Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maskulinitas Toksik dan Kekerasan

15 Juni 2025   08:07 Diperbarui: 15 Juni 2025   20:52 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi maskulinitas toksik. (Sumber: (KOMPAS.COM/Shutterstock))

Kedua institusi ini berperan besar dalam membentuk persepsi publik terhadap peran laki-laki dan perempuan, serta membingkai apa yang dianggap sebagai perilaku "normal", "ideal", atau "terhormat" dalam masyarakat.

1. Media sebagai Cermin dan Mesin Maskulinitas Toksik

Media, baik konvensional maupun digital, memainkan peran kunci dalam mereproduksi nilai-nilai patriarkal. Dalam banyak film, sinetron, lagu, hingga iklan, karakter laki-laki sering digambarkan sebagai:

  • Pengambil keputusan utama,
  • Tidak pernah menunjukkan emosi (kecuali kemarahan),
  • Pemilik atau pelindung perempuan,
  • Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik.

Sementara itu, karakter perempuan sering digambarkan sebagai objek cinta, korban, atau pelengkap dari narasi laki-laki. Hal ini membentuk narasi dominasi-subordinasi yang seolah-olah alamiah dan tidak bisa dipertanyakan.

Contoh: Dalam banyak sinetron Indonesia, sosok suami yang "tegas" sering digambarkan memarahi atau mengontrol istrinya sebagai bentuk cinta, bukan kekerasan. Demikian juga, karakter pria "keren" sering digambarkan sebagai cuek, cemburuan, dan posesif.

Media digital juga memperkuat budaya maskulinitas toksik. Di media sosial, terdapat banyak konten yang membenarkan relasi yang tidak setara, seperti video tentang "uji kesetiaan pacar" atau "cara menundukkan pasangan" yang viral di kalangan remaja.

2. Sistem Pendidikan dan Pengasuhan yang Bias Gender

Sistem pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum hingga praktik sehari-hari di sekolah, sering kali memperkuat pembagian peran gender yang tidak setara. Misalnya:

  • Laki-laki didorong memilih jurusan teknik atau sains, perempuan diarahkan ke perawatan atau kesenian.
  • Tugas rumah tangga diasosiasikan dengan anak perempuan dalam kegiatan ekstrakurikuler atau kegiatan OSIS.
  • Guru dan orang tua kadang memperlakukan murid laki-laki lebih keras karena dianggap "harus tahan banting" dan tidak boleh menangis.

Pola pengasuhan di rumah juga berkontribusi terhadap pembentukan maskulinitas toksik. Anak laki-laki sering dilarang menunjukkan emosi selain marah, dan didorong untuk tampil dominan atau kompetitif sejak dini. Di sisi lain, anak perempuan diajarkan untuk mengalah, bersikap lemah lembut, dan tidak membantah.

3. Minimnya Edukasi Gender Kritis

Hingga saat ini, pendidikan di Indonesia belum secara sistematis memasukkan pendidikan kesetaraan gender dalam kurikulum. Topik tentang relasi sehat, hak-hak perempuan dan anak, serta bentuk kekerasan berbasis gender masih dianggap isu sensitif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun