Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Maskulinitas Toksik dan Kekerasan

15 Juni 2025   08:07 Diperbarui: 15 Juni 2025   20:52 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi maskulinitas toksik. (Sumber: (KOMPAS.COM/Shutterstock))

Maskulinitas toksik juga memperkuat siklus kekerasan antargenerasi. Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga dengan ayah yang kasar berpotensi meniru pola perilaku tersebut, sedangkan anak perempuan yang terbiasa melihat ibunya dikendalikan secara emosional atau fisik cenderung menginternalisasi ketundukan sebagai bagian dari relasi gender.

Dalam survei oleh Komnas Anak (2023), lebih dari 60% remaja laki-laki yang menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga menganggap "menampar istri dalam kondisi tertentu" sebagai hal yang bisa dimaklumi.

4. Dampak Kolektif terhadap Masyarakat

Secara kolektif, maskulinitas toksik menciptakan masyarakat yang:

  • Tidak toleran terhadap perbedaan ekspresi gender dan orientasi,
  • Minim empati dalam relasi sosial,
  • Rentan terhadap kekerasan struktural dan simbolik,
  • Tidak mampu menciptakan ruang aman bagi kelompok rentan, khususnya perempuan dan anak.

Masyarakat yang terus membiarkan dominasi dan kekerasan sebagai norma tidak hanya gagal melindungi kelompok rentan, tetapi juga menghambat pembangunan manusia yang utuh dan berkeadilan.

Implikasi dari maskulinitas toksik sangat luas dan mendalam. Kekerasan berbasis gender tidak bisa dipisahkan dari struktur nilai yang mengakar dalam budaya dan psikologi masyarakat. 

Oleh karena itu, penanganannya tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi juga harus melalui pendekatan pendidikan, budaya, dan transformasi relasi sosial.

Strategi Pencegahan dan Transformasi Gender

Mengatasi kekerasan berbasis gender yang berakar pada maskulinitas toksik tidak cukup hanya melalui pendekatan hukum atau penindakan kasus per kasus. 

Diperlukan strategi jangka panjang yang bersifat transformatif---yakni membongkar nilai-nilai sosial yang melanggengkan ketimpangan gender, serta membangun norma-norma baru yang inklusif dan setara. 

Pendekatan ini menekankan perubahan dari hulu ke hilir: mulai dari pendidikan anak, media massa, kebijakan publik, hingga keterlibatan laki-laki dalam gerakan keadilan gender.

1. Pendidikan Gender Kritis sejak Dini

Pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk cara pandang generasi muda terhadap identitas gender dan relasi kekuasaan. Kurikulum yang mengintegrasikan nilai-nilai kesetaraan gender, empati, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia perlu diimplementasikan sejak tingkat dasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun