relasi sosial yang tidak setara adalah sebagian dari konsekuensi yang terus menghambat upaya menuju masyarakat yang adil dan setara."
Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih menjadi masalah sosial yang sangat mengkhawatirkan. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, satu dari empat perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual sepanjang hidupnya.Â
Sementara itu, Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) mencatat bahwa satu dari dua anak mengalami kekerasan emosional, dan sembilan dari seratus anak menjadi korban kekerasan seksual.
Angka-angka ini tidak hanya menunjukkan tingginya prevalensi kekerasan, tetapi juga mengungkapkan kompleksitas dan keterkaitan berbagai faktor sosial, budaya, dan psikologis yang mendasarinya.
Selama ini, diskursus mengenai kekerasan berbasis gender di Indonesia lebih banyak berfokus pada aspek hukum, perlindungan korban, atau pentingnya sistem pelaporan.
Namun, belum banyak yang menyoroti akar struktural dari kekerasan ini, yakni konstruksi sosial yang membentuk pola pikir dan perilaku pelaku kekerasan, khususnya laki-laki.Â
Salah satu aspek penting yang perlu dikaji secara lebih mendalam adalah maskulinitas toksik---sebuah bentuk ekspresi identitas laki-laki yang dibangun atas dasar dominasi, kekuasaan, dan represi emosional.
Maskulinitas ini kerap dilegitimasi oleh norma-norma sosial, budaya, bahkan agama, sehingga menjadikannya tidak hanya sebagai sikap individual, tetapi juga bagian dari sistem yang lebih luas.
Dalam konteks masyarakat patriarkal seperti Indonesia, konstruksi gender telah menempatkan laki-laki pada posisi superior yang kerap disalahgunakan untuk menegaskan kontrol terhadap perempuan dan anak.Â
Peran-peran tradisional seperti laki-laki sebagai kepala keluarga, pencari nafkah utama, atau pengambil keputusan, turut membentuk ekspektasi sosial terhadap "kejantanan" yang tidak sehat. Ketika ekspektasi tersebut gagal dipenuhi, kekerasan sering kali muncul sebagai bentuk kompensasi atau pembuktian diri.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji peran maskulinitas toksik dan konstruksi gender dalam memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.Â
Dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan kultural, tulisan ini tidak hanya berupaya memahami penyebab kekerasan dari sisi pelaku, tetapi juga menawarkan refleksi kritis atas nilai-nilai gender yang terus direproduksi dalam masyarakat.
Tulisan ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dalam membongkar akar kekerasan berbasis gender dan mendorong transformasi sosial menuju relasi yang lebih adil dan setara.
Konsep Maskulinitas Toksik
Maskulinitas toksik merujuk pada bentuk ekspresi identitas laki-laki yang menekankan dominasi, agresivitas, dan kontrol emosional yang berlebihan.
Istilah ini tidak menyatakan bahwa semua maskulinitas bersifat negatif, melainkan menunjuk pada dimensi maskulinitas yang merusak baik bagi laki-laki itu sendiri maupun orang di sekitarnya. Karakteristik maskulinitas toksik antara lain:
- Penolakan terhadap kerentanan dan empati
- Pemaksaan kekuasaan atas perempuan dan anak
- Penggunaan kekerasan sebagai simbol kekuatan dan kontrol
Menurut Raewyn Connell (2005), konsep hegemonic masculinity atau maskulinitas hegemonik menjelaskan bagaimana bentuk dominan dari maskulinitas dipelihara oleh sistem sosial untuk mempertahankan superioritas laki-laki atas perempuan dan subordinasi laki-laki lain yang tidak memenuhi standar maskulinitas dominan.Â
Maskulinitas hegemonik bersifat normatif dan dilembagakan melalui media, institusi pendidikan, serta sistem hukum dan budaya.
Dalam konteks ini, maskulinitas toksik menjadi pemicu utama kekerasan berbasis gender karena:
- Mendorong laki-laki untuk menunjukkan kontrol atas perempuan dan anak
- Menekan ekspresi emosional sehat, yang kemudian bermanifestasi sebagai kemarahan dan kekerasan
- Menginternalisasi norma bahwa dominasi adalah bagian dari identitas laki-laki sejati
 Konstruksi Gender dalam Masyarakat Patriarkal
Konstruksi gender merujuk pada proses sosial dan kultural yang membentuk identitas, peran, dan ekspektasi terhadap individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Dalam masyarakat patriarkal seperti Indonesia, peran gender didasarkan pada dikotomi:
- Laki-laki dianggap rasional, kuat, pengambil keputusan
- Perempuan dianggap emosional, lemah, dan bergantung
Konstruksi ini tidak bersifat biologis, tetapi dibentuk dan dilanggengkan melalui berbagai institusi sosial seperti keluarga, agama, media, dan pendidikan. Judith Butler (1990) menyatakan bahwa gender adalah performatif, artinya peran-peran gender terus diciptakan dan diperkuat melalui tindakan sehari-hari.
Akibat dari konstruksi ini, perilaku laki-laki yang kasar, posesif, atau dominatif tidak hanya diterima, tapi juga dianggap wajar atau bahkan dibenarkan. Dalam situasi ini, kekerasan tidak dipandang sebagai penyimpangan, melainkan sebagai konsekuensi logis dari peran gender yang telah dibentuk secara sosial.
Interseksionalitas dan Kekerasan Gender
Konsep interseksionalitas, yang dikembangkan oleh Kimberl Crenshaw (1991), membantu kita melihat bahwa pengalaman kekerasan tidak hanya dipengaruhi oleh gender, tetapi juga oleh faktor lain seperti usia, kelas sosial, disabilitas, dan etnis. Misalnya, perempuan miskin dan anak-anak dari komunitas marginal sering kali lebih rentan terhadap kekerasan karena keterbatasan akses terhadap perlindungan hukum dan layanan sosial.
Dengan demikian, untuk memahami kekerasan terhadap perempuan dan anak secara mendalam, perlu dipertimbangkan:
- Bagaimana maskulinitas dibentuk dan diperkuat dalam konteks lokal
- Bagaimana ketimpangan gender berinteraksi dengan ketimpangan sosial lainnya
Maskulinitas Toksik sebagai Pemicu Kekerasan
Maskulinitas toksik tidak hanya merupakan konsep teoritis, tetapi juga realitas sosial yang berwujud dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia, perilaku pelaku tidak lepas dari dorongan untuk menunjukkan kekuasaan, kontrol, dan superioritas sebagai bentuk pembuktian identitas laki-laki.Â
Nilai-nilai ini tertanam secara kultural sejak masa kanak-kanak dan dipertahankan oleh norma sosial yang jarang mempertanyakan peran dominan laki-laki.
1. Tekanan Sosial terhadap Laki-Laki untuk Tampil "Jantan"
Dalam banyak komunitas, laki-laki dituntut untuk menjadi kuat, tidak emosional, dan dominan. Ekspresi emosi seperti sedih, takut, atau lemah sering kali dianggap "tidak maskulin".Â
Akibatnya, ketika laki-laki menghadapi tekanan emosional atau kegagalan dalam memenuhi peran sosialnya, mereka cenderung merespons dengan agresivitas sebagai bentuk pelampiasan.Â
Kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan seksual terhadap anak dapat muncul sebagai wujud kompensasi atas rasa tidak berdaya atau krisis identitas yang dialami.
Contoh kasus: Laki-laki yang kehilangan pekerjaan dan merasa gagal sebagai pencari nafkah utama kadang melampiaskan frustasinya melalui kekerasan terhadap istri atau anak sebagai bentuk kontrol simbolik.
2. Normalisasi Kekerasan sebagai Simbol Kekuasaan
Di banyak lingkungan sosial, kekerasan dipandang bukan sebagai penyimpangan, melainkan sebagai bentuk disiplin, ketegasan, atau kepemimpinan. Peran laki-laki sebagai "pemimpin keluarga" sering dimaknai secara otoriter, di mana kekerasan dianggap sah sebagai alat untuk mempertahankan otoritas.Â
Dalam konteks ini, perempuan dan anak diposisikan sebagai pihak yang harus "taat", bukan sebagai individu dengan otonomi penuh.
Studi oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku KDRT menyatakan bahwa tindakan mereka bertujuan "mendidik" istri atau anak, yang menunjukkan kuatnya normalisasi kekerasan dalam relasi kuasa rumah tangga.
3. Reproduksi Maskulinitas Toksik dalam Relasi Sosial
Maskulinitas toksik direproduksi melalui interaksi sosial dan pengaruh kelompok sebaya (peer pressure). Dalam lingkungan remaja laki-laki, misalnya, perilaku agresif atau objektifikasi perempuan sering dianggap sebagai bentuk solidaritas atau "kedewasaan".Â
Hal ini memperkuat pola pikir bahwa kekerasan dan dominasi adalah ciri utama kedewasaan laki-laki.
Contoh: Dalam survei terhadap siswa SMA, ditemukan bahwa laki-laki yang menunjukkan sikap posesif dan kontrol berlebihan terhadap pacarnya justru dianggap "setia" atau "melindungi" oleh teman sebayanya.
4. Peran Ketimpangan Sosial-Ekonomi
Kondisi ekonomi yang sulit juga berperan memperkuat dinamika maskulinitas toksik. Ketika laki-laki merasa gagal dalam perannya sebagai pencari nafkah, mereka bisa mengalami krisis maskulinitas.Â
Jika nilai-nilai alternatif maskulinitas tidak tersedia (misalnya sebagai ayah yang suportif, atau pasangan yang setara), maka respons yang muncul adalah kekerasan---baik verbal, emosional, maupun fisik.
Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa maskulinitas toksik tidak muncul dalam ruang hampa, melainkan diproduksi secara sosial dan kultural dalam sistem yang patriarkal. Kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi efek samping sistemik dari nilai-nilai maskulin yang tidak sehat, bukan sekadar tindakan individu yang menyimpang.
Representasi Maskulinitas dalam Media dan Pendidikan
Maskulinitas toksik tidak hanya hidup dalam interaksi langsung, tetapi juga diperkuat secara masif melalui media dan sistem pendidikan.Â
Kedua institusi ini berperan besar dalam membentuk persepsi publik terhadap peran laki-laki dan perempuan, serta membingkai apa yang dianggap sebagai perilaku "normal", "ideal", atau "terhormat" dalam masyarakat.
1. Media sebagai Cermin dan Mesin Maskulinitas Toksik
Media, baik konvensional maupun digital, memainkan peran kunci dalam mereproduksi nilai-nilai patriarkal. Dalam banyak film, sinetron, lagu, hingga iklan, karakter laki-laki sering digambarkan sebagai:
- Pengambil keputusan utama,
- Tidak pernah menunjukkan emosi (kecuali kemarahan),
- Pemilik atau pelindung perempuan,
- Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik.
Sementara itu, karakter perempuan sering digambarkan sebagai objek cinta, korban, atau pelengkap dari narasi laki-laki. Hal ini membentuk narasi dominasi-subordinasi yang seolah-olah alamiah dan tidak bisa dipertanyakan.
Contoh:Â Dalam banyak sinetron Indonesia, sosok suami yang "tegas" sering digambarkan memarahi atau mengontrol istrinya sebagai bentuk cinta, bukan kekerasan. Demikian juga, karakter pria "keren" sering digambarkan sebagai cuek, cemburuan, dan posesif.
Media digital juga memperkuat budaya maskulinitas toksik. Di media sosial, terdapat banyak konten yang membenarkan relasi yang tidak setara, seperti video tentang "uji kesetiaan pacar" atau "cara menundukkan pasangan" yang viral di kalangan remaja.
2. Sistem Pendidikan dan Pengasuhan yang Bias Gender
Sistem pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum hingga praktik sehari-hari di sekolah, sering kali memperkuat pembagian peran gender yang tidak setara. Misalnya:
- Laki-laki didorong memilih jurusan teknik atau sains, perempuan diarahkan ke perawatan atau kesenian.
- Tugas rumah tangga diasosiasikan dengan anak perempuan dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan OSIS.
- Guru dan orang tua kadang memperlakukan murid laki-laki lebih keras karena dianggap "harus tahan banting" dan tidak boleh menangis.
Pola pengasuhan di rumah juga berkontribusi terhadap pembentukan maskulinitas toksik. Anak laki-laki sering dilarang menunjukkan emosi selain marah, dan didorong untuk tampil dominan atau kompetitif sejak dini. Di sisi lain, anak perempuan diajarkan untuk mengalah, bersikap lemah lembut, dan tidak membantah.
3. Minimnya Edukasi Gender Kritis
Hingga saat ini, pendidikan di Indonesia belum secara sistematis memasukkan pendidikan kesetaraan gender dalam kurikulum. Topik tentang relasi sehat, hak-hak perempuan dan anak, serta bentuk kekerasan berbasis gender masih dianggap isu sensitif.Â
Hal ini menghambat generasi muda untuk mengembangkan pemahaman yang kritis terhadap peran gender yang mereka mainkan dan saksikan setiap hari.
Dalam studi oleh Yayasan Pulih (2022), hanya 12% siswa SMA di Jakarta yang dapat menyebutkan contoh perilaku kekerasan dalam pacaran, sementara 40% menganggap kontrol terhadap pasangan adalah bentuk perhatian yang wajar.
Tanpa intervensi terhadap representasi gender dalam media dan pendidikan, maskulinitas toksik akan terus dilestarikan secara kultural. Diperlukan pendekatan sistemik untuk menyisipkan narasi alternatif---yakni maskulinitas yang sehat, setara, dan empatik---dalam media arus utama dan sistem pendidikan formal.
 Implikasi Sosial dan Psikologis
Maskulinitas toksik bukan hanya persoalan nilai yang keliru atau norma budaya yang ketinggalan zaman, melainkan suatu sistem sosial yang menimbulkan dampak luas, baik terhadap individu pelaku, korban, maupun masyarakat secara keseluruhan.Â
Kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dipicu oleh nilai-nilai maskulin dominatif tidak dapat dipahami sebagai kasus terisolasi, melainkan sebagai gejala dari pola relasi sosial yang tidak sehat dan timpang.
1. Dampak terhadap Perempuan dan Anak sebagai Korban
Korban kekerasan, terutama perempuan dan anak, mengalami dampak multidimensi yang sering kali bersifat jangka panjang. Beberapa dampak tersebut meliputi:
- Dampak psikologis: rasa takut, trauma, depresi, kecemasan kronis, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan kehilangan harga diri.
- Dampak fisik: luka, cacat permanen, masalah kesehatan reproduksi (pada kasus kekerasan seksual).
- Dampak sosial: stigma sosial, pengucilan, kehilangan akses pendidikan, dan peran sosial.
- Dampak ekonomi: kehilangan pekerjaan, ketergantungan ekonomi, dan keterbatasan mobilitas.
Dalam konteks anak, kekerasan yang dialami juga dapat menghambat perkembangan emosional dan kognitif, serta meningkatkan risiko perilaku agresif atau menarik diri dari lingkungan sosial.
Penelitian oleh WHO (2021) menunjukkan bahwa anak yang menyaksikan kekerasan di rumah berisiko dua kali lipat untuk menjadi pelaku atau korban kekerasan saat dewasa.
2. Dampak terhadap Laki-laki Pelaku
Meskipun sering dianggap sebagai pihak yang dominan, laki-laki juga menjadi korban dari sistem maskulinitas toksik yang membatasi ekspresi emosional dan hubungan yang sehat. Tekanan sosial untuk menjadi "jantan" dan kuat menyebabkan banyak laki-laki:
- Tidak mampu membangun komunikasi emosional yang sehat,
- Mengalami keterasingan emosional dan kesulitan menjalin hubungan,
- Mengalami stres dan gangguan psikologis yang tersembunyi karena ketidakmampuan mengelola emosi,
- Menggunakan kekerasan sebagai satu-satunya saluran ekspresi frustasi dan kegagalan.
Dalam jangka panjang, pelaku kekerasan juga dapat mengalami penyesalan, keterasingan sosial, atau keterlibatan dalam sistem peradilan pidana yang merusak masa depan mereka sendiri.
3. Siklus Kekerasan dan Warisan Sosial
Maskulinitas toksik juga memperkuat siklus kekerasan antargenerasi. Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga dengan ayah yang kasar berpotensi meniru pola perilaku tersebut, sedangkan anak perempuan yang terbiasa melihat ibunya dikendalikan secara emosional atau fisik cenderung menginternalisasi ketundukan sebagai bagian dari relasi gender.
Dalam survei oleh Komnas Anak (2023), lebih dari 60% remaja laki-laki yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga menganggap "menampar istri dalam kondisi tertentu" sebagai hal yang bisa dimaklumi.
4. Dampak Kolektif terhadap Masyarakat
Secara kolektif, maskulinitas toksik menciptakan masyarakat yang:
- Tidak toleran terhadap perbedaan ekspresi gender dan orientasi,
- Minim empati dalam relasi sosial,
- Rentan terhadap kekerasan struktural dan simbolik,
- Tidak mampu menciptakan ruang aman bagi kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak.
Masyarakat yang terus membiarkan dominasi dan kekerasan sebagai norma tidak hanya gagal melindungi kelompok rentan, tetapi juga menghambat pembangunan manusia yang utuh dan berkeadilan.
Implikasi dari maskulinitas toksik sangat luas dan mendalam. Kekerasan berbasis gender tidak bisa dipisahkan dari struktur nilai yang mengakar dalam budaya dan psikologi masyarakat.Â
Oleh karena itu, penanganannya tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi juga harus melalui pendekatan pendidikan, budaya, dan transformasi relasi sosial.
Strategi Pencegahan dan Transformasi Gender
Mengatasi kekerasan berbasis gender yang berakar pada maskulinitas toksik tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum atau penindakan kasus per kasus.Â
Diperlukan strategi jangka panjang yang bersifat transformatif---yakni membongkar nilai-nilai sosial yang melanggengkan ketimpangan gender, serta membangun norma-norma baru yang inklusif dan setara.Â
Pendekatan ini menekankan perubahan dari hulu ke hilir: mulai dari pendidikan anak, media massa, kebijakan publik, hingga keterlibatan laki-laki dalam gerakan keadilan gender.
1. Pendidikan Gender Kritis sejak Dini
Pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap identitas gender dan relasi kekuasaan. Kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai kesetaraan gender, empati, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia perlu diimplementasikan sejak tingkat dasar.
Langkah-langkah konkret:
- Menyusun modul pendidikan anti-kekerasan dan kesetaraan gender berbasis konteks lokal.
- Melatih guru dan tenaga pendidik agar mampu mengajarkan konsep gender secara kritis dan tidak bias.
- Mengintegrasikan topik-topik seperti "relasi sehat", "bentuk kekerasan berbasis gender", dan "toxic masculinity" dalam pelajaran PPKn, BK, dan IPS.
Contoh praktik baik: Program "Sekolah Ramah Gender" yang dikembangkan di beberapa kota di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan dalam kasus perundungan berbasis gender di sekolah.
2. Peran Media sebagai Agen Transformasi
Media perlu memainkan peran bukan hanya sebagai pengkritik, tetapi juga sebagai agen perubahan budaya. Narasi alternatif yang menampilkan laki-laki sebagai sosok yang emosional, suportif, dan egaliter penting untuk menggeser definisi maskulinitas ke arah yang lebih sehat.
Strategi yang dapat ditempuh:
- Kampanye media sosial dan televisi yang menampilkan model maskulinitas positif.
- Mendorong produsen konten, influencer, dan sineas muda untuk mengangkat cerita relasi setara dan antikekerasan.
- Kolaborasi dengan lembaga sensor dan KPI untuk mengawasi representasi gender dalam tayangan publik.
Inisiatif seperti kampanye #LakiLakiBaru dan #MasculinityRedefined menjadi contoh gerakan digital yang mulai memengaruhi cara berpikir generasi muda.
3. Keterlibatan Aktif Laki-Laki dalam Gerakan Kesetaraan
Transformasi gender tidak akan tercapai jika hanya diperjuangkan oleh perempuan. Laki-laki perlu dilibatkan sebagai mitra, bukan sebagai lawan, dalam upaya menciptakan relasi yang bebas kekerasan.
Upaya yang dapat dilakukan:
- Mendorong komunitas laki-laki (sekolah, kantor, organisasi keagamaan) untuk membuat ruang diskusi kritis soal maskulinitas.
- Pelatihan dan pembentukan jaringan paralegal laki-laki yang pro-kesetaraan gender.
- Pendekatan berbasis komunitas dan tokoh agama dalam mendefinisikan ulang peran laki-laki secara positif.
Program global seperti MenEngage dan HeForShe telah berhasil mengajak laki-laki di berbagai negara untuk mengambil peran aktif dalam isu gender---dan dapat diadaptasi dalam konteks lokal Indonesia.
4. Reformasi Kebijakan dan Penegakan Hukum Berbasis Gender
Kebijakan yang responsif gender adalah pilar penting dalam perlindungan korban dan pencegahan kekerasan. Namun, reformasi kebijakan harus dibarengi dengan pelatihan aparat dan pemangku kepentingan agar memahami kompleksitas isu gender.
Langkah-langkah:
- Memastikan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diimplementasikan secara efektif.
- Melibatkan perspektif gender dalam perumusan kebijakan pendidikan, media, dan keluarga.
- Memberikan pelatihan perspektif gender kepada aparat kepolisian, jaksa, hakim, dan tenaga medis.
Transformasi gender tidak dapat terjadi dalam waktu singkat, tetapi memerlukan kesadaran kolektif, kerja lintas sektor, dan upaya berkelanjutan.Â
Maskulinitas yang sehat bukanlah lawan dari kejantanan, tetapi wujud kedewasaan emosional, empati, dan relasi yang adil. Masyarakat yang berhasil membongkar budaya maskulinitas toksik akan lebih siap mewujudkan ruang aman dan setara bagi perempuan, anak, dan semua kelompok rentan.
Kesimpulan
Kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan fenomena sosial yang kompleks dan multidimensi. Meskipun sering kali dipahami sebagai tindakan kriminal atau pelanggaran hak asasi manusia, akar permasalahan yang lebih dalam terletak pada sistem nilai dan konstruksi sosial yang membentuk relasi gender dalam masyarakat.Â
Maskulinitas toksik, sebagai manifestasi ekstrem dari maskulinitas hegemonik, memainkan peran sentral dalam mereproduksi pola-pola kekerasan tersebut.
Melalui pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa maskulinitas toksik tidak muncul secara alamiah, melainkan dibentuk, dipelihara, dan diwariskan melalui berbagai institusi sosial seperti keluarga, media, dan pendidikan. Ia juga diperkuat oleh norma-norma patriarkal yang menempatkan laki-laki sebagai sosok dominan dan superior, sementara perempuan dan anak sebagai pihak yang harus tunduk dan dikendalikan.Â
Dalam kondisi ini, kekerasan tidak hanya menjadi tindakan individual, tetapi juga bagian dari sistem sosial yang terstruktur.
Dampak dari maskulinitas toksik sangat luas---tidak hanya bagi perempuan dan anak yang menjadi korban langsung, tetapi juga bagi laki-laki sebagai pelaku dan bagi masyarakat secara keseluruhan.Â
Trauma, siklus kekerasan antargenerasi, dan relasi sosial yang tidak setara adalah sebagian dari konsekuensi yang terus menghambat upaya menuju masyarakat yang adil dan setara.
Untuk itu, diperlukan strategi pencegahan dan transformasi yang menyeluruh dan lintas sektor. Pendidikan gender kritis, reformasi media, pelibatan laki-laki dalam gerakan kesetaraan, serta kebijakan publik yang responsif gender harus menjadi bagian dari upaya sistemik dalam membongkar akar maskulinitas toksik.Â
Lebih jauh, penting untuk membangun definisi baru tentang maskulinitas---yakni maskulinitas yang inklusif, empatik, dan mendukung relasi yang sehat.
Dengan memahami kekerasan sebagai produk dari sistem nilai yang dapat diubah, maka harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih aman, manusiawi, dan adil bukanlah utopia, melainkan agenda nyata yang bisa diperjuangkan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI